31 Januari 2010

SAHABAT YANG PERNAH MENGGANTIKAN NABI SAW



Setiap kali memimpin suatu peperangan, Nabi saw selalu meninggalkan kota Madinah dibawah kepemimpinan orang-orang yang beliau anggap mampu untuk melindungi kaum wanita, anak-anak dan orang tua.
Berikut ini daftar beberapa orang sahabat diantaranya yang pernah mendapat tugas menggantikan beliau :


1. Sa’ad bin Ubadah (ketua suku Khajraj, dari kalangan Anshar) selama 15 hari ketika Nabi saw sedang tidak ada di Madinah.
2. Sa’ad bin Mu’ad (pembesar suku Aus, dari kalangan Anshar).
3. Abu Salamah al Makhzumi, dalam perang Dzul Asyirah (Badr Shugra).
4. Abdullah bin Ummi Maktum dalam perang Badr Kubra, selama 19 hari, dan juga dalam perang Uhud di tahun keempat Hijriah.
5. Abdullah bin Rawahah, dalam perang badar ketiga selama 16 hari.
6. Pada tahun kelima Hijriah, Zaid bin Haritsah bertugas menjaga kota Madinah ketika Nabi saw berperang dalam peperangan Bani Mustalaq di wilayah yang bernama al-Muraisi’i.
7. Abu Rahmi al-Giffari, saat peperangan Bani Quraidhah.
8. Tahun keenam Hijriah, Ibnu Ummi Maktum saat peperangan Bani Lihyan selama 14 hari dan juga saat perang Dzu Gharad selama 5 hari.
9. Tahun ketujuh Hijriah, Nabi saw menugaskan Siba’ bin Ghurfuthah saat perang Khaibar.
10. Tahun kedelapan Hijriah, Nabi saw menugaskan menantunya sendiri Ali bin Abi Thalib saat perang Tabuk, walaupun Nabi saw tidak ikut pergi ke medan perang (perang Tabuk adalah sebelum perang terakhir Nabi saw yaitu ekspedisi Usamah).


Setelah kita telusuri pengganti-pengganti Nabi di kota Madinah, ternyata selama kurang lebih 27 kali beliau meninggalkan kota tersebut walaupun dalam tempo yang sangat singkat (seperti perang Uhud hanya beberapa kilometer dari Madinah), beliau selalu menentukan orang-orang sebagai penggantinya untuk melindungi kota dari serangan-serangan yang tak terduga. Bahkan itu juga dilakukan pada perang Khandak (parit). Padahal perang Khandak terjadi di kota Madinah itu sendiri.


Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa tak satu hari pun Nabi saw meninggalkan kota Madinah tanpa menunjuk penggantinya selama beliau tidak ada di tempat. Nabi saw tidak pernah teledor dalam masalah kepemimpinan.


Nah, sekarang yang menjadi pertanyaan: Setelah selama 23 tahun beliau mendidik dan membina umatnya, apakah mungkin beliau akan meninggalkan umatnya untuk selama-lamanya begitu saja tanpa ada orang yang ditunjuk untuk menggantikan kepemimpinannya?


Alhamdulillah kita semua dikaruniai oleh Allah swt berupa akal sehat, dan dengan menggunakan akal sehat tentu tidak sulit untuk menjawab pertanyaan diatas.


_________________
Sumber :
Ma’alim al-Madrasatain, I hal.281-286, al-Mas’udi, at-Tanbih wa al-Isyraf

[+/-] Selengkapnya...

29 Januari 2010

DIALOG ANTAR MADZHAB (BAG.3)



"Benarkah apa yang dikatakan al-Alawi, bahwa kaum Ahlus Sunnah berkata "Orang yang menghimpun al-Qur'an adalah Utsman?" tanya raja kepada wazir.


"Demikian para ahli tafsir dan sejarah mencatatnya" jawab wazir.2)


"Ketahuilah, kaum Syi'ah percaya bahwa al-Qur'an telah terhimpun pada zaman Nabi Saw sebagaimana yang anda lihat sekarang. Tidak kurang dan tidak lebih satu hurufpun di dalamnya. Adapun Ahlus Sunnah berkata bahwa dalam al-Qur'an terdapat penambahan dan pengurangan serta pendahuluan dan pengakhiran, dan Rasulullah Saw tidak menghimpunnya. Tetapi, Utsmanlah yang telah menghimpunnya setelah ia memimpin pemerintahan dan menjadi raja" kata al-Alawi.
"Dengarlah anda -wahai raja- bahwa orang ini tidak menyebutkan Utsman sebagai khalifah, tetapi sebagai raja" kata al-Abbasi menggunakan kesempatan.


"Ya Utsman memang bukan khalifah" jawab al-Alawi singkat.


"Mengapa demikian?" tanya raja.


"Sebab, kaum Syi'ah percaya akan batilnya kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman" jawab al-Alawi.


"Mengapa demikian?" tanya raja lagi.


Sebab Utsman menduduki kursi kepemimpinan dalam pemerintahan berdasarkan permusyawarahan enam orang yang ditentukan Umar, dan ternyata tidak semua orang yang bermusyawarah itu memilih Utsman. Hanya tiga atau dua orang diantara mereka. Dengan demikian, hukum kekhalifahan Utsman bersandar kepada Umar. Kemudian Umar sendiri memimpin pemerintahan berdasarkan penunjukan Abu Bakar. Dengan demikian, hukum kekhalifahan Umar hanya bersandar kepada Abu Bakar seorang. Adapun kekhalifahan Abu Bakar berdasarkan pilihan kelompok kecil sahabat dibawah tajamnya pedang dan kekerasan. Dengan demikian, hukum kekhalifahan Abu Bakar bersandar pada senjata dan kekuatan. Karena itulah, Umar berkata "Sesungguhnya baiat Abu Bakar berlangsung secara tiba-tiba tanpa dipikirkan terlebih dahulu (faltah). Namun Allah swt berkenan memelihara kaum Muslim dari akibat buruknya. Barangsiapa mengulangi perbuatan faltah itu hendaklah ia dibunuh3).


Abu Bakar sendiri berkata "Hentikan aku dari jabatanku ini. Aku orang yang tak layak bagi kalian, padahal Ali berada diantara kalian 4).


Karena itulah, kaum Syi'ah percaya bahwa kekhalifahan mereka itu batil dari dasarnya", papar al-Alawi.


"Benarkah apa yang diucapkan al-Alawi tentang perkataan Abu Bakar dan Umar itu?" tanya raja kepada wazirnya.


"Benar, para ahli sejarah menyebutkan demikian," jawab wazir singkat.


"Lalu, mengapa kita menghormati mereka bertiga?" tanya raja.


"Demi mengikuti pendahulu kita yang saleh," jawab wazir.


"Hai raja, tanyakanlah kepada wazir; kebenarankah yang lebih berhak kita ikuti atau pendahulu kita? Tanya al-Alawi. "Bukankah taqlid kepada pendahulu kita yang berlawanan dengan kebenaran itu sudah disitir dalam firman Allah SWT, "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan kami adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dengan mengikuti jejak mereka". (QS Al-Zukhruf 43:22)


"Jika mereka bertiga bukan khalifah-khalifah Rasulullah Saw, lalu siapa khalifah beliau?" tanya raja kepada al-Alawi.


"Khalifah Rasulullah Saw adalah al-Imam Ali bin Abi Thalib," jawab al-Alawi tenang.


"Mengapa demikian?" tanya raja.


"Sebab, Rasulullah Saw telah menetapkan Ali sebagai khalifahnya kelak selagi beliau masih hidup5). Rasulullah Saw telah menunjuk kepada Ali dalam banyak kesempatan. Sebagian dari padanya adalah disuatu tempat antara Makkah dan Madinah yang bernama Ghadir Khum sepulangnya beliau melaksanakan haji wada. Seraya mengangkat lengan Ali, beliau bersabda "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya juga. Ya Allah, cintailah siapa yang memperwalikannya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya. Tolonglah siapa yang menolongnya dan terlantarkanlah siapa yang menelantarkannya".


Kemudian Rasulullah Saw turun dari mimbar dan berkata kepada kaum Muslimin yang saat itu jumlahnya lebih dari seratus dua puluh ribu orang "Sampaikanlah ucapan selamat kepada Ali sehubungan dengan kepemimpinan kaum Mukmin baginya.. Maka merekapun datang satu per satu sambil berkata "Selamat atas anda hai Amirul Mukminin. Kemudian datang pula Abu Bakar dan Umar. Keduanya mengucapkan selamat kepada Ali.


Umar berkata, "Alangkah bahagianya anda, hai Ibnu Abi Thalib. Anda menjadi pemimpinku dan pemimpin setiap Mukmin dan Mukminat" 6).


Dengan demikian, khalifah Rasulullah Saw secara syar'i adalah Ali bin Abi Thalib" jawab al-Alawi menjelaskan.


______________


2) Para ahli sejarah mengatakan bahwa Utsman mengumpulkan mushaf-mushaf Al-Qur’an lalu membakarnya. Yang menyebutkan demikian adalah Bukhari dalam Shahihnya, bab keutamaan-keutamaan al-Qur'an; Baihaqi dalam Sunnannya 2/41; Kanzul Ummal 1/281; dan Takhawi dalam Muskil al-Atsar 3/4… Duhai, kiranya (ia tidak berbuat demikian); Apakah pembakar al-Qur'an berhak menduduki kursi khilafah?; dosa apakah kiranya yang lebih besar dari pada ini?.


3) Al-Shawa'iqul Muhriqah, karangan Ibnu Hajar, hal 8; al-Milal wa al-Nihal, karangan Syahrastani dll.


4) Al-Qusyaji (ulama Sunni) menyebutkan dalam kitabnya Syahru al-Tajrid; juga dalam kitab lainnya.


5) Sumber-sumber yang menyebutkan Rasulullah Saw telah menetapkan Imam Ali sebagai khalifah beliau banyak sekali, diantaranya; Tarikh Ibnu Jarir 2/62; Kanzul Ummal 6/392; Shahih Turmudzi; Shahih Ibnu Majah; Musnad Ahmad bin Hanbal; Mustadrak al-Shahihain; Tafsir al-Razi; Shawa'iq al-Muhriqah.


6) Sebagian ahli sejarah menyebutkannya. Diantara mereka adalah Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya 4/281; al-Razi dalam Tafsirnya, pasal firman Allah "Ya ayyuhar Rasulu baligh…," al-Khatib al-Bagdadi dalam Tarikh Bagdad 8/290; dan Ibnu Hajar dalam Shawa'iqnya hal 107.



( B E R S A M B U N G )

[+/-] Selengkapnya...

20 Januari 2010

KERINDUAN SANG RASUL


Dini hari di Madinah al Munawarah
Kusaksikan para sahabat berkumpul di masjidmu
Angin sahara membekukan kulitku
Gigiku gemeretak
Kakiku gemetar
Tiba-tiba pintu hujrahmu terbuka
Engkau datang ya Rasul Allah
Kupandangi engkau


Assalamu’alaikum ayyuhan Nabi wa rahmatullah
Assalamu’alaikum ayyuhan Nabi wa rahmatullah
Kudengar salam bersahut-sahutan
Kau tersenyum ya Rasulullah
Wajahmu bersinar
Angin sahara berubah menjadi hangat
Cahayamu menyusup seluruh daging dan darahku


Dini hari Madinah berubah menjadi siang yang cerah
Kudengar engkau bertanya
Adakah air pada kalian?
Kutengok cepat gharibahku
Para sahabat sibuk memperlihatkan kantong kosong
Tidak ada setetespun air ya Rasul Allah
Kusesali diriku
Mengapa tak kucari air sebelum tiba di masjidmu
Duhai bahagianya, jika kubasahi wajah dan tanganmu
Dengan percikan-percikan air dari gharibahku


Kudengar suaramu lirih
Bawakan wadah air kepadaku
Aku ingin melompat mempersembahkan gharibahku
Tapi ratusan para sahabat berdesakan mendekatimu
Kau ambil gharibah kosong
Kau celupkan jari jemarimu
Subhanallah, kulihat air mengalir dari sela-sela jarimu
Kami berdesak berebut air dari pancuran sucimu
Betapa sejuk air itu ya Rasul Allah
Betapa harum air itu ya Nabi Allah
Betapa lezat air itu ya Habib Allah


Qad qamatish shalah
Qad qamatish shalah
Duhai bahagianya shalat di belakangmu
Ayat-ayat suci melantun dari suaramu
Melimpah memasuki jantung dan pembuluh darahku
Usai shalat kau pandangi kami
Masih dengan senyum yang sejuk itu
Cahayamu ya Rasul Allah, tak mungkin kulupakan
Ingin kubenamkan setetes diriku dalam samudera pribadimu
Ingin kujatuhkan sebutir pasirku dalam sahara tak terhinggamu


Kudengar engkau bertanya lirih
Ayyul khalqi a’jabu ilaikum imanan?
Siapa makhluk yang imannya paling mengagumkan?
Para malaikat, ya Rasul Allah
Bagaimana malaikat tak beriman
Bukankah mereka berada di samping Tuhan?
Para nabi ya Rasul Allah
Bagaimana para nabi tak beriman
Bukankah kepada mereka turun wahyu Tuhan?
Kami, para sahabatmu ya Rasul Allah
Bagaimana kalian tidak beriman
Bukankah aku berada ditengah-tengah kalian?
Telah kalian saksikan apa yang kalian saksikan
Kalau begitu, siapakah mereka ya Rasul Allah?


Langit Madinah bening
Bumi Madinah hening
Kami termangu
Siapa gerangan mereka yang imannya paling mengagumkan?
Kutahan nafasku
Kuredam detak jantungku
Lalu kudengar sabdamu
Yang paling mengagumkam imannya, mereka yang datang sesudah kalian
Mereka beriman kepadaku, padahal mereka tidak pernah melihatku
Yang paling mengagumkan imannya
Mereka yang datang setelah aku tiada, dan mereka membenarkanku


Bukankah kami ini saudaramu juga ya Rasul Allah?
Kalian sahabat-sahabatku
Saudaraku adalah mereka yang tidak pernah berjumpa denganku
Mereka beriman kepada yang ghaib
Mendirikan shalat
Menginfaqkan sebagian rezeki


Kami terpaku
Langit Madinah bening
Bumi Madinah hening
Kudengar lagi engkau bersabda
Alangkah bahagianya kelak perjumpaanku dengan mereka
Suaramu parau, butir-butir air matamu berlinang
Engkau merindukan mereka ya Rasul Allah?
Kau dambakan pertemuan dengan mereka ya Nabi Allah?
Assalamu’alaika ayyuhan Nabi wa rahmatullahi wa barakatuh


[+/-] Selengkapnya...

12 Januari 2010

SUDAHKAH KITA CINTA RASUL?


Dahulu di sebuah kota di Madura, ada seorang nenek tua penjual bunga. Ia menjual bunganya di pasar, dengan berjalan kaki cukup jauh. Usai jualan, ia mampir ke masjid Agung di kota itu. Ia berwudhu, masuk masjid, dan melaksanakan shalat Zhuhur. Setelah membaca doa-doa sekadarnya, ia keluar masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid. Ia mengumpulkan daun-daun kering yang berceceran di halaman masjid. Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembarpun ia lewatkan. Tentu saja agak lama ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura di siang hari sungguh menyengat. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.


Banyak pengunjung masjid jatuh kasihan kepadanya. Pada suatu hari takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum perempuan tua datang. Pada hari itu, ia datang sebagaimana biasanya setelah wudhu langsung masuk masjid. Usai shalat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidak ada satupun daun berserak disitu. Ia kembali lagi masuk masjid dan menangis. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah disapukan sebelum kedatangannya. Orang-orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. “Jika kalian kasihan kepadaku,” kata nenek itu, “Berikan kesempatan padaku untuk membersihkannya.”


Singkatnya cerita, nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan kering itu seperti biasa. Seorang kyai yang terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan dedaunan itu. Perempuan tua itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat: pertama, hanya kyai yang boleh mendengarkan rahasianya; kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup.


Sekarang perempuan tua itu sudah meninggal dunia, dan tentu saja anda boleh mendengarkan rahasia itu.


“Saya ini perempuan bodoh, pak kyai,” tuturnya. “Saya tahu amal-amal saya yang sedikit itu mungkin juga tidak saya jalankan dengan benar; saya tidak mungkin selamat pada hari akhirat tanpa syafa’at Kanjeng Nabi Muhammad. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan shalawat kepada Rasulullah. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya telah membacakan shalawat kepadanya.”


Perempuan tua dari kampung itu bukan saja mengungkapkan cinta Rasul dalam bentuknya yang tulus. Ia juga menunjukkan kerendahan hati, kehinaan diri, dan keterbatasan amal dihadapan Allah swt. Lebih dari itu, ia juga memiliki kesadaran spiritual yang luhur. Ia tidak dapat mengandalkan amalnya, ia sangat tergantung pada rahmat Allah swt. Dan siapa lagi yang menjadi rahmat bagi seluruh alam selain Rasulullah saw?


Pada zaman Rasulullah saw, seorang Arab badui datang ke masjid Nabi, beberapa saat sebelum shalat didirikan. Ia menyelinap memotong barisan, mendekati Nabi saw. Beliau sedang bersiap-siap untuk mengimami shalat. Dengan berani, ia bertanya “Ya Rasulullah, kapan kiamat terjadi?”


Anas bin Malik, yang melaporkan peristiwa ini kepada kita berkata, “Kami sangat takjub ada orang dari dusun berani bertanya kepada Nabi saw.” Rasulullah melakukan shalat tanpa menjawab pertanyaan itu. Setelah usai shalat, beliau menghadap kepada jama’ahnya: “Mana orang yang bertanya tentang hari kiamat itu?” Orang Arab dusun itu berkata, “Saya, ya Rasulullah”


“Apa yang sudah kamu persiapkan buat hari kiamat?”
Mendengar pertanyaan Nabi saw itu, seluruh keberaniannya hilang. Ia menundukkan kepalanya sambil berkata pelan: “Wallaah, maa a’dadtu lahaa min katsiiri ‘amalii, shalaatin wa la shawmin, illa innii uhibbullaaha wa rasuulih.” Demi Allah, aku tidak mempersiapkan amal yang banyak, tidak shalat yang banyak dan tidak puasa yang banyak, tetapi saya mencintai Allah dan RasulNya. Nabi saw bersabda “Innaka ma’a man ahbabta!” Sesungguhnya engkau bersama orang yang engkau cintai.


Seperti tanaman yang baru disiram air, orang Arab dusun itu bersuka cita. Para sahabat lain merasa bahwa merekapun seperti dia. Mereka tidak punya bekal yang cukup untuk hari kiamat selain kecintaan kepada junjungan mereka, Rasulullah. Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, apakah ucapanmu itu hanya berlaku buat dia?” “Tidak,” sabda Nabi; “Itu berlaku buat kalian dan buat umat setelah kalian.” Kata Anas bin Malik, “Belum pernah aku melihat sahabat Nabi saw teramat gembira seperti pada hari itu.” (Hayat al-Shahabah 2:252).


Sehubungan dengan peristiwa tersebut maka turunlah ayat:
“Dan barang siapa yang mentaati Allah dan RasulNya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu; para Nabi, para Shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS 4:69)


Jika dengan mencintai Rasulullah bisa terhindar dari api neraka, sementara ada orang mengatakan mencintai Rasulullah berarti mengkutus individukan, maka biarlah menjadi pengkutus individu yang terhindar dari siksa neraka.


[+/-] Selengkapnya...

10 Januari 2010

DIALOG ANTAR MADZHAB (BAG.2)


Raja merasa tidak puas mendengar jawaban wazir. Ia kemudian berkata lagi:


"Tidak dapat tidak, kita harus mendatangkan ulama dari kedua golongan itu agar kita dapat mengetahui kebenaran dan memisahkannya dari kebatilan".


Untuk keperluan tersebut, wazir meminta penangguhan waktu sampai sebulan untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Namun, raja tidak memperkenankannya. Ia meminta waktu lima belas hari.


Selama lima belas hari itu, wazir berhasil mengundang sepuluh orang ulama besar dari Ahlus Sunnah yang akan menjadi rujukan dalam masalah sejarah, fiqih, hadits, usul dan jadal (perdebatan). Iapun mendatangkan sepuluh orang ulama besar Syi'ah dengan kriteria yang sama.


Peristiwa ini terjadi pada bulan Sya'ban di Madrasah al-Nidzamiyah Bagdad. Agar kongres berjalan lancar, wazir menetapkan syarat-syarat sebagai berikut :


Pertama, agar kongres berlangsung dari pagi sampai sore kecuali waktu shalat, makan dan istirahat.


Kedua, agar dialog merujuk kepada sumber-sumber yang kuat dan kitab-kitab yang mu'tabar (terpercaya), bukan dari berita-berita yang didengar.


Ketiga, agar semua pembicaraan-pembicaraan yang terjadi dalam kongres tersebut dicatat.


Pada hari yang telah ditentukan, duduklah raja, wazirnya dan para komandan pasukannya. Para ulama Sunnah duduk disebelah kanan raja, sedangkan para ulama Syi'ah berada disebelah kiri sang raja.


Wazir kemudian membuka Kongres.


"Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang, Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga dan para sahabatnya yang taat. Perdebatan suci dalam rangka mencari kebenaran haruslah menjadi motivasi anda semua, dan hendaklah tidak seorangpun diantara kita menyebut sahabat Rasulullah Saw dengan kecaman dan keburukan".


Seorang ulama besar Sunnah yang bergelar Syaikh al-Abbasi berkata "Kami tidak sanggup berdebat dengan suatu mazhab yang mengkafirkan semua sahabat".


"Siapakah mereka yang mengkafirkan semua sahabat?" tanya ulama Syi'ah yang bergelar al-Alawi, sedangkan nama aslinya adalah al-Husain bin Ali.


"Kalian kaum Syi'ah telah mengkafirkan semua sahabat" jawab al-Abbasi.


"Ucapan anda bertentangan dengan kenyataan. Bukankah Ali, Abbas, Salman, Ibnu Abbas, Miqdad, Abu Dzar dan lain-lainnya termasuk sahabat?, dan Apakah kami kaum Syi'ah mengkafirkan mereka?" tanya al-Alawi.


"Yang kami maksudkan dengan semua sahabat adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan para pengikut mereka" jawab al-Abbasi.


"Anda telah membinasakan diri anda sendiri. Bukankah ahli logika menetapkan bahwa sebagian adalah lawan dari semua?. Pertama kali anda mengatakan bahwa kaum Syi'ah mengkafirkan semua sahabat, lalu kedua kalinya anda mengatakan bahwa kaum Syi'ah mengkafirkan sebagian sahabat" kata al-Alawi. Dalam kesempatan itu, wazir akan berbicara tapi al-Alawi tidak memberinya kesempatan.


"Hai wazir, tidak seorangpun berhak berbicara dalam dialog ini kecuali jika kami sudah tidak mampu lagi menjawab. Jika anda berbuat demikian, niscaya pembahasan ini akan kacau dan pembicaraanpun akan keluar dari alurnya tanpa menghasilkan kesimpulan" kata al-Alawi.


Kemudian al-Alawi berkata lagi, "Hai Abbasi, hendaknya anda menjelaskan ucapan anda yang mengatakan bahwa kaum Syi'ah mengkafirkan semua sahabat. Ketahuilah, bahwa itu suatu kebohongan yang nyata"


Al-Abbasi tidak mampu menjawab. Wajahnya tampak memerah karena malu. Kemudian ia berkata, "Tinggalkanlah kami dalam masalah ini. Namun, apakah kalian kaum Syi'ah mengecam Abu Bakar, Umar dan Utsman?"


"Sesungguhnya diantara kaum Syi'ah ada yang mengecam mereka dan ada pula yang tidak" jawab al-Alawi.


”Anda termasuk kelompok yang mana diantara mereka?" tanya al-Abbasi.


"Kami termasuk orang-orang yang tidak mengecam. Namun, menurut pendapat kami bahwa orang-orang yang mengecam itu mempunyai alasan yang rasional, dan kecamannya terhadap mereka bertiga itu tidak menyebabkan sesuatu apapun, tidak menjadikan kafir, tidak fasik dan tidak termasuk dosa kecil" jawab al-Alawi.


"Hai raja, bukankah anda mendengar apa yang dikatakan oleh laki-laki ini?” Tanya al-Abbasi.


"Hai Abbasi, pertanyaan yang anda tujukan kepada raja tidak dapat dibenarkan. Ia menghadirkan kita untuk berdialog sekitar hujjah dan dalil, bukan untuk bertahkim kepada senjata dan kekuatan" kata al-Alawi.


"Benar, apa yang dikatakan al-Alawi. Apa jawaban anda hai Abbasi?" tanya raja menimpali.


"Jelas, bahwa siapa yang mengecam sahabat adalah kafir," ujar al-Abbasi.


"Jelas bagi anda, tetapi tidak bagi kami. Apa dalil yang menyatakan kekafiran terhadap orang yang mengecam sahabat? Tidakkah anda mengakui bahwa siapa saja yang dikecam oleh Rasulullah Saw, berarti ia layak untuk dikecam?" tanya al-Alawi.


"Kami mengakuinya" jawab al-Abbasi singkat.


"Padahal Rasulullah Saw telah mengecam Abu Bakar dan Umar" ujar al-Alawi.


"Kapan Rasulullah Saw mengecam mereka? Itu adalah suatu kebohongan atas diri Rasulullah Saw!" kata al-Abbasi.


Para ahli sejarah dari kalangan Ahlus Sunnah menyebutkan bahwa ketika Rasulullah Saw menyiapkan pasukan dengan komandan Usamah, dan dalam pasukan itu terdapat Abu Bakar dan Umar. Pada saat itu, beliau bersabda "Allah mengutuk siapa saja yang membelot dari pasukan Usamah". Dan ternyata Abu Bakar dan Umar membelot darinya. Karena itulah, kecaman Rasulullah Saw meliputi mereka. "Dan siapa saja yang dikecam oleh Rasulullah Saw, maka layaklah atas seorang Muslim untuk mengecamnya pula" jawab al-Alawi.


Al-Abbasi menundukkan kepalanya, dan tidak berkata sepatah katapun. Raja menghadapkan wajahnya kepada wazir seraya bertanya:


"Benarkah apa yang dikatakan al-Alawi?"


“Para ahli sejarah memang mengisahkan demikian" jawab wazir. 1)


"Apabila hukum mengecam sahabat itu haram dan kafir, mengapa kalian tidak mengkafirkan Mu'awiyah bin Abu Sufyan, dan tidak pula menghukum kefasikan dan kejahatannya padahal ia telah mengecam Ali bin Abi Thalib di mimbar-mimbar Jum'at selama tujuh puluh tahun" tanya al-Alawi.


"Hentikanlah pembicaraan masalah ini, dan berbicaralah sekitar masalah yang lain" kata raja.


"Bahkan sebagian dari bid'ah-bid'ah kalian kaum Sunnah adalah bahwa kalian tidak mengakui kemurnian al-Qur'an. Bukti atas hal ini adalah ucapan kalian yang mengatakan bahwa al-Qur'an dihimpun oleh Utsman. Apakah Rasulullah Saw tidak bisa melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Utsman sehingga beliau tidak menghimpunnya? Bagaimana al-Qur'an belum terhimpun pada Zaman Nabi Saw, sedangkan beliau memerintahkan kaum kerabat dan sahabatnya untuk menghatamkan al-Qur'an. Sebagaimana sabdanya "Barangsiapa yang menghatamkan al-Qur'an maka baginya pahala yang besar". Mungkinkah beliau memerintahkan penghataman al-Qur'an, padahal al-Qur'an belum terhimpun? Dan Apakah kaum Muslim saat itu dalam kesesatan sehingga Utsman menyelamatkan mereka?" tanya al-Alawi.


______________


1) Dalam kitab Thabaqat 2/41, susunan Ibnu Sa'ad; tarikh Ibnu Asakir 2/491; Kanzul Umal 5/312 dan al- Kamil 2/129 karangan Ibnu Atsir.




( B E R S A M B U N G )

[+/-] Selengkapnya...

08 Januari 2010

SI BAHLUL DI TEMPAT PENGINAPAN


Bahlul pergi ke Basrah. Karena ia tidak mempunyai kenalan di kota itu, maka ia menyewa kamar di suatu tempat penginapan yang rencananya untuk beberapa malam. Bangunan itu kondisinya sudah cukup tua.


Setelah Bahlul menempati kamar itu satu malam, esok paginya ia menemui pemilik penginapan tersebut dan berkata: “Kamar yang kamu sewakan padaku sangat berbahaya, karena langit-langitnya sering berderit meskipun hanya diterpa tiupan angin kecil”.


Dengan nada bercanda, pemilik penginapan itu menghibur: “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kau tahu bahwa seluruh makhluk di bumi ini setiap saat memuji Allah dan bertasbih. Kamar inipun sedang memuji dan bertasbih kepada Allah”.


Bahlul lalu menjawab: “Itu benar, tetapi setelah memuji dan mengagungkan Allah, makhluk-makhluk itu pada akhirnya melakukan sujud. Itulah mengapa aku harus segera pergi dari sini, karena aku takut kamar inipun akan segera bersujud kepada Allah.” Lalu Bahlulpun berpamitan untuk mencari tempat lain.


[+/-] Selengkapnya...

03 Januari 2010

SANGGUPKAH KITA MENGKHATAMKAN AL-QURAN SETIAP HARI?

Imam Ja’far Shadiq meriwayatkan dari ayah dan datuk-datuknya yang berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bertanya kepada para sahabatnya, “Siapakah di antara kalian yang berpuasa sepanjang waktu?”

Salman al Farisi menjawab. “Saya, wahai Rasulullah.”

Rasulullah saw. bertanya kepada para sahabatnya, “Siapakah di antara kalian yang melaksanakan salat sepanjang malam?”

Kembali Salman al Farisi menjawab, “Saya, wahai Rasulullah.”

Rasulullah saw. bertanya kepada mereka lagi, “Siapakah di antara kalian yang mengkhatamkan Quran setiap hari?”

Untuk ketiga kalinya, Salman menjawab, “Saya, wahai Rasulullah.”

Salah seorang sahabat Rasulullah menjadi marah dan berkata, “Ya Rasulullah, Salman adalah seorang Persia yang ingin menyombongkan diri dan memperlihatkan kelebihannya atas kami, Sedangkan kami adalah orang-orang Quraisy.

Engkau bertanya kepada kami siapa di antara kami yang berpuasa sepanjang waktu, dan ia (Salman) menjawab bahwa ia telah melakukannya, Sedangkan saya sering melihat ia makan pada waktu siang hari.

Dan ketika engkau bertanya kami siapa di antara kami yang melaksanakan salat sepanjang malam, Lagi-lagi ia menjawab bahwa ia melakukanya sedangkan ia tidur pada sebagian besar malamnya.

Akhirnya ketika engkau bertanya pada kami siapa di antara kami yang mengkhatamkan Al-Quran setiap hari, Untuk ketiga kalinya ia menjawab bahwa ia telah melakukannya, sedangkan sebagian besar waktunya, ia terlihat diam.”

Rasulullah saw. menegur orang itu, “Diamlah engkau! Wahai Fulan, berapa banyak hikmah Luqmanul Hakim yang kau miliki? Tanyakanlah kepadanya dan ia akan menjelaskan padamu.”

Akhirnya sahabat itu berpaling kepada Salman dan bertanya, “Wahai Salman, engkau telah mengaku bahwa engkau berpuasa sepanjang waktu, bukan?”Salman mengaku bahwa ia berkata demikian.

Sahabat itu berkata, “Tapi kulihat engkau makan pada sebagian besar waktu siang.” Salman berkata, “Tidak seperti apa yang engkau katakan. Saya berpuasa tiga hari dalam sebulan, karena Allah yang Maha Agung dan Maha Mulia berfirman, ‘Siapa pun yang melakukan suatu amal kebaikan, ia akan diganjar sepuluh kali lipat.’ Dan saya menggabungkan Puasa Sya’ban dan Puasa Ramadhan dalam puasa saya, yang dengan itu seolah-olah saya berpuasa sepanjang waktu.”

Orang itu kemudian bertanya kepadanya, “Tapi engkau mengaku bahwa engkau menghabiskan seluruh waktu malam dengan melaksanakan salat, bukan?”Salman mengaku bahwa ia telah mengatakan demikian, namun orang itu menyanggahnya, “Bagaimana bisa, sedangkan sebagian besar malammu kau lewati di atas tempat tidur?”

Salman berkata, “Tidak seperti apa yang engkau katakan. Saya telah mendengar kekasihku Rasulullah saw. bersabda ‘Siapa pun yang tetap berada dalam keadaan suci (thaharah)’ selama tidurnya, dapat dianggap seolah-olah ia menghabiskan seluruh waktu malamnya dengan melaksanakan salat.’ Sedangkan saya setiap hendak tidur selalu bersuci.”

Orang itu masih bertanya kepadanya, “Bukankah engkau mengaku bahwa engkau mengkhatamkan Al-Quran setiap hari?” Orang itu selanjutnya berkata, “Tapi engkau menghabiskan sebagian besar harimu dalam keadaan diam.”

Salman berkata, “Tidak seperti apa yang engkau katakan. Sebab saya mendengar kekasihku Rasulullah saw. mengatakan kepada Ali, ‘Wahai Abul Hasan. Perumpamaanmu di antara umatku seperti surah al Ikhlas. Siapa pun yang telah membacanya satu kali, dianggap seolah-olah ia telah membaca sepertiga Alquran.

Dan siapa pun yang membacanya dua kali seolah-olah dia telah membaca dua per tiga Alquran. Dan siapa pun yang membacanya tiga kali, seolah-olah ia telah mengkhatamkan Alquran seluruhnya.

Demikian pula, siapa pun yang mencintai engkau (wahai Ali) dengan lidahnya, berarti ia telah menyempurnakan sepertiga keimanannya. Siapa pun yang mencintai engkau dengan lidah dan hatinya, berarti ia telah menyempurnakan dua pertiga keimanannya. Dan siapa pun yang telah mencntai engkau dengan lidah dan hatinya, serta membantumu dengan tangannya (yaitu secara fisik dengan kekuatan dan hartanya), berarti ia telah menyempurnakan keimanannya.

Aku bersumpah atas nama Allah yang mengutusku dengan kebenaran. Wahai Ali. Seandainya seluruh manusia di atas permukaan bumi mencintai engkau sebagaimana yang dilakukan seluruh penghuni langit, maka tak ada orang yang akan disiksa di neraka.’ Demikian Rasulullah saw bersabda dan saya mendawamkan membaca surah Al Ikhlas tiga kali setiap hari.”

Orang itu akhirnya bangkit dan berlalu seolah-olah seseorang telah memenuhi mulutnya dengan batu.

[+/-] Selengkapnya...

01 Januari 2010

TIPU DAYA IBLIS

Konon iblis pernah mengeluh, “Sungguh tidak adil. Apapun yang dilakukan manusia, hal buruk apapun yang terjadi, mereka selalu menyalahkan aku. Memangnya apa salahku? Aku ‘kan tak bersalah. Mari kutunjukkan padamu bagaimana mereka selalu menyalahkan aku atas semua kejelekan yang pernah terjadi.” Iblis pun lalu bercerita demikian;

Ada seekor domba jantan yang diikatkan dengan tali ke sebilah tiang pancang. Iblis melonggarkan pancang itu sedikit dari tanah dan berkata, “Lihat, hanya inilah yang kulakukan.”

Domba itu menggoyang-goyangkan kepalanya, lalu menyentakkan tiang pancang tadi sampai tercabut dari tanah. Pintu pemilik rumah saat itu sedang terbuka dan pada salah satu dinding ruang tamu terpasang sebuah kaca cermin antik yang besar dan indah.

Kambing itu melihat bayangan di cermin yang ia kira ada kambing jantan yang lain. Ia merendahkan kepalanya, mengambil ancang-ancang, dan menyeruduk bayangan domba yang ada di cermin itu. Dan hancurlah cermin itu berkeping-keping.

Nyonya rumah terkejut, berlari menuruni tangga dan melihat cermin antiknya yang indah itu jatuh berantakan. Padahal cermin itu adalah warisan orang tuanya turun-temurun.

Segera ia menjerit dan memanggil para pelayannya, “Potong leher domba itu, sembelih saja!” Para pelayannya segera menyembelih domba jantan itu. Padahal domba itu adalah peliharaan kesayangan suaminya. Ia membesarkannya sendiri dari kecil.

Ketika pulang kerja, ia mendapati domba kesayangannya telah mati disembelih. Ia pun berang, “Siapa yang telah menyembelih dombaku? Siapa yang berani melakukan hal sekeji itu?”

Istrinya balas membentak, “Aku yang menyembelihnya. Aku yang memotongnya karena ia telah menghancurkan cermin antik warisan dari orang tuaku.”
Suaminya tambah marah, lalu ia berkata, “Kalau begitu, kuceraikan kau sekarang juga!”

Kepada sanak saudaranya perempuan itu, para tetangga bergunjing bahwa perempuan itu diceraikan suaminya hanya karena memotong seekor domba. Saudara-saudara perempuan itu menjadi sangat marah. Segera mereka mengumpulkan seluruh sanak saudara dan mencari sang suami dengan membawa berbagai macam senjata.

Suami yang telah mendengar kedatangan mereka segera pula memanggil sanak saudaranya sendiri untuk membelanya. Kedua keluarga besar itupun memulai peperangan dan mengakibatkan jatuh banyak korban terbunuh.

Si Iblis berkata, “Lihatlah sendiri. Sebenarnya apa yang kukerjakan? Aku kan hanya sedikit melonggarkan tiang pancang kecil itu saja, mengapa aku yang harus disalahkan atas semua hal buruk yang mereka lakukan satu sama lain. Yang aku lakukan hanyalah sedikit saja melonggarkan sebatang tiang pancang dan selebihnya adalah perbuatan buruk mereka sendiri!”


Dari buku “Meraih Kunci Surga”, Ama Salman, 2007

[+/-] Selengkapnya...

 
Mari Mencintai Rasul - © 2007 Template feito por Templates para Você