30 Agustus 2009

RIWAYAT SINGKAT IMAM ZAINAL ABIDIN as

RIWAYAT HIDUP SINGKAT KEINDAHAN KAUM ‘ABID IMAM ALI ZAINAL ABIDIN as

Hari Lahir
Pada masa pemerintahan khalifah kedua, Umar bin Khattab, kaum muslimin berhasil menaklukkan negeri Persia (Iran). Atas kemenangan ini, laskar Islam memboyong tawanan-tawanan perang ke Madinah Al-Munawwarah, termasuk di antara mereka putri Yazdijard, Kisra Persia. Tatkala kaum muslimin berkumpul di masjid, Khalifah Umar bermaksud menjual putri raja tersebut. Namun, Imam Ali as memberi isyarat agar ia tidak melakukan hal itu, mengingat bahwa putri-putri raja tidak boleh diperjual belikan, sekalipun mereka itu kafir. Lalu beliau mengatakan, "Biarkan dia memilih seorang laki-laki untuk menjadi suaminya. Dan siapa saja yang dipilihnya, maka ia berhak menikah dengannya." Sang putri raja itu menjatuhkan pilihannya kepada junjungan kita, Imam Husain bin Ali as sebagai pasangan hidupnya. Amirul Mukminin Ali as berwasiat kepada anaknya agar memperlakukannya dengan baik dan santun. Beliau mengatakan, "Wahai Abu Abdillah (Husain), ketahuilah bahwa dia kelak akan melahirkan sebaik-baik penduduk dunia." Ya, dari rahim wanita bangsawan inilah putra pertama Imam Husain yang bernama Ali itu lahir. Pernah sang ayah memanggilnya dengan nama Ibn Khairatain (anak dari dua kebaikan), karena dalam nadinya mengalir darah dua bangsa; Arab Quraisy Bani Hasyim dan Ajam Persia. Perangai Imam Ali Zainal Abidin Farazdaq, seorang pujangga Arab tersohor pernah melukiskan Imam Ali Zainal Abidin as. Dia adalah lelaki yang tampan. Dari tubuhnya menebar bau harum segar. Pada dahinya terdapat bekas sujud. Karenanya, orang-orang mengenal beliau dengan gelar As-Sajjad (yang banyak bersujud). Putra beliau, Imam Muhammad Al-Baqir as pernah bercerita, "Sesungguhnya apabila tiba musim dingin, ayahku, Ali bin Husain as menyedekahkan pakaiannya kepada fakir-miskin. Begitu pula jika datang musim panas, beliau melakukan hal yang sama." Masyhur bahwa Imam Ali Zainal Abidin as senantiasa mencuci dan memakai sebaik-baik pakaian ketika hendak melakukan salat, serta menaburkan wewangian. Orang-orang seringkali menjumpainya memanjatkan doa, munajat, dan menangis. Salah seorang sahabat beliau bernama Thawus Al-Yamani menuturkan, “Aku melihat seorang laki-laki sedang melakukan salat di Masjidil Haram. Di samping Ka'bah ia berdoa sembari menangis. Kuhampiri ketika ia telah menyelesaikan salatnya. Ternyata dia adalah Ali bin Husain as. Aku menyapa, ‘Wahai putra Rasulullah, kulihat Anda menangis. Bukankah Anda putra Rasul Allah?!’ Beliau menjawab, ‘Meskipun aku adalah putra Rasul Allah, namun apakah dia akan menjamin keselamatanku dari azab Allah, sedangkan Allah telah berfirman, ‘Ketika itu tidak ada lagi ikatan keluarga antara mereka? ‘Sesungguhnya Allah menciptakan surga bagi siapa saja yang berbakti kepada-Nya dan berbuat baik, sekalipun dia itu seorang hamba Habasyi (berkulit hitam), dan menciptakan neraka bagi siapa saja yang bermaksiat kepada-Nya dan berbuat buruk, sekalipun dia itu seorang tuan dari Quraisy.’” Imam Ali Zainal Abidin as telah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah sebanyak 20 kali dengan berjalan kaki. Kepada para sahabatnya beliau berwasiat supaya menunaikan amanat dan berkata, “Demi Dia yang telah mengutus Muhammad di atas kebenaran! Seandainya pembunuh Husain as mengamanatkan kepadaku sebilah pedang yang telah digunakannya untuk memenggal beliau, sungguh akan kuserahkan kembali kepadanya.” Imam Ali Zainal Abidin juga mewasiatkan kepada mereka agar berusaha memenuhi kebutuhan orang lain. Beliau berkata, “Sesungguhnya Allah SWT mempunyai hamba yang bekerja guna memenuhi hajat manusia. Merekalah yang beriman pada Hari Kiamat. Maka, barang siapa yang membenamkan kegembiraan ke dalam hati seorang mukmin, kelak Allah SWT akan membahagiakan hatinya pada Hari Kiamat.” Pada suatu hari, Imam Ali Zainal Abidin as pernah duduk bersama sebagian sahabatnya. Tiba-tiba datang seorang lelaki dari keturunan bibinya. Lantas ia mencaci makinya dan melontarkan kata-kata kasar. Beliau tidak menjawab sampai lelaki itu menghentikan kata-katanya dan pergi. Kemudian Imam berkata kepada sahabat-sahabatnya, “Kalian dengar apa yang dikatakan lelaki tadi? Saya lebih suka kalian bersamaku hingga mendengarkan jawabanku padanya.” Lalu mereka berdiri bersama Imam dan mengira bahwa Imam akan membalas dengan perbuatan yang serupa. Imam mengetuk pintu orang tersebut. Lelaki itu pun keluar dengan penuh hati-hati dan kesiagaan. Sementara itu, Imam berkata dengan santun, “Wahai saudaraku, sungguh telah kau katakan sesuatu padaku. Seandainya benar apa yang kau katakan, aku memohon ampunan kepada Allah. Namun, jika semua itu tidak benar, semoga Allah memberikan ampunan kepadamu." Lelaki itu terpengaruh akan budi bahasa beliau. Seketika itu pula ia menyesali perbuatannya, dan Imam mengabulkan permohonan maafnya. Pada kesempatan lain, Imam Ali zainal Abidin menjenguk Muhammad bin Usamah bin Zaid yang sedang jatuh sakit. Melihat Muhammad menangis, Imam bertanya, “Gerangan apa yang membuatmu menangis?” Muhammad menjawab, “Aku dililit hutang.” “Berapa jumlah hutangmu?", tanya Imam. "15.000 Dinar", jawab Muhammad. Imam berkata, “Serahkan kepadaku." Lalu beliau melunasi hutang tersebut. Di tengah malam yang sunyi, Imam Ali Zainal Abidin as keluar kota sambil memikul sejumlah uang dan makanan untuk dibagikan kepada seratus kepala keluarga fakir, sementara mereka tidak mengetahui identitas beliau. Ketika Imam as meninggal syahid, mereka benar-benar merasakan kehilangan seorang lelaki. Barulah mereka sadar, ternyata orang yang selama ini membagi-bagikan uang dan makanan kepada itu adalah Ali Zainal Abidin as. Di Karbala Imam Ali Zainal Abidin as ikut bersama ayahnya, Imam Husain as dalam perjalanannya dari Madinah ke Makkah dan dari Makkah ke Karbala, hingga terjadi tragedi pembantaian yang memilukan itu di sana. Ketika itu, beliau sedang sakit keras. Setelah menyaksikan ayahnya tinggal sendirian, Dia memaksakan dirinya bangkit dari pembaringannya untuk terjun ke dalam medan peperangan. Akan tetapi, Imam Husain berkata kepada saudarinya Zainab, “Tahanlah dia agar keturunan keluarga Rasulullah saw tidak terputus.” Sesungguhnya sakit yang menimpa Imam as pada hari-hari itu adalah kemurahan Allah SWT, agar keturunan Rasulullah tetap berlanjut, dan kejahatan serta kebiadaban Yazid tersingkap. Menjadi Tawanan Segera setelah Imam Husain as syahid, tentara Ibnu Ziyad menyerang kemah-kemah dan hendak membunuh Imam Ali Zainal Abidin as yang ketika itu berumur 23 tahun. Akan tetapi, sang bibi, Zainab berdiri menghadang mereka dengan penuh keberanian dan berkata, “Jika kalian hendak membunuhnya, maka bunuhlah aku terlebih dahulu." Akhirnya, mereka mengurungkan niat jahat itu, dan merantai tangan Imam serta menggiringnya ke Kufah bersama dengan tawanan lain. Tatkala mereka beristirahat, Zainab dan Imam as serta para tawanan lainnya dengan penuh keberanian membukakan kekejaman Yazid, Ubaidillah Ibnu Ziyad, dan penghianatan warga Kufah yang hina. Ketika rombongan tawanan itu tiba di Kufah, masyarakat berkerumun di sekitar mereka. Dalam rangka menunjukkan penentangan, Imam Ali Zainal Abidin as memilih diam sambil menperlihatkan kondisi dirinya yang dirantai, sedangkan darah mengalir dari sikunya. Di tengah mereka beliau berpidato, “Wahai manusia! Barangsiapa mengenal aku, maka dia telah mengenal aku, dan barangsiapa yang tidak mengenalku, maka ketahuilah aku adalah Ali bin Husain bin Abi Thalib. “Aku adalah anak yang diinjak kehormatannya, dirampas haknya, dirampok hartanya, dan ditawan keluarganya. Aku adalah anak yang ayahnya disembelih di Sungai Furat. Aku adalah anak yang ayahnya dibunuh dalam keadaan sabar, dan cukuplah itu sebagai kebanggaan. “Wahai manusia! Bersumpahlah demi Allah. Masihkah kalian ingat bagaimana kalian telah melayangkan surat dan undangan kepada ayahku lantas kalian sendiri mengkhianatinya. Kalian telah memberikan janji untuk berbaiat lalu kalian membunuhnya. “Sungguh, celakalah kalian karena perbuatan kalian sendiri! Bagaimana kalian akan berhadapan dengan datukku Rasulullah kelak tatkala beliau mempertanyakan kepada kalian, 'Kalian bunuh keluargaku dan hancurkan kehormatanku. Sungguh kalian tidak termasuk umatku.’” Di Istana Ubaidillah Ubaidillah Ibnu Ziyad memerintahkan agar para tawanan diseret menghadapnya. Ia ingin sekali melihat garis-garis kehinaan di raut wajah mereka. Tiba-tiba ia terperanjat. Pandangannya tertusuk tatapan-tatapan mereka yang semua malah menghinakan dirinya, padahal mereka dikelilingi oleh para algojo istana. Ibnu Ziyad menoleh ke Imam Ali Zainal Abidin as dan berkata, “Siapa namamu?” Imam menjawab, "Aku Ali bin Husain." Ibnu Ziyad berkata lagi dengan bengis, "Bukankah Allah telah membinasakan Ali?” Imam menjawab dengan tegas, “Aku pernah punya kakak bernama Ali yang telah dibunuh oleh segerombol manusia.” Ibnu Ziyad dengan jengkel menukas, "Allahlah yang telah membunuhnya!" Imam tanpa rasa gentar membalas, "Allah mematikan jiwa ketika tiba ajalnya, karena setiap jiwa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah." Ibnu Ziyad semakin berang, lalu memerintahkan untuk membunuh Imam as. Pada saat itulah sang bibi, Zainab bangkit dan berkata lantang, "Hai Ibnu Ziyad! Apakah kau belum puas menumpahkan darah kami? Apakah kau tidak membiarkan salah seorang hidup dari kami? Jika kau hendak membunuhnya, maka biarkanlah aku menyertainya." Ibnu Ziyad semakin gentar tatkala Imam Ali Zaibal Abidin mengatakan, "Tidakkah kau tahu bahwa perang adalah kebiasaan kami, dan mati syahid adalah kemuliaan kami dari Allah". Akhirnya, Ibnu Ziyad mengurungkan niatnya dan mengirimkan para tawanan itu ke Syam. Di Syam (Syiria) Rombongan tawanan itu tiba di negeri Syam diiringi dengan tangisan pilu menyayat hati, sementara Imam Ali Zaibal Abidin as masih dirantai besi. Yazid bin Mu‘awiyah memerintahkan untuk menghiasai kota Damaskus sebagai tanda syukur dan puas atas terbunuhnya Imam Husain as. Ia telah menipu warga kota dengan menyebarkan berita bohong dan citra buruk tentang anak keturunan Ali bin Abi Thalib as. Sesampainya rombongan tawanan di Damaskus, seorang lelaki tua mendatangi Imam Ali Zainal Abidin as dan berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah membinasakanmu dan memenangkan pemimpin kami!" Imam as sadar bahwa sesungguhnya lelaki tua itu tidak tahu kenyataan yang sebenarnya. Kepadanya beliau bertanya lembut, "Wahai bapak tua! Apakah engkau membaca Al-Qur'an?" Lelaki tua itu menjawab, "Iya." Imam bertanya lagi, "Apakah engkau membaca firman Allah, 'Katakanlah [Muhammad], ‘Aku tidak meminta balasan dari kalian kecuali kecintaan kalian kepada keluargaku.’ Dan firman Allah,‘Penuhilah hak keluarga (Rasul).’ Serta firman Allah, ‘Dan ketahuilah, sesungguhnya pada rampasan perang kalian terdapat seperlima hak Allah SWT, rasul-Nya, dan keluarganya?’” "Iya", jawab lelaki tua itu, "Saya telah membaca ayat-ayat itu." Lalu Imam as berkata, "Demi Allah, kamilah keluarga Nabi yang disebutkan dalam ayat-ayat tersebut." Imam melanjutkan pertanyaannya, "Apakah engkau membaca firman Allah, ‘Sesungguhnya Allah ingin menghilangkan kekotoran (rijz) dari kalian hai Ahlulbait, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya.’?” Lelaki tua itu menjawab, "Iya." Imam berkata, "Kamilah Ahlulbait, wahai bapak tua." Dengan penuh keheranan, lelaki tua bertanya, “Demi Allah, benarkah kalian Ahlulbait?” Imam menjawab, "Ya, demi kebenaran datuk kami, Rasulullah. Kamilah yang dimaksudkan dalam ayat itu." Lelaki tua itu akhirnya menerima perkataan Imam. Ia berkata, "Aku berlepas diri kepada Allah dari orang-orang yang telah memerangi kalian." Ketika berita itu sampai ke telinga Yazid, segera ia memerintahkan algojonya untuk memenggal leher lelaki tua itu. Di Hadapan Yazid Yazid memerintahkan agar para tawanan dihadapkan kepadanya dalam keadaan terikat. Sungguh keadaan mereka amat memilukan. Imam Ali Zaibal Abidin as berkata, "Apa yang akan kau katakan, hai Yazîd, kepada Rasulullah sementara keturunannya dalam keadaan seperti ini?!" Mendengar itu, orang yang hadir dalam ruangan menangis. Mereka tak kuasa lagi menahan air mata. Atas perintah Yazid, salah seorang orator naik mimbar dan mulai mencaci-maki dua cucunda Nabi; Hasan dan Husain, dan sebaliknya memuji-muji Mu‘awiyah dan Yazid. Imam as memandangnya dan berkata dengan nada keras, "Celakalah kamu, hai pembicara. Kau telah mencari kesenangan makhluk dengan kemurkaan Allah. Maka, kau telah memilih tempatmu di neraka." Kemudian Imam as berpaling ke arah Yazid dan berkata, "Apakah engkau mengizinkan aku naik ke mimbar ini? Aku akan mengutarakan sebuah ucapan yang mengandung keridhaan Allah dan menebarkan pahala kepada hadirin di sini." Yazid menolaknya dan bergumam, "Jikalau dia naik mimbar, dia tidak akan turun kecuali setelah membeberkan kekejamanku serta kejahatan keluarga Abu Sufyân." Setelah didesak oleh hadirin, akhirnya Yazid mengizinkan Imam untuk berpidato. Lalu Imam Ali Zainal Abidin as naik mimbar. Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, beliau berkata, "Wahai manusia, kami telah diberi enam perkara dan diunggulkan dengan tujuh perkara; kami diberi ilmu pengetahuan, kesantunan, kedermawanan, kefasihan bicara, keberanian, dan kecintaan di hati-hati kaum mukmin. "Kami telah diunggulkan karena di antara kami terdapat Nabi yang termulia, Ali As-Shiddiq yang tepercaya, dan Ja‘far At-Thayyar yang terbang. Pada kamilah Singa Allah dan Singa Rasul-Nya. Pada kamilah penghulu segenap kaum wanita, dan pada kami pulalah dua cucu mulia umat ini. "Wahai manusia, barangsiapa mengenalku, maka sungguh dia telah mengenalku, dan barangsiapa tidak mengenalku, akan kuperkenalkan asal-usul keturunanku. "Aku adalah anak dari Makkah dan Mina (Nabi Ibrahim as). Aku adalah anak air sumur Zamzam dan Shafa (Nabi Ismail as). Aku adalah anak dari orang yang telah diisra’-mikrajkan dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha. Aku adalah anak dari orang yang ditemani Malaikat Jibril ke Sidratul Muntaha (Nabi Muhammad saw). Aku adalah anak dari orang yang dekat dan didekatkan sehingga berada di antara dua sisi atau lebih dekat lagi. Aku adalah anak Muhammad Al-Musthafa. Aku adalah anak Al-Murtadha." Mulailah Imam Ali Zainal Abidin as menyebutkan silsilah keturunannya yang suci, sampai menjelaskan tragedi pembantaian di Karbala secara rinci. Para hadirin terkejut menyimak kenyataan yang sebenarnya terjadi sehingga ruangan itu bergemuruh dengan isak tangis mereka. Yazid khawatir akan terjadi perubahan yang merugikan dirinya. Segera dia memberi isyarat kepada muazin untuk mengumandangkan azan guna memotong pembicaraan Imam as. Muazin mengumandangkan, "Asyhadu alla ilaha illallah." Imam lalu berkata dengan khusyuk, "Aku bersaksi dengan darah dan dagingku." Ketika muazin mengumandangkan, "Asyhadu anna Muhammadan Rrasulullah." Imam as menoleh ke Yazid dan berkata kepadanya, "Muhammad ini, apakah kakekku atau kakekmu? Jika kau katakan bahwa dia adalah kakekmu, maka engkau telah berdusta. Tetapi, jika kau mengakuinya sebagai kakekku, lalu mengapa engkau membunuh keturunannya?" Ternyata, dialog antara Imam Ali Zainal Abidin as dan Yazid itu menciptakan perubahan besar di tengah masyarakat. Bahkan, ada sebagian dari mereka yang meninggalkan masjid sebagai cara penentangan mereka terhadap kekejaman pemerintahan Yazid. Lagi-lagi Yazid kuatir keadaan kota Syam akan bergejolak dan menentangnya. Secepat mungkin ia memerintahkan agar para tawanan dikembalikan ke Madinah. Kaum muslimin menyesal atas sikap acuh mereka terhadap Imam Husain as ketika mereka melihat kezaliman dan kejahatan Yazid terus berlangsung. Tak lama kemudian, Yazid mengirimkan pasukan untuk menyerang Madinah Al-Munawwarah. Selama tiga hari dia membolehkan setiap rajuritnya di sana melakukan pembunuhan, penjarahan, dan perampasan kehormatan wanita. Belum puas memperlakukan Madinah dan warganya, Yazid memerintahkan pasukan untuk mengepung kota Makkah dan menghancurkan Ka’bah dengan lemparan batu dan membakar bagian dalamnya. Sementara pasukan menghujani Ka’bah dengan batu, Allah membalas perbuatan biadab Yazid hingga mati secara mengenaskan. Kematian Yazid membuat kedudukan khilafah beralih kepada anaknya yang bernama Mu‘awiyah. Namun, Muawiyah sendiri menolak kedudukan itu, sebab ia menyadari betapa kezaliman yang telah dilakukan ayah dan kakeknya. Ia tahu benar bahwa mereka berdua telah merampas hak kekhilafahan dari pemiliknya yang sah. Dalam keadaan demikian, Marwan bin Hakam mengangkat dirinya sendiri sebagai khalifah, lalu warga Syam membaiatnya. Sementara di Hijaz, Abdullah bin Zubair memproklamirkan kekhalifahannya. Di sana ia senantiasa menjaga Ka’bah. Pada tahun 73 H, anak Marwan yang bernama Abdul Malik bersama pasukan besarnya bergerak menuju Makkah dan mengepungnya. Seperti yang sudah dilakukan oleh Yazid, ia pun menghancurkan Ka’bah dengan lemparan batu dan berhasil membunuh Abdullah bin Zubair. Dalam usaha melanggengkan pemerintahan, tak segan-segan Abdul Malik menggunakan ancaman dan tekanan terhadap siapa saja yang menentangnya. Ia mengangkat seorang lelaki penumpah darah sebagai gubernurnya di Bashrah dan Kufah, yaitu Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Gubernur ini banyak membuat ladang penjagalan untuk nyawa-nyawa yang tak berdosa, serta mengisi penjara-penjara dengan kaum laki-laki dan—bahkan—perempuan. Secara khusus, Abdul Malik melakukan pengawasan ketat terhadap Imam Ali Zainal Abidin as. Mata-mata selalu mengintai setiap gerak-gerik beliau. Sampai akhirnya, dia memerintahkan untuk menangkap Imam as, dan mengirimkan beliau ke pusat kekuasaannya di Syam. Selang beberapa waktu, Abdul Malik membebaskan beliau. Imam Ali Zainal Abidin dan Hisyam Abdul Malik meninggal setelah menyerahkan tahta kekhalifahannya kepada Hisyam. Pada suatu hari, Hisyam menunaikan ibadah haji dan tawaf di sekitar Ka’bah. Di sana dia bermaksud untuk mencium Hajar Aswad, namun tidak berhasil karena banyaknya para jemaah haji yang bersesakan. Kemudian, Hisyam duduk beristirahat sambil menunggu kesempatan, sementara warga Syam berkerumun di sekitarnya. Tiba-tiba datanglah Imam Ali Zainal Abidin as menebarkan bau harum semerbak, lalu tawaf di sekeliling Ka'bah. Tatkala Imam as sampai di hadapan Hajar Aswad, orang-orang berhenti dengan penuh hormat dan membukakan jalan untuk beliau, sehingga beliau dapat dengan mudah mencium batu hitam itu. Selekas itu, orang-orang kembali melanjutkan tawaf mereka. Ketika menyaksikan peristiwa tersebut, warga Syam yang tidak mengenal Imam as bertanya-tanya kepada Hisyam tentang siapa gerangan laki-laki tersebut. Dengan berlagak bodoh bercampur rasa kesal, ia menjawab, "Aku tidak mengenalnya." Farazdaq, penyair yang berada di tengah mereka, tak lagi kuasa menahan rasa hormatnya. Spontan ia melantunkan bait-bait syair yang begitu indah, sebagai jawaban atas ketidaktahuan orang-orang Syam tersebut. Dialah lelaki yang dikenal Makkah tapak kakinya. Dikenal Ka'bah, di dalam dan dan di luar tanah Haram. Dialah putra sebaik-baiknya hamba di antara semua hamba Allah. Dialah manusia yang bertakwa, tersuci, dan terkemuka. Dialah putra Fatimah jika kau tak lagi kenal. Kakeknya adalah penutup segenap nabi Allah. Imam Ali Zainal Abidin as mengirimkan hadiah kepada Farazdaq sebagai penghargaan atas sikap yang ditunjukkannya dalam bait-bait itu. Ia pun menerima hadiah tersebut dengan berharap mendapatkan berkah darinya. Ash-Shahifah As-Sajjadiyyah Sekilas, Ash-Shahifah As-Sajjadiyyah adalah sebuah buku kecil kumpulan doa-doa. Tetapi, justru buku kecil itu telah menjadi sumber pengetahuan dan mengajarkan akhlak luhur dan budi pekerti kepada umat manusia. Di samping itu, buku itu mengandung pembahasan Filsafat, Sains, dan persoalan-persoalan Matematika, bahkan juga masalah-masalah politik. Berikut ini adalah beberapa contoh dari doa-doa beliau yang tercatat di dalam As-Shahifah As-Sajjadiyyah: • "Ilahi, aku sungguh berlindung kepada-Mu dari kemalasan, kekecutan, kekikiran, kekhilafan, kekerasan hati, dan keterhinaan." • "Maha Suci Engkau yang mendengar setiap nafas ikan di dasar laut! Maha Suci Engkau yang mengetahui peredaran purnama dan mentari! Maha Suci Engkau yang mengetahui pergantian kegelapan (malam) dan cahaya (siang)! Maha Suci Engkau ... sungguh aneh orang yang mengenal-Mu, bagaimana mungkin mereka tidak takut kepada-Mu." Selain terdapat doa-doa di dalam Ash-Shahifah As-Sajjadiyyah, Imam Ali Zainal Abidin as juga mempunyai doa khusus setiap hari, doa harian dalam seminggu, dan lima belas munajat, dengan irama kata dan kalimat yang indah nan syahdu. Semua itu menunjukkan budi pekerti yang agung dan ketundukkan jiwa Imam as di hadapan Allah SWT. Risalah Huquq (Hak-hak) Imam Ali Zainal Abidin as mempunyai sebuah risalah yang dikenal dengan nama Risalah Huquq(Risalah Hak dan Tanggung Jawab). Risalah itu mencakup lima puluh perkara berkenaan dengan tanggung jawab manusia terhadap Tuhan, dirinya, tetangga, dan teman-teman. Tentang hak-hak seorang guru beliau mengatakan, "Di antara hak guru yang harus kau penuhi adalah memuliakannya, menghormati kelasnya, dan menyimak pelajarannya dengan seksama .... Janganlah engkau mengeraskan suaramu di hadapannya. Sembunyikanlah segala kekurangannya dan perlihatkanlah segenap kelebihannya." Berkenaan dengan hak-hak seorang ibu, Imam as mengingatkan, "Adapun hak ibumu, ketahuilah bahwa dia telah mengandungmu, memberimu makan dari buah hatinya (air susunya), dia lebih senang melihatmu kenyang sementara dia menahan lapar, dia memberimu pakaian sementara dia telanjang, dia memberi minum sementara dia dahaga, dan menidurkanmu nyenyak di haribaannya." Tentang hak-hak tetangga, Imam as menuturkan, "Di antara hak-hak tetanggamu adalah engkau menjaganya ketika ia tidak terlihat, memuliakannya ketika ia berada di sisimu, ... janganlah engkau merasa iri terhadapnya, mengingatkannya ketika tergelincir, dan memaafkan kesalahannya." Tentang hak-hak kafir dzimmi (orang kafir yang mengikat perjanjian dengan kaum muslimin dan hidup di negara Islam), Imam Ali Zainal Abidin as menjelaskan, “Maka, hukum bagi kaum kafir ialah menerima dari mereka apa yang direstui Allah, dan cukuplah bagi mereka jaminan dan perjanjian yang telah Allah tetapkan untuk mereka. Sesungguhnya Rasulullah telah bersabda, ‘Barangsiapa yang menyalahi janji, aku akan menjadi musuhnya, maka takutlah kepada Allah dan jagalah mereka.’” Hari Kesyahidan Pada 25 Muharram 95 H, Imam Ali Zainal Abidin as meninggal dunia sebagai syahid, tak lama setelah Hisyam bin Abdul Malik membubuhkan racun ke dalam makanan beliau. Imam as wafat pada usia 57 tahun dan dimakamkan di Baqi‘, di samping makam pamannya, Imam Hasan bin Ali as.[] Mutiara Hadis Imam Ali Zainal Abidin as • “Wahai anakku! Waspadalah terhadap lima macam manusia, dan janganlah kau bersahabat dan seperjalanan dengan mereka: “Jauhilah bersahabat dengan pendusta, karena dia seperti fatamorgana; mendekatkan sesuatu yang jauh darimu dan menjauhkan sesuatu yang dekat denganmu. “Jauhilah bersahabat dengan orang fasik, karena dia akan menjualmu dengan sesuap nasi atau selainnya. “Jauhilah bersahabat dengan orang kikir, karena dia akan membiarkanmu ketika engkau membutuhkannya. “Jauhilah bersahabat dengan orang dungu (tolol), karena dia akan mencelakakanmu padahal semestinya ia ingin menolongmu. “Dan jauhilah bersahabat dengan orang yang suka memutuskan silaturahmi, karena aku mendapatinya terlaknat di dalam kitab Allah.” • Dalam pesannya kepada sang putra, Imam Muhammad Al-Baqir as, Imam Ali Zainal Abidin as mengatakan, “Berbuat baiklah kepada setiap orang yang menuntut kebaikan. Jika ia adalah orang yang berhak menerima kebaikanmu, maka engkau telah melakukan hal yang semestinya. Tapi jika ia tidak berhak menerima kebaikanmu itu, maka engkau sungguh telah berhak mendapatkan kebaikan. Jika seseorang mencacimu dari sebelah kanan dan beralih ke sebelah kiri, lalu meminta maafmu, maka terimalah permintaannya.” Riwayat Singkat Imam Ali Zainal Abidin as. Nama : Ali. Gelar : Ali Zainal Abidin. Panggilan : Abu Muhammad. Ayah : Husain bin Ali. Ibu : Syah Zanan. Kelahiran : Madinah, 5 Sya’ban 38 H. Masa Imamah : 10 Tahun. Usia : 57 Tahun Wafat : 25 Muharram 95 H. Makam : Pemakaman Baqi‘ Madinah.

[+/-] Selengkapnya...

15 Agustus 2009

RIWAYAT SINGKAT IMAM HUSAIN as



Hari Lahir


Imam Husain as dilahirkan pada 3 Sya’ban tahun 4 H. Mendengar berita kelahirannya, Rasulullah saw sangat gembira. Beliau bergegas pergi ke rumah putrinya, Fatimah as untuk mengucapkan selamat atas kelahiran putranya itu. Rasulullah saw membacakan azan pada telinga kanannya dan iqamah pada telinga kirinya, kemudian menamai bayi mungil itu dengan nama Husain.


Pada hari ketujuh dari kelahirannya, Ali bin Abi Thalib membuat acara akikah untuk putranya dan membagikan daging kambing akikahnya kepada orang-orang fakir. Rasulullah saw sangat mencintai cucunda Husain as. Setelah mendapatkan wahyu tentang apa yang akan terjadi pada cucunda ini di masa yang akan datang, beliau bersedih dan menangis atas kekejaman yang akan menimpanya. Rasulullah saw bersabda, “Husain dariku dan aku dari Husain." Dialah Imam putra Imam, dan sembilan dari keturunannya akan menjadi imam, dan imam terakhir dari mereka adalah Muhammad Al-Mahdi as. Dia akan muncul di akhir zaman, dan akan memenuhi alam semesta ini dengan keadilan setelah dipenuhi oleh kezaliman.


Imam Husain Semasa Ayahnya


Imam Husain as hidup dalam haribaan Rasulullah saw selama 6 tahun. Selama itu, beliau banyak belajar dari akhlak sang datuk yang mulia. Ketika Rasulullah saw wafat, beliau menjalani kehidupannya bersama ayahnya, Ali as selama 30 tahun. Beliau senantiasa berada di sampingnya dan turut merasakan penderitaannya. Tatkala Imam Ali as memegang tampuk pemerintahan, Imam Husain as ikut serta mengambil bagian dalam pasukan yang tulus berkorban dan berjihad demi menegakkan panji kebenaran. Ia senantiasa turun dalam berbagai medan peperangan, seperti perang Jamal, perang Shiffin, dan perang Nahrawan. Dan ketika ayahnya gugur sebagai syahid, Imam Husain as membaiat sang kakak, Hasan as sebagai khalifah, dan mendampingi beliau dalam menghadapi Mu‘awiyah.


Imam Husain as Semasa Mu‘awiyah


Mu‘awiyah meracuni Imam Hasan as, sehingga beliau gugur senasib ayahnya sebagai syahid. Kemudian, tongkat kepemimpinan umat segera dipegang oleh Imam Husain as yang saat itu berusia 46 tahun. Imam Husain as telah mengetahui bahwa Mu‘awiyah adalah sumber penderitaan umat Islam. Di balik slogan-slogan Islami yang diangkatnya, sesungguhnya dia menghendaki kehancuran agama dan berusaha keras untuk menjauhkan penduduk Syam dari kebenaran-kebenaran Islam dan dari para sahabat Nabi yang ikhlas. Mu‘awiyah senantiasa menebarkan kebohongan-kebohongan yang bertujuan merusak nama baik Ahlulbait Nabi as.


Dia membunuh setiap orang yang menentang pemerintahannya. Dia telah banyak melakukan pembunuhan terhadap sahabat-sahabat Nabi dan sahabat-sahabat setia Imam Ali as. Di antara mereka adalah Hujr bin ‘Ady yang telah dibunuhnya bersama anaknya di daerah Maraj Azra, di luar kota Damaskus. Mu‘awiyah selalu berupaya mengangkat anaknya, Yazid untuk menduduki kursi kekhalifahan. Padahal ia tahu benar akan perangai bejat Yazid, pemuda yang menghina agama dan mukminin. Dialah seorang pemabuk dan banyak menghabiskan waktunya untuk bermain-main dengan kera-kera. Imam Husain as memperingatkan Mu‘awiyah akan bahaya yang dia lakukan. Akan tetapi, ayah Yazid itu tidak menghiraukan ucapan siapa pun, dan dia malah mengumumkan niatnya untuk membaiat Yazid. Dan demikianlah yang terjadi. Mu‘awiyah membaiat si anak menjadi khalifah dan memaksa orang-orang untuk melakukan hal yang sama.


Imam Husain as dan Yazid Sepeninggal Mu‘awiyah


Yazid menduduki kepemimpinan umat. Pertama yang ia lakukan ialah mengirimkan surat kepada Walid, gubernur Madinah yang berisi perintah untuk mengambil baiat dari Imam Husain as. Dengan surat di tangan, Walid mendatangi beliau dan memaparkan ihwal perintah Yazid di hadapannya. Imam Husain as telah mengetahui di balik semua itu; Yazid akan mengumumkan bahwa Husain cucu Rasulullah saw telah memberikan baiat kepadanya. Ini akan berarti bahwa kekhalifahan Yazid sudah benar-benar sah.


Oleh karena itu, Imam as menolak untuk membaiat seorang fasik seperti Yazid yang hobinya minum khamar dan menginjak-injak hukum Allah SWT. Menyaksikan penolakan Imam Husain tersebut, Walid mengancam akan membunuhnya bila beliau ternyata menolak baiat kepada Yazid. Namun demikian, Imam as tidak memperdulikan sesuatu pun kecuali demi kemaslahatan Islam, kendati harus mengorbankan nyawanya yang suci.


Undangan Warga Kufah


Kaum muslimin merasakan kegelisahan yang dalam terhadap kezaliman Mu‘awiyah. Mereka mendambakan pemerintahan adil sebagaimana pernah dijalankan oleh Ali bin Abi Thalib dapat kembali berkuasa. Maka, tatkala warga Kufah mendengar penolakan Imam Husain as terhadap baiat kepada Yazid, mereka mengirimkan surat yang begitu banyaknya kepada beliau, dan mengundang beliau untuk segera datang ke Kufah serta menyelamatkan mereka dari kezaliman Bani Umayyah. Jumlah surat warga Kufah yang diterima oleh Imam Husain as sebanyak enam belas ribu pucuk. Semua isi surat itu menyatakan desakan mereka kepada beliau, “Datanglah wahai putra Rasulullah saw. Sungguh kami tidak memiliki pemimpin selainmu.”


Duta Imam Husain as


Imam Husain as mengutus anak pamannya, Muslim bin Aqil sebagai duta beliau untuk menjumpai orang-orang Kufah. Melalui tangannyalah beliau mengirimkan surat untuk warga Kufah. Isi surat itu ialah sebagai berikut, “Telah sampai kepadaku surat-surat kalian, dan aku mengerti apa yang kalian nyatakan sebagai ketulusan kalian terhadap kehadiranku di tengah-tengah kalian, dan aku telah mengirimkan seorang utusan kepada kalian. Ia adalah saudaraku, anak pamanku, dan orang tepercaya dari keluargaku, Muslim bin Aqil.”


Sesampainya di Kufah, Muslim mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat di sana. Di hadapannya, lebih dari delapan belas ribu orang menyatakan kesediaan untuk membaiat Imam Husain as. Kemudian, Muslim melayangkan surat kepada Imam as dan mengabarkan, bahwa penduduk Kufah telah berkumpul dan siap membela kebenaran, serta menolak baiat kepada Yazid. Di dalam surat itu pula ia meminta beliau agar datang ke Kufah secepat mungkin.


Muslim Dibunuh


Sementara itu, Yazid mengawasi apa yang sedang berlangsung di Kufah dengan ketat. Untuk itu, dia telah menentukan seorang gubernur baru untuk kota Kufah yang bernama Ubaidillah ibnu Ziyâd. Ia telah sampai ke Kufah dengan cepat. Ibnu Ziyad memulai tindakannya di sana dengan melakukan teror, pembunuhan, dan suap. Kemudian berlanjut dengan menakut-nakuti warga kota akan datangnya pasukan dari Syam dalam jumlah yang sangat besar. Warga Kufah merasa takut dan perlahan-lahan mulai meninggalkan Muslim bin Aqil, hingga ia bertahan sendirian di tengah kepungan pasukan Ibnu Ziyad. Meski begitu, ia tidak mau menyerah dan mengadakan perlawanan seorang diri sampai terluka parah. Kemudian ia ditangkap dan diseret sebagai tahanan sebelum akhirnya mati syahid di tangan musuh.


Berita dibunuhnya Muslim bin Aqil dan sebagian pembelanya di Kufah telah sampai kepada Imam Husain as. Saat itu beliau dalam perjalanan menuju Kufah. Beliau telah mengetahui bahwa warga kota telah mengkhianatinya. Kepada para sahabat dan orang-orang yang bergabung bersamanya, beliau mengatakan, “Barang siapa yang ikut bersama kami, maka ia akan mati syahid, dan barang siapa yang berpaling dari kami, sungguh dia tidak akan mencapai kemenangan.” Imam as sadar sepenuhnya akan jalan yang tengah ditempuhnya. Beliau hanya berpikir akan kewajiban dan tugasnya terhadap Islam dan kaum muslimin.


Tujuan Imam Husain as


Imam Husain as mengumumkan penolakannya membaiat Yazid, karena memang dia sama sekali tidak pantas menduduki kursi kekhalifahan. Dialah seorang yang fasik, peminum arak, menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah SWT, dan mengharamkan yang dihalalkan-Nya. Oleh karena itu, dalam wasiatnya kepada saudaranya, Muhammad bin Hanafiyah, Imam as mengatakan, “Sesungguhnya aku tidak bangkit untuk membuat kerusakan ataupun kezaliman. Aku hanya bangkit untuk memperbaiki keadaan umat kakekku saw. Aku ingin melakukan amar makruf dan nahi munkar. Aku akan menempuh jalan yang telah ditempuh oleh datukku, Nabi dan ayahku, Ali bin Abi Thalib.”


Imam Husain as mengetahui bahwa dirinya akan dibunuh di padang Karbala bersama keluarga dan sahabat-sahabatnya. Meski demikian, beliau tetap bangkit dalam rangka membangunkan umat Islam dari tidurnya, sehingga mereka tahu kenyataan Mu‘awiyah dan anaknya Yazid yang sebenar-benarnya, bahwa dua orang ini akan melakukan apa saja demi mempertahankan kekuasaannya, walaupun mereka harus membunuh cucu Nabi saw dan menjadikan perempuan-perempuan Ahlul Bait sebagai tawanan.


Imam Husain di Hari Asyura


Pasukan Yazid telah melakukan penghadangan terhadap laju gerak kafilah Imam Husain di sebuah tempat yang bernama Karbala, tidak jauh dari sungai Furat. Mereka mencegah anak-anak kecil dan perempuan-perempuan keluarga Nabi saw untuk mendapatkan air sungai. Hari ke-10 bulan Muharram, hari yang begitu panas membakar padang Karbala. Di sanalah Imam Husain as mengingatkan orang-orang akan akibat perbuatan yang mereka lakukan. “Wahai sekalian manusia, kenalilah siapa aku ini! Kemudian kembalilah pada diri kalian masing-masing, dan hujatlah diri kalian itu. “Sadarlah! Apakah dihalalkan bagi kalian untuk membunuhku dan menodai kehormatanku? “Bukankah aku adalah putra dari putri Nabi kalian, putra khalifahnya, putra dari putra pamannya, dan putra dari orang pertama yang beriman kepada Allah SWT dan yang membenarkan risalah rasulnya? “Bukankah Hamzah penghulu para syuhada itu adalah pamanku? “Bukankah Ja‘far At-Thayyar itu adalah pamanku? “Tidakkah kalian mendengar kesaksian Rasulullah tentang aku dan kakakku, bahwa dua pemuda ini adalah penghulu para pemuda di surga? ”


Warga Kufah sangat mengenal Imam Husain as dengan baik. Hanya saja mereka telah tertipu oleh setan, sehingga mereka mengutamakan kehidupan dunia yang hina bersama Yazid dan Ibnu Ziyad, serta begitu mudahnya meninggalkan Imam as sendirian. Kepada Imam Husain, mereka mengatakan, “Baiatlah Yazid sebagaimana kami telah membaiatnya.” Dengan tegas beliau membalas mereka, “Tidak! Demi Allah, aku tidak akan pernah mengulurkan tangan (baiat)-ku kepadanya sebagaimana orang-orang hina mengulurkannya. Aku tidak akan pernah melarikan diri sebagaimana para budak yang ketakutan.”


Umar Ibnu Sa'd, komandan pasukan Yazid mengeluarkan perintah untuk segera menyerbu pasukan Imam as. Maka, terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat. Lima puluh sahabat beliau berguguran sebagai syahid. Tinggallah beliau bersama sejumlah kecil sahabat dan keluarganya. Mereka semua mengajukan diri, satu persatu, untuk meraih kesyahidan dengan gagah berani, tanpa rasa takut sedikitpun. Karena, mereka yakin bahwa mereka akan mati syahid di jalan Allah dan menjelang surga. Tatkala seluruh sahabat dan laki-laki keluarganya telah gugur, tinggallah Imam Husain seorang diri. Beliau segera turun ke medan pertempuran. Sebelum meninggalkan keluarga dan menyampaikan perpisahan kepada mereka, beliau meminta mereka untuk bersabar di jalan Allah SWT.


Imam as memacu kudanya dan maju mengoyak ribuan barisan musuh. Di tengah pertempuran yang tak seimbang itu, beliau akhirnya terhempas di atas kerikil-kerikil padang pasir Karbala dan gugur sebagai Sayidus Syuhada, Penghulu Para Syahid. Merasa belum puas melihat Imam Husain tak bernyawa lagi, Ibnu Ziyad memerintahkan para pasukan berkudanya --yang telah menjual diri mereka dengan kehidupan dunia-- untuk menginjak-injak dada beliau. Sepuluh pasukan berkuda melompat dan mulai merobek-robek dada suci itu dengan kaki-kaki kuda mereka. Setelah itu, Ibnu Sa'd memerintahkan pasukannya untuk membakar kemah-kemah Imam as setelah mereka merampas isinya, lalu menyeret anak-anak dan kaum wanita sebagai tawanan sampai ke Kufah. Di antara mereka adalah Zainab, putri Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan Ali Zainal Abidin, putra Imam as. Zainab dengan penuh ketegaran maju menghampiri tubuh saudaranya, Imam Husain as, lalu meletakkan kedua tangannya di atas jasad suci itu. Kemudian ia mengangkat kepalanya, menengadah ke atas langit sambil berkata dengan penuh khusyuk dan bangga, “Ya Allah, terimalah dari kami pengorbanan ini!”


Kenapa Kita Mengenang Imam Husain?


Sesungguhnya Imam Husain as telah mempersembahkan segala yang beliau miliki hanya untuk memuliakan Islam dan kaum muslimin. Beliau telah mengorbankan anak-anak, kaum wanita, dan sahabat-sahabatnya, bahkan dirinya sendiri di jalan Allah SWT. Beliau mengajarkan kepada manusia tentang kebangkitan untuk menentang segala anea ragam kezaliman dan kerusakan. Beliau habiskan hari-hari akhirnya dengan membaca Al-Qur'an dan ibadah semata-mata karena Allah SWT, sehingga meski di tengah-tengah peperangan pun beliau meminta kepada musuh-musuhnya agar menghentikan peperangan dalam beberapa saat hanya untuk menunaikan salat. Imam as tetap menunaikan salat bersama sahabat-sahabatnya di bawah ribuan panah yang menghujani mereka.


Revolusi dan kebangkitan yang dilakukan Imam Husain as berada di jalan Allah SWT dan dalam rangka mempertahankan Islam. Oleh karena itu, umat Islam akan mengenang beliau selama-lamanya. Mereka mengenang duka-nestapa hari Asyura; hari yang telah menyaksikan penyembelihan biadab yang dilakukan Bani Umayyah terhadap cucunda Nabi saw dan sebaik-baik warisan hidup Islam. Kisah Tauladan Imam Husain as hidup selama 57 tahun. Beliau telah menghabiskan sepanjang usianya itu dengan berbuat baik dan berkhidmat untuk manusia.


Beberapa kali beliau menunaikan haji ke Rumah Allah (Ka’bah) dengan berjalan kaki selama berhari-hari. Pada suatu hari, Imam as berjalan melewati orang-orang miskin yang sedang membentangkan pakaian mereka dan beliau meletakkan potongan-potongan roti di atasnya, kemudian mereka memanggil beliau, “Kemarilah, wahai putra Rasulullah!” Lantas, beliau duduk dan makan bersama mereka, kemudian membacakan firman Allah SWT,“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan takabur.” Selekas itu, Imam as berkata kepada mereka, “Aku telah menyambut undangan kalian, dan kini sambutlah undanganku ini!” Mereka pun menjawab, “Baik, wahai putra Rasulullah". Maka semua bergegas pergi bersama beliau ke rumah. Di sana beliau menghormati dan memuliakan mereka.


Ketika Imam Ali Zainal Abidin as hendak menguburkan sang ayah, orang-orang melihat bekas-bekas luka lama di punggung beliau. Mereka pun menanyakan hal itu kepadanya. Imam Zainal Abidin menjawab, “Bekas-bekas ini adalah akibat dari gesekan karung di atas punggungnya saat membawa makanan untuk dibagikan kepada wanita-wanita janda, orang-orang miskin, dan anak-anak yatim.


Hari Asyura


Hari Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharam. Dahulu kala, hari itu dianggap seperti layaknya hari-hari biasa yang tak ada seorang pun memperingatinya. Namun pada Muharram 61 H, tatkala Imam Husain as syahid tepat di hari itu, hari tersebut menjadi hari yang istimewa dan bersejarah, yang menyimpan peristiwa besar. Umat Islam memperingati Hari Asyura di mana-mana, untuk mengungkapkan bela-sungkawa dan menangis sedih atas musibah dan penderitaan yang menimpa para syuhada di Karbala.


Karbala saat itu adalah gurun sahara yang tidak satu orang pun tinggal di sana. Dengan berlalunya waktu, kini menjadi sebuah kota yang besar dan menjadi pusat keagamaan dan ilmu pengetahuan. Di Mesir, dinasti Fatimiyyah mengumumkan Hari Asyura sebagai hari berkabung nasional. Pada hari itu, pasar-pasar di sana libur dan orang-orang memilih berkumpul di makam Sayidah Zainab as untuk mengenang tragedi Karbala sambil bercucuran air mata. Di zaman kita sekarang, pendiri negara Islam di Iran mengumumkan Hari Asyura sebagai hari libur resmi negara.


Begitu juga umat Islam di negara-negara lain, seperti Irak, India, Pakistan, dan negara-negara Islam lainnya. Mereka juga turut memperingati perjuangan Imam Husain as pada Hari Asyura itu. Nyatanya, peringatan Asyura senantiasa menciptakan perubahan, dari tahun ke tahun. Di Iran, masyarakat menyambut perjuangan dan pengorbanan Imam Husain as hingga mampu melakukan revolusi besar dalam menumbangkan pemerintahan yang zalim dan menggantikannya dengan pemerintahan Islam. Siapakah Yang Menang?


Sebagian orang beranggapan bahwa Imam Husain as telah menderita kekalahan dalam pertempurannya melawan pasukan Yazid bin Mu‘awiyah. Akan tetapi, tatkala kita cermati lembaran-lembaran sejarah, kita akan menyaksikan bahwa Imam Husainlah yang sesungguhnya menang atas musuh-musuhnya. Karena, tujuan-tujuan kebangkitan dan kesyahidan beliau senantiasa hidup di dalam sanubari setiap manusia. Pernahkah kita bertanya, di mana Yazid sekarang? Di mana Ibnu Ziyad sekarang? Bahkan Mu‘awiyah sendiri, di manakah dia? Ya, mereka semua telah pergi dan tidak ada yang mengenangnya. Kalau pun ada yang menyebut nama mereka, sebutan itu hanya berupa kutukan dan laknat atas kejahatan mereka. Orang-orang pendengki selalu berupaya menghancurkan Imam Husain as. Akan tetapi, Allah SWT menghendaki beliau abadi, baik di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya, laknat di dunia dan neraka di akhirat merupakan nasib musuh-musuh beliau. Demikianlah, tragedi Karbala sungguh telah menjadi pilar bagi kebangkitan, kebebasan, dan kemenangan darah di atas pedang.


Mutiara Hadits Imam Husain


• "Aku tidak melihat kematian melainkan kebahagiaan, sedang hidup bersama orang-orang zalim adalah kehinaan."
• "Manusia telah menjadi budak dunia, sedangkan agama hanya pengakuan lisan belaka. Selagi agama memakmurkan kehidupannya, mereka akan memegangnya. Namun, bila mereka ditimpa musibah, betapa sedikitnya mereka yang teguh."
• Kepada putranya Ali Zainal Abidin as, Imam Husain as berkata, “Wahai anakku, berhati-hatilah dari berlaku zalim terhadap seseorang yang tidak menemukan pembela di hadapanmu kecuali Allah."
• "Sesungguhnya ada sebagian orang yang beribadah kepada Allah karena mengharap rahmat Allah, dan yang demikian itu adalah ibadah pedagang. Ada pula yang menyembah Allah karena takut akan siksa-Nya, dan yang demikian itu adalah ibadah para budak. Dan ada pula yang beribadah kepada Allah karena berterima kasih kepada-Nya, dan yang demikian itu adalah ibadah orang merdeka, dan inilah ibadah yang paling utama."

Riwayat Singkat Imam Husain


 
Nama  : Husain. 
Gelar  : Sayyidus Syuhada. 
Panggilan : Aba Abdillah. 
Ayah  : Ali bin Abi Thalib.
Ibu  : Fatimah Az-Zahra’. 
Kelahiran : Madinah, 3 Sya’ban 4 H. 
Masa Imamah : 10 tahun. 
Usia  : 57 tahun. 
Kesyahidan : 10 Muharram 61 H. 
Makam         : Karbala, Irak

[+/-] Selengkapnya...

09 Agustus 2009

RIWAYAT SINGKAT IMAM HASAN AS



Hari Lahir


Di rumah yang dindingnya berlapiskan tanah, di kota Madinah Al-Munawwarah, seorang cucunda Nabi, Hasan dilahirkan. Hari itu bertepatan dengan 15 Ramadhan. Hasan kecil diasuh dalam haribaan datuknya, Muhammad saw dan ayahnya Ali bin Abi Thalib as, serta ibunya Fatimah Az-Zahra’ as.


Rasulullah saw sangat mencintai Hasan as. Beliau mengatakan, "Hasan bin Ali adalah putraku." Dalam kesempatan yang lain beliau menyatakan, “Hasan adalah permata hatiku di dunia."


Sudah lama kaum muslimin menyaksikan Nabi saw sering membawa Hasan as di pundaknya dan beliau pernah bersabda, “Semoga Allah SWT mendamaikan dua kelompok dari kaum muslimin dengan perantaranya.” Kemudian beliau berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah dia dan cintailah orang-orang yang mencintainya." Beliau pun senantiasa mengulang-ulang berita ini, "Hasan dan Husain adalah penghulu para pemuda di surga."


Suatu hari Rasulullah saw melakukan shalat di masjid. Kemudian Hasan as menghampirinya, sedang beliau dalam keadaan sujud. Karena ia naik ke atas punggungnya, lalu duduk di leher datuk kinasihnya itu, Rasulullah saw bangun dari sujudnya secara perlahan-lahan sampai Hasan turun sendiri.


Tatkala beliau selesai dari salatnya, sebagian sahabat berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya engkau telah berbuat sesuatu terhadap anak kecil ini yang tidak pernah engkau lakukan kepada yang lainnya."


Nabi menjawab, "Sesungguhnya anak ini adalah jantung hatiku dan anakku ini adalah ‘sayid’ (sang pemimpin). Semoga Allah SWT mendamaikan dua kelompok muslim yang berseteru melalui tangannya."


Perangai Imam Hasan as


Suatu waktu, Imam Hasan as dan Imam Husain as berjalan menuju masjid. Tiba-tiba mereka menyaksikan seorang kakek tua yang sedang berwudhu. Namun, tata cara wudhunya tidak benar.


Imam Hasan as berpikir sejenak, bagaimana cara menunjukkan cara wudhu yang benar kepada kakek tersebut tanpa harus menyinggung perasaannya. Kemudian, keduanya mendatangi kakek tersebut seolah-olah keduanya sedang bertengkar tentang wudhu siapakah yang benar. Masing-masing mengatakan, "Wudhumu tidak benar!" Kemudian keduanya berkata pada kakek tersebut, "Wahai kakek, berilah keputusan yang bijak untuk kami berdua, mana di antara kami yang wudhunya benar."


Maka, mulailah keduanya berwudhu. Lantas kakek itu mengatakan, "Wudhu kalian semua sudah benar." Kemudian kakek itu menunjuk kepada dirinya sendiri dan berkata, "Hanya kakek yang bodoh inilah yang tidak benar wudhunya, dan kini telah belajar dari kalian berdua."


Pada suatu hari, salah seorang sahabat menyaksikan Nabi saw memanggul Hasan dan Husain di pundaknya. Sahabat itu berkata, "Semulia-mulia unta adalah unta kalian."
Nabi saw menjawab, "Dan Semulia-mulia penunggang adalah mereka berdua."


Ketakwaan Imam Hasan as


Imam Hasan as adalah orang yang paling ‘abid (tekun ibadah) pada zamannya. Ia menunaikan ibadah haji sebanyak 25 kali dengan berjalan kaki.


Bila beliau hendak berwudhu dan shalat, wajahnya menjadi pucat dan tubuhnya bergetar karena takut kepada Allah SWT. Beliau berkata, "Suatu keharusan bagi setiap orang yang berdiri di depan Tuhannya untuk merasa takut, pucat wajahnya, dan gemetar seluruh tubuhnya."


Apabila telah sampai di pintu masjid, beliau menengadahkan wajahnya ke langit dan berkata dengan penuh khusyuk, "Tuhanku inilah tamu-Mu berdiri di beranda pintu rumah-Mu! Wahai Dzat Yang Maha Pemurah, telah datang orang yang banyak melakukan keburukan kepada-Mu! Maka hapuskanlah seluruh keburukan yang ada pada diriku dengan kebaikan yang ada di sisi-Mu, Wahai Yang Maha Mulia!”


Kelembutan Imam Hasan as


Pada suatu hari, Imam Hasan as berjalan di tengah keramaian masyarakat. Tiba-tiba di tengah jalan beliau bertemu dengan orang tak dikenal yang berasal dari Syam. Orang tersebut ternyata seorang yang sangat benci terhadap Ahlulbait Nabi saw (nashibi). Mulailah orang itu mencaci maki Imam. Beliau tertunduk diam tidak menjawab sepatah kata pun di hadapan cacian itu, hingga orang itu menuntaskan caciannya.


Setelah itu, Imam as membalasnya dengan senyuman, lantas mengucapkan salam kepadanya sembari berkata, "Wahai kakek, aku kira engkau seorang yang asing. Bila engkau meminta pada kami, kami akan memberimu. Bila engkau meminta petunjuk, aku akan tunjukkan. Bila engkau lapar, aku akan mengenyangkanmu. Bila engkau tidak mememiliki pakaian, aku akan berikan pakaian. Bila engkau butuh kekayaan, aku akan berikan kekayaan. Bila engkau orang yang terusir, aku akan kembalikan. Dan bila engkau memiliki hajat yang lain, aku akan penuhi hajatmu."


Mendengar jawaban Imam Hasan as tersebut, kakek tersebut terperanjat dan terkejut, betapa selama ini ia keliru menilai keluarga Nabi saw. Sejak saat itu, dia sadar bahwa Mu‘awiyah telah menipu dirinya dan masyarakat yang lain. Bahkan Mu‘awiyah telah menyebarkan isu dan fitnah tentang ihwal Ali bin Abi Thalib as dan keluarganya.


Terkesan oleh jawaban Imam as, Kakek itu pun menangis dan berkata, "Aku bersaksi bahwa engkau adalah khalifah Allah SWT di muka bumi ini, dan sesungguhnya Allah Maha Tahu kepada siapa risalah-Nya ini hendak diberikan. Sungguh sebelum ini engkau dan ayahmu adalah orang-orang yang paling aku benci dari sekalian makhluk Allah. Tapi, sekarang engkau adalah orang yang paling aku cintai dari segenap makhluk-Nya."


Kakek tersebut akhirnya dibawa oleh Imam as ke rumahnya dan beliau menjamunya sebagai tamu terhormat hingga dia pergi.


Kedermawanan Imam Hasan as


Seseorang pernah datang menjumpai Imam Hasan as dan meminta kepada beliau untuk memberi sejumlah uang. Atas permintaan orang itu, Imam as memberikan 50.500 Dirham.


Ketika seorang Arab Badui datang meminta, Imam as berkata, "Berikan apa yang ada dalam laci itu padanya." Di dalamnya didapati 20.000 Dinar, dan segera diberikan kepada orang Badui itu.


Pada suatu hari, Imam Hasan as melakukan tawaf di Ka’bah. Tiba-tiba beliau mendengar seseorang yang sedang berdoa kepada Allah SWT agar memberinya rezeki sebanyak 10.000 Dirham. Kemudian beliau pergi ke rumahnya, lantas mengirimkan 20.000 Dirham untuknya.


Diriwayatkan, seseorang menjumpai Imam Hasan dan berkata, "Aku telah membeli seorang budak dan ia melarikan diri dariku." Mendengar itu, beliau lekas memberinya delapan orang budak sebagai ganti budaknya yang hilang itu.


Khilafah (Kepemimpinan Islam)


Segera setelah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib menemui kesyahidan pada 21 Ramadhan akibat tebasan pedang Ibnu Muljam, kepemimpinan Islam beralih ke pundak putranya, yaitu Imam Hasan as. Peralihan ini disambut oleh kaum muslimin saat itu dengan menyatakan baiat (ikrar setia) kepada beliau. Ketika itu, beliau baru berusia 27 tahun.


Pada pagi hari, di awal peralihan kepemimpinan umat itu, Imam as naik ke atas mimbar dan memberikan pidato tentang sejarah, kelangsungan kepemimpinan politik ayahnya dalam memperjuangkan keadilan, kesetaraan, dan menantang setiap makar para pengkhianat agama.


"Sungguh telah diambil nyawanya pada malam itu. Dialah manusia yang orang-orang sebelumnya belum pernah mengunggulinya dalam beramal, dan orang-orang setelahnya pun tak sanggup melakukan amalan tersebut. Sungguh ia berjuang bersama Rasulullah dan telah menjaganya dengan dirinya, dan Rasulullah memberikan panji Islam kepadanya. Sedang malaikat Jibril menjaganya dari sisi kanan dan malaikat Mikail dari sisi kirinya. Dan beliau tidak pernah kembali sehingga Allah SWT membuka dan memperlihatkan kemenangan kepadanya. Sungguh beliau telah syahid di malam ketika Isa bin Maryam as dimikrajkan dan di malam ketika Yusya’ bin Nun, sang penerus Musa as pergi menghadap Allah SWT.”


Kemudian air mata Imam Hasan as luruh membasahi pipinya. Tangisan beliau telah membuat orang-orang yang hadir saat itu juga ikut menangis.


Lalu Imam as melanjutkan pidato, “Aku adalah putra dari pemberi kabar gembira (basyir). Aku adalah putra pemberi peringatan (nazdir). Aku adalah putra penyeru ke jalan Allah (da'i). Aku adalah putra pelita yang cemerlang (sirajun munir). Aku adalah bagian keluarga Nabi (Ahlulbait) yang Allah telah jauhkan dari segala kotoran dari diri mereka dan telah mensucikan mereka sesuci-sucinya.


"Aku termasuk Ahlulbait yang Allah SWT telah mewajibkan orang-orang untuk mencintainya sebagaimana firmannya, ‘Katakanlah [wahai Muhammad]! ‘Aku tidak meminta upah apa pun dari kalian atas risalah ini kecuali kecintaan kepada keluargaku.’ Dan barang siapa melakukan suatu kebaikan, maka akan Kami tambahkan baginya suatu kebaikan.” (QS. Asy-Syura: 23)


Tak lama setelah itu bangkitlah Abdullah bin Abbas dan berkata, “Ketahuilah wahai sekalian manusia, inilah putra Nabimu dan penerima wasiat dari Imammu. Maka, berbaiatlah kepadanya!"
Serempak orang-orang menjawab seruannya dan bergegas untuk memberikan baiat kepada Imam Hasan as.


Muslihat dan Makar Mu‘awiyah


Sementara itu, Mu‘awiyah secara terus-menerus melancarkan makar dan penentangan terhadap Imam Hasan as. Sebagaimana pada masa Imam Ali as, perang Shiffin dan perang Nahrawan adalah bentuk pembangkangannya terhadap khalifah muslimin, dan usahanya dalam rangka merampas tampuk kepemimpinan umat Islam dari tangan pemimpinnya yang sah.


Masyarakat telah memilih Imam Hasan as sebagai khalifah Rasulullah saw, dan sebagai pemimpin mukminin. Akan tetapi, Mu‘awiyah menentang dan menolak baiat kepadanya. Alih-alih menunjukkan ketaatan, dia malah menyebarkan mata-matanya ke Kufah dan Bashrah, serta mengirimkan uang guna membeli hati beberapa orang dekat beliau.


Imam Hasan as tidak menganggap remeh makar yang dilakukan oleh Mu‘awiyah. Bahkan, beliau memerintahkan untuk menghukum mati para mata-mata Mu‘awiyah. Kemudian beliau mengirimkan surat ancaman kepada Mu‘awiyah agar ia menghentikan penyimpangan dan penentangannya.


Persiapan Perang


Selain melakukan makar, Mu‘awiyah mengerahkan seluruh tentaranya untuk menebarkan rasa takut di hati kaum muslimin. Tak segan-segan ia menyerang mereka serta merampok seluruh harta benda miliknya. Imam Hasan as berupaya untuk melawan dan bersiap-siap menyusun barisan perang.

Di hadapan kaum muslimin, Imam mengatakan, “Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan jihad untuk makhluknya dan menjadikan jihad tersebut sebagai sebuah kewajiban. Kemudian Allah SWT mengatakan kepada mujahidin, “Bersabarlah! Karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar, dan kalian tidak akan mendapatkan apa yang kalian inginkan kecuali dengan kesabaran atas apa yang kalian tidak inginkan. Berangkatlah! Semoga Allah SWT menaungi kalian!”


Sayang sekali, rasa takut telah menguasai mereka sehingga sambutannya untuk ikut berperang begitu dingin. Maka, di sinilah Adi bin Hatim At-Tha’i, salah seorang sahabat Imam as, bangkit sambil berteriak lantang dan mencemooh mereka, “Akulah Adi bin Hatim! Maha Suci Allah, Duhai ... alangkah jijiknya tempatku ini! Tidaklah kalian sambut seruan Imam dan putra Nabi kalian."


Sebagian pembela Imam Hasan bangkit dan memberi semangat kepada masyarakat untuk bersiap-siap menghadapi Mu‘awiyah. Hingga tersusunlah pasukan berjumlah dua belas ribu prajurit. Pasukan ini dipimpin oleh Ubaidillah bin Abbas yang kedua putranya telah dibunuh oleh Mu‘awiyah.


Sayangnya, di dalam tubuh pasukan Imam Hasan as sendiri terdapat banyak orang yang rakus akan dunia, sehingga Mu‘awiyah begitu mudahnya membeli mereka dengan kepingan Dirham dan Dinar, dan mereka pun begitu mudahnya membelot ke pasukan Mu‘awiyah.


Bahkan, Mu‘awiyah telah berhasil menyuap panglima perang Imam Hasan as, Ubaidillah bin Abbas dengan uang sebesar satu juta Dirham. Lantas ia pun berkhianat dan membelot dari pasukan beliau. Dia lebih memilih berdiri di barisan Mu‘awiyah dan rela membiarkan beliau bangkit sendiri.


Imam Hasan as memahami betapa sulitnya menghadapi Mu‘awiyah dengan pasukan-pasukan yang lemah imannya itu. Mereka merelakan dijualbelikan diri dan agamanya dengan harga yang amat murah. Dari sinilah Mu‘awiyah menawarkan perdamaian kepada Imam as, dengan syarat beliau harus turun dari kekhalifahan.


Di samping itu, Imam Hasan as tahu bahwa dengan meneruskan perlawanan terhadap Mu‘awiyah malah akan membawa kehancuran dan kematian sahabat-sahabat serta pembela-pembela setia beliau yang sebagiannya adalah sahabat-sahabat mulia Nabi saw. Belum lagi tentara Syam yang akan menduduki Kufah. Semua itu turut melengkapi kekuatiran Imam as.


Perdamaian


Orang-orang Khawarij telah merencanakan siasat untuk membunuh Imam Hasan as yang ternyata mendapat dukungan Mu‘awiyah dari jauh, dengan maksud memaksa Imam Hasan as menerima usul perdamaian dan turun dari kursi kekhalifahan.


Imam as tidak memikirkan selain kepentingan Islam dan kemaslahatan umatnya. Maka itu, demi menghindari pertumpahan darah, Imam as dengan terpaksa menyepakati perdamaian itu, dan menulis butir-butir perdamaian, di antaranya:
1. Hendaknya Mu‘awiyah bertindak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah Nabi.
2. Hendaknya tidak melakukan pencaci-makian terhadap Ali bin Abi Thalib.
3. Mu‘awiyah tidah berhak untuk menentukan seorang pun untuk menduduki khilafah.
4. Tidak memaksa Imam Hasan untuk mengakui Mu‘awiyah sebagai Amirul Mukminin.
5. Hendaknya Mu‘awiyah mengembalikan kekhalifahan kepada Imam Hasan as, dan bila Imam as telah meninggal, maka kekhalifahan dikembalikan kepada Imam Husain as.


Mu‘awiyah Merobek Surat Perdamaian


Sebelumnya, Imam Hasan as telah mengetahui bahwa Mu‘awiyah tidak akan menjalankan butir-butir yang tercantum dalam perdamaian tersebut. Akan tetapi, beliau hendak menunjukkan kepada umat tentang akal bulus Mu‘awiyah, bahwa dia adalah orang yang tidak teguh pada janji dan agama.


Perjanjian damai telah dilaksanakan. Segera setelah memasuki kota Kufah, Mu‘awiyah naik ke mimbar dan berpidato di depan khalayak seraya mengatakan, “Sesungguhnya aku tidak membunuh, tidak juga angkat senjata, atau menyerbu kalian supaya kalian berpuasa atau melakukan shalat. Akan tetapi, tujuanku agar aku memimpin kalian. Ketahuilah, bahwa setiap butir yang tertulis dalam surat perdamaian itu sekarang ada di bawah telapak kakiku." Dengan cara secongkak itu Mu‘awiyah menginjak-injak perdamaian.


Selanjutnya, Mu‘awiyah menentukan Ziyad bin Abih sebagai gubernur Kufah. Ia mulai mengusir pengikut Ahlulbait, menghancurkan rumah-rumah mereka, merampas harta benda mereka, hingga menyiksa dan memenjarakan mereka.


Imam Hasan as berupaya untuk membantu orang-orang yang teraniaya, dan menentang seluruh perbuatan zalim Mu‘awiyah yang telah melanggar butir-butir perdamaian sebagaimana yang telah diberikan kepadanya.


Sampai pada saatnya, Mu‘awiyah merencanakan pembunuhan terhadap Imam Hasan as dan berupaya untuk mendudukkan anaknya yang bernama Yazid di atas kursi kekhalifahan. Dalam rangka itu, ia berpikir untuk meracuni beliau.


Untuk menjalankan rencana pembunuhan tersebut, Mu‘awiyah memilih Ja‘dah, istri Imam Hasan as, yang ayahnya adalah seorang munafik. Tentunya setelah mengiming-imingi imbalan harta kekayaan dan menjadi istri putra mahkota, Yazid.


Setan mulai menggoda pikiran Ja‘dah. Ia pun bersedia menerima racun yang dikirimkan Mu‘awiyah untuknya, lalu mencampurkannya ke dalam makanan yang telah dipersiapkan untuk buka puasa. Karena saat itu Imam as sedang berpuasa.


Tiba saatnya berbuka puasa. Imam Hasan as mulai berbuka dengan makanan yang telah disediakan oleh Ja‘dah. Tiba-tiba ia merasakan pedih dan sakit. Pengaruh racun itu membuat usus beliau terkoyak. Kemudian ia menatap istrinya dan berkata, “Wahai musuh Allah! Kau telah membunuhku. Semoga Allah membunuhmu. Sungguh Mu‘awiyah telah memperdaya dan menipumu. Semoga Allah menghinakanmu dan menghinakannya (Mu‘awiyah).”


Dan demikianlah kenyataannya. Mu‘awiyah tidak menepati janjinya kepada Ja‘dah. Ia berhasil menipu Ja‘dah dan bahkan mengusirnya dari istana. Mu‘awiyah berkata kepadanya, “Kami lebih cinta pada Yazid!” Begitulah nasib Ja‘dah. Ia menderita di dunia dan akhirat. Sejak saat itu, ia lebih dikenal dengan julukan "Si Peracun Suami".


Karena tak lagi kuasa menahan jahatnya racun tersebut, akhirnya Imam Hasan as gugur sebagai syahid pada 28 Shafar 50 H. Dan di hadirat Allah kelak, beliau akan mengadukan kezaliman Bani Umayyah terhadap dirinya.
Jasad suci Imam Hasan as dikebumikan di pemakaman Baqi‘, di Madinah Al-Munawwarah.


Riwayat Singkat Imam Hasan as


Nama : Hasan
Gelar : Al-Mujtaba.
Panggilan : Abu Muhammad.
Ayah : Ali bin Abi Thalib.
Ibu : Fatimah.
Kelahiran : Madinah, 15 Ramadhan 3 H.
Usia : 47 tahun.
Syahid : 28 Shafar 50 H.
Makam : Pemakaman Baqi‘, Madinah.

[+/-] Selengkapnya...

03 Agustus 2009

RIWAYAT SINGKAT FATIMAH AZ-ZAHRA'



Mukadimah


Dahulu kala, masyarakat memandang perempuan bagaikan bagian dari kekayaan yang dimiliki oleh seorang laki-laki. Demikian pula masyarakat Arab pada masa Jahiliyah. Mereka senantiasa memandang wanita sebagai makhluk yang hina. Bahkan, sebagian di antara mereka ada yang menguburkan anak perempuan mereka hidup-hidup.


Ketika fajar mentari Islam terbit, Islam memberikan hak kepada kaum hawa dan telah menentukan pula batas-batasnya, seperti hak sebagai ibu, hak sebagai istri, dan hak sebagai pemudi.


Tentu kita semua sering mendengar hadis Nabi saw yang menyatakan, “Surga itu terletak di bawah kaki ibu.”


Di lain kesempatan, beliau bersabda, "Kerelaan Allah terletak pada kerelaan orang tua." (Dan perempuan termasuk salah satu dari orang tua).


Islam telah memberikan batasan kemanusiaan kepada wanita dan memberikan aturan, undang-undang yang menjamin perlindungan, penjagaan terhadap kemuliaan wanita dan kehormatannya.


Sebagai contoh yang jelas ialah hijab atau jilbab. Jilbab bukanlah penjara bagi wanita, tapi ia merupakan kebanggaan baginya, sebagaimana kita selalu melihat permata yang tersimpan rapi di dalam kotaknya, atau buah-buahan yang tersembunyi di balik kulitnya.


Sedangkan bagi wanita muslimah, Allah SWT telah memberikan aturan yang dapat melindunginya dan menjaga diriya, yaitu jilbab. Bahkan tidak hanya sekedar pelindung, jilbab dapat menambah ketenangan dan keindahan pada diri wanita tersebut.


Wanita dalam pandangan Islam berbeda secara mencolok dari apa yang terjadi di Barat. Dunia Barat memandang wanita laksana benda atau materi yang layak untuk diiklankan, diperdagangkan, dan bisa diambil keuntungan materinya, dengan dalih memelihara etika dan kemuliaan wanita sebagai manusia.


Pandangan ini benar-benar telah membuat nilai wanita terpuruk dan terpisah dari naluri serta nilai-nilai kemanusiaan. Kita juga menyaksikan keretakan keluarga, perceraian yang terjadi di dalam masyarakat Barat telah sedemikian mengkuatirkan.


Dalam pandangan dunia Barat, wanita telah berubah menjadi seonggok barang yang tidak berharga lagi, baik dalam dunia perfilman, iklan, promosi, ataupun dalam dunia kontes kecantikan.


Teman-teman, marilah kita sejenak menengok sosok teladan kaum wanita dalam Islam yang terwujud dalam kehidupan putri Rasulullah tercinta.


Dialah Siti Fatimah Az-Zahra as.
Putri tersayang Nabi Muhammad saw. .
Istri tercinta Imam Ali as. .
Bunda termulia Hasan, Husain, dan Zainab as.


Hari Lahir


Fatimah as dilahirkan pada tahun ke-5 setelah Muhammad saw diutus menjadi Nabi, bertepatan dengan tiga tahun setelah peristiwa Isra' dan Mikraj beliau.


Sebelumnya, Jibril as telah memberi kabar gembira kepada Rasulullah akan kelahiran Fatimah. Ia lahir pada hari Jumat, 20 Jumadil Akhir, di kota suci Makkah.


Fatimah di Rumah Wahyu


Fatimah as hidup dan tumbuh besar di haribaan wahyu Allah dan kenabian Muhammad saw. Beliau dibesarkan di dalam rumah yang penuh dengan kalimat-kalimat kudus Allah SWT dan ayat-ayat suci Al-Qur'an.


Acapkali Rasulullah saw melihat Fatimah masuk ke dalam rumahnya, beliau langsung menyambut dan berdiri, kemudian mencium kepala dan tangannya.


Pada suatu hari istri beliau ‘Aisyah, bertanya kepada Rasulullah saw tentang sebab kecintaan beliau yang sedemikian besar kepada Fatimah as.


Beliau menegaskan, “Wahai ‘Aisyah, jika engkau tahu apa yang aku ketahui tentang Fatimah, niscaya engkau akan mencintainya sebagaimana aku mencintainya. Fatimah adalah darah dagingku. Barang siapa yang membencinya, maka ia telah membenciku, dan barang siapa membahagiakannya maka ia telah membahagiakanku.”


Kaum muslimin telah mendengar sabda Rasulullah yang menyatakan, bahwa sesungguhnya Fatimah diberi nama Fatimah karena dengan nama itu Allah SWT telah melindungi setiap pecintanya dari azab neraka.


Fatimah Az-Zahra’ as menyerupai ayahnya Muhammad saw dari sisi rupa dan akhlaknya.


Ummu Salamah ra, istri Rasulullah menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah. Demikian juga ‘Aisyah. Ia pernah menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah dalam ucapan dan pikirannya.


Fatimah as mencintai ayahandanya melebihi cintanya kepada siapa pun. Setelah ibunda kinasihnya Khadijah wafat, beliaulah yang merawat ayahnya ketika masih berusia enam tahun. Beliau senantiasa berusaha untuk menggantikan peranan ibundanya bagi ayahnya itu.


Pada usianya yang masih belia itu, Fatimah menyertai ayahnya dalam berbagai cobaan dan ujian yang dilancarkan oleh orang-orang musyrikin Makkah terhadapnya. Dialah yang membalut luka-luka sang ayah, dan yang membersihkan kotoran-kotoran yang dilemparkan oleh orang-orang Quraisy ke arah ayahanda tercinta.


Fatimah senantiasa mengajak bicara sang ayah dengan kata-kata dan obrolan yang dapat menggembirakan dan menyenangkan hatinya. Untuk itu, Rasulullah saw memanggilnya dengan julukan Ummu Abiha, yaitu ibu bagi ayahnya, karena kasih sayangnya yang sedemikian tercurah kepada ayahandanya.


Pernikahan Fatimah as

Setelah Fatimah as mencapai usia dewasa dan tiba pula saatnya untuk beranjak pindah ke rumah suaminya (menikah), sebelumknya banyak dari sahabat-sahabat yang berupaya meminangnya. Di antara mereka adalah Abu Bakar dan Umar. Rasulullah saw menolak semua pinangan mereka. Kepada mereka beliau mengatakan, “Saya menunggu keputusan wahyu dalam urusannya (Fatimah as).”


Kemudian, Jibril as datang untuk mengkabarkan kepada Rasulullah saw, bahwa Allah telah menikahkan Fatimah dengan Ali bin Ali Thalib as. Tak lama setelah itu, Ali as datang menghadap Rasulullah dengan perasaan malu menyelimuti wajahnya untuk meminang Fatimah as. Sang ayah pun menghampiri putri tercintanya untuk meminta pendapatnya seraya menyatakan, “Wahai Fatimah, Ali bin Abi Thalib adalah orang yang telah kau kenali kekerabatan, keutamaan, dan keimanannya. Sesungguhnya aku telah memohonkan pada Tuhanku agar menjodohkan engkau dengan sebaik-baik mahkluk-Nya dan seorang pecinta sejati-Nya. Ia telah datang menyampaikan pinangannya atasmu, bagaimana pendapatmu atas pinangan ini?"


Fatimah as diam, lalu Rasulullah pun mengangkat suaranya seraya bertakbir, “Allahu Akbar! Diamnya wanita yang dipinang adalah tanda kerelaannya.”


Acara Pernikahan


Rasulullah saw kembali menemui Ali as sambil mengangkat tangan sang menantu seraya berkata, “Bangunlah! 'Bismillah, bi barakatillah, masya’ Allah la quwwata illa billah, tawakkaltu 'alallah.”


Kemudian, Nabi saw menuntun Ali dan mendudukkannya di samping Fatimah. Beliau berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya keduanya adalah makhluk-Mu yang paling aku cintai, maka cintailah keduanya, berkahilah keturunannya, dan peliharalah keduanya. Sesungguhnya aku menjaga mereka berdua dan keturunannya dari setan yang terkutuk.”


Rasulullah mencium keduanya sebagai tanda ungkapan selamat berbahagia. Kepada Ali, beliau berkata, “Wahai Ali, sebaik-baik istri adalah istrimu.” Dan kepada Fatimah, beliau menyatakan, “Wahai Fatimah, sebaik-baik suami adalah suamimu”.


Di tengah-tengah keramaian dan kerumunan wanita yang berasal dari kaum Anshar, Muhajirin, dan Bani Hasyim, telah lahir sesuci-suci dan seutama-utamanya keluarga dalam sejarah Islam yang kelak menjadi benih bagi Ahlulbait Nabi yang telah Allah bersihkan kotoran jiwa dari mereka dan telah mensucikan mereka dengan sesuci-sucinya.


Acara pernikahan kudus itu berlangsung dengan kesederhanaan. Saat itu, Ali tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan sebagai mahar kepada sang istri selain pedang dan perisainya. Untuk menutupi keperluan mahar itu, ia bermaksud menjual pedangnya. Tetapi Rasulullah saw mencegahnya, karena Islam memerlukan pedang itu, dan setuju apabila Ali menjual perisainya.


Setelah menjual perisai, Ali menyerahkan uangnya kepada Rasulullah saw. Dengan uang tersebut beliau menyuruh Ali untuk membeli minyak wangi dan perabot rumah tangga yang sederhana guna memenuhi kebutuhan keluarga yang baru ini.


Kehidupan mereka sangat bersahaja. Rumah mereka hanya memiliki satu kamar, letaknya di samping masjid Nabi saw.


Hanya Allah SWT saja yang mengetahui kecintaan yang terjalin di antara dua hati, Ali dan Fatimah. Kecintaan mereka hanya tertumpahkan demi Allah dan di atas jalan-Nya.


Fatimah as senantiasa mendukung perjuangan Ali as dan pembelaannya terhadap Islam sebagai risalah ayahnya yang agung nan mulia. Dan suaminya senantiasa berada di barisan utama dan terdepan dalam setiap peperangan. Dialah yang membawa panji Islam dalam setiap peperangan kaum muslimin. Ali pula yang senantiasa berada di samping mertuanya, Rasulullah saw.


Fatimah as senantiasa berusaha untuk berkhidmat dan membantu suami, juga berupaya untuk meringankan kepedihan dan kesedihannya. Beliau adalah sebaik-baik istri yang taat. Beliau bangkit untuk memikul tugas-tugas layaknya seorang ibu rumah tangga. Setiap kali Ali pulang ke rumah, ia mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan di sisi sang istri tercinta.


Fatimah as merupakan pohon yang baik, yang akarnya menghujam kokoh ke bumi, dan cabangnya menjulang tinggi ke langit. Fatimah dibesarkan dengan cahaya wahyu dan beranjak dewasa dengan didikan Al-Qur'an.


Keluarga Teladan


Kehidupan suami istri adalah ikatan yang sempurna bagi dua kehidupan manusia untuk menjalin kehidupan bersama. Kehidupan keluarga dibangun atas dasar kerjasama, tolong menolong, cinta, dan saling menghormati.


Kehidupan Ali dan Fatimah merupakan contoh dan teladan bagi kehidupan suami istri yang bahagia. Ali senantiasa membantu Fatimah dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangganya. Begitu pula sebaliknya, Fatimah selalu berupaya untuk mencari keridhaan dan kerelaan Ali, serta senantiasa memberikan rasa gembira kepada suaminya.


Pembicaraan mereka penuh dengan adab dan sopan santun. "Ya binta Rasulillah"; wahai putri Rasul, adalah panggilan yang biasa digunakan Imam Ali setiap kali ia menyapa Fatimah. Sementara Sayidah Fatimah sendiri menyapanya dengan panggilan “Ya Amirul Mukminin”; wahai pemimpin kaum mukmin.
Demikianlah kehidupan Imam Ali as dan Sayidah Fatimah as. Keduanya adalah teladan bagi kedua pasangan suami-istri, atau pun bagi orang tua terhadap anak-anaknya.


Buah Hati


Pada tahun ke-2 Hijriah, Fatimah as melahirkan putra pertamanya yang oleh Rasulullah saw diberi nama “Hasan”. Rasul saw sangat gembira sekali atas kelahiran cucunda ini. Beliau pun menyuarakan azan pada telinga kanan Hasan dan iqamah pada telinga kirinya, kemudian dihiburnya dengan ayat-ayat Al-Qur'an.


Setahun kemudian lahirlah Husain. Demikianlah Allah SWT berkehendak menjadikan keturunan Rasulullah saw dari Fatimah Az-Zahra as. Rasul mengasuh kedua cucunya dengan penuh kasih dan perhatian. Tentang keduanya beliau senantiasa mengenalkan mereka sebagai buah hatinya di dunia.


Bila Rasulullah saw keluar rumah, beliau selalu membawa mereka bersamanya. Beliau pun selalu mendudukkan mereka berdua di haribaannya dengan penuh kehangatan.


Suatu hari Rasul saw lewat di depan rumah Fatimah as. Tiba-tiba beliau mendengar tangisan Husain. Kemudian Nabi dengan hati yang pilu dan sedih mengatakan, “Tidakkah kalian tahu bahwa tangisnya menyedihkanku dan menyakiti hatiku.”


Satu tahun berselang, Fatimah as melahirkan Zainab. Setelah itu, Ummu Kultsum pun lahir. Sepertinya Rasul saw teringat akan kedua putrinya Zainab dan Ummu Kultsum ketika menamai kedua putri Fatimah as itu dengan nama-nama tersebut.
Dan begitulah Allah SWT menghendaki keturunan Rasul saw berasal dari putrinya Fatimah Zahra as.


Kedudukan Fatimah Az-Zahra’ as


Meskipun kehidupan beliau sangat singkat, tetapi beliau telah membawa kebaikan dan berkah bagi alam semesta. Beliau adalah panutan dan cermin bagi segenap kaum wanita. Beliau adalah pemudi teladan, istri tauladan dan figur yang paripurna bagi seorang wanita. Dengan keutamaan dan kesempurnaan yang dimiliki ini, beliau dikenal sebagai “Sayyidatu Nisa’il Alamin”; yakni Penghulu Wanita Alam Semesta.


Bila Maryam binti ‘Imran, Asiyah istri Firaun, dan Khadijah binti Khuwalid, mereka semua adalah penghulu kaum wanita pada zamannya, tetapi Sayidah Fatimah as adalah penghulu kaum wanita di sepanjang zaman, mulai dari wanita pertama hingga wanita akhir zaman.


Beliau adalah panutan dan suri teladan dalam segala hal. Di kala masih gadis, ia senantiasa menyertai sang ayah dan ikut serta merasakan kepedihannya. Pada saat menjadi istri Ali as, beliau selalu merawat dan melayani suaminya, serta menyelesaikan segala urusan rumah tangganya, hingga suaminya merasa tentram bahagia di dalamnya.


Demikian pula ketika beliau menjadi seorang ibu. Beliau mendidik anak-anaknya sedemikian rupa atas dasar cinta, kebaikan, keutamaan, dan akhlak yang luhur dan mulia. Hasan, Husain, dan Zainab as adalah anak-anak teladan yang tinggi akhlak dan kemanusiaan mereka.


Kepergian Sang Ayah


Sekembalinya dari Haji Wada‘, Rasulullah saw jatuh sakit, bahkan beliau sempat pingsan akibat panas dan demam keras yang menimpanya. Fatimah as bergegas menghampiri beliau dan berusaha untuk memulihkan kondisinya. Dengan air mata yang berderai, Fatimah berharap agar sang maut memilih dirinya dan merenggut nyawanya sebagai tebusan jiwa ayahandanya.


Tidak lama kemudian Rasul saw membuka kedua matanya dan mulai memandang putri semata wayang itu dengan penuh perhatian. Lantas beliau meminta kepadanya untuk membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Fatimah pun segera membacakan Al-Qur'an dengan suara yang khusyuk.


Sementara sang ayah hanyut dalam kekhusukan mendengarkan kalimat-kalimat suci Al-Qur'an, Fatimah pun memenuhi suasana rumah Nabi. Beliau ingin menghabiskan detik-detik akhir hayatnya dalam keadaan mendengarkan suara putrinya yang telah menjaganya dari usia yang masih kecil dan berada di samping ayahnya di saat dewasa.
Rasul saw meninggalkan dunia dan ruhnya yang suci mi’raj ke langit.


Kepergian Rasul saw merupakan musibah yang sangat besar bagi putrinya, sampai hatinya tidak kuasa memikul besarnya beban musibah tersebut. Siang dan malam, beliau selalu menangis.


Belum lagi usai musibah itu, Fatimah as mendapat pukulan yang lebih berat lagi dari para sahabat yang berebut kekuasaan dan kedudukan.


Setelah mereka merampas tanah Fadak dan berpura-pura bodoh terhadap hak suaminya dalam perkara khilafah (kepemimpinan), Fatimah Az-Zahra’ as berupaya untuk mempertahankan haknya dan merebutnya dengan keberanian yang luar biasa.


Imam Ali as melihat bahwa perlawanan terhadap khalifah yang dilakukan Sayidah Fatimah as secara terus menerus bisa menyebabkan negara terancam bahaya besar, hingga dengan begitu seluruh perjuangan Rasul saw akan sirna, dan manusia akan kembali ke dalam masa Jahiliyah.


Atas dasar itu, Ali as meminta istrinya yang mulia untuk menahan diri dan bersabar demi menjaga risalah Islam yang suci.


Akhirnya, Sayidah Fatimah as pun berdiam diri dengan menyimpan kemarahan dan mengingatkan kaum muslimin akan sabda Nabi, “Kemarahannya adalah kemarahan Rasulullah, dan kemarahan Rasulullah adalah kemarahan Allah SWT.”


Sayidah Fatimah as diam dan bersabar diri hingga beliau wafat. Bahkan beliau berwasiat agar dikuburkan di tengah malam secara rahasia.


Kepergian Putri Tercinta Rasul


Bagaikan cahaya lilin yang menyala kemudian perlahan-lahan meredup. Demikianlah ihwal Fatimah Az-Zahra’ as sepeninggal Rasul saw. Ia tidak kuasa lagi hidup lama setelah ditinggal wafat oleh sang ayah tercinta. Kesedihan senantiasa muncul setiap kali azan dikumandangkan, terlebih ketika sampai pada kalimat Asyhadu anna Muhammadan(r) Rasulullah.


Kerinduan Sayidah Fatimah untuk segera bertemu dengan sang ayah semakin menyesakkan dadanya. Bahkan kian lama, kesedihannya pun makin bertambah. Badannya terasa lemah, tidak lagi sanggup menahan kerinduan jiwanya kepada ayah tercinta.


Demikianlah keadaan Sayidah Fatimah as saat meninggalkan dunia. Beliau tinggalkan Hasan yang masih 7 tahun, Husain yang masih 6 tahun, Zainab yang masih 5 tahun, dan Ummi Kultsum yang baru saja memasuki usia 3 tahun.


Yang paling berat dalam perpisahan ini, ia harus meninggalkan suami termulia, Ali as, pelindung ayahnya dalam jihad dan teman hidupnya di segala medan.


Sayidah Fatimah as memejamkan mata untuk selamanya setelah berwasiatkan kepada suaminya akan anak-anaknya yang masih kecil. Beliau pun mewasiatkan kepada sang suami agar menguburkannya secara rahasia. Hingga sekarang pun makam suci beliau masih misterius. Dengan demikian terukirlah tanda tanya besar dalam sejarah tentang dirinya.


Fatimah Az-Zahra’ as senantiasa memberikan catatan kepada sejarah akan penuntutan beliau atas hak-haknya yang telah dirampas oleh Abu Bakar. Sehingga umat Islam pun kian bertanya-tanya terhadap rahasia dan kemisteriusan kuburan beliau.


Dengan penuh kesedihan, Imam Ali as duduk di samping kuburannya, diiringi kegelapan yang menyelimuti angkasa. Kemudian Imam as mengucapkan salam, “Salam sejahtera bagimu duhai Rasulullah ... dariku dan dari putrimu yang kini berada di sampingmu dan yang paling cepat datang menyusulmu.


"Duhai Rasulullah! Telah berkurang kesabaranku atas kepergian putrimu, dan telah berkurang pula kekuatanku ... Putrimu akan mengabarkan kepadamu akan umatmu yang telah menghancurkan hidupnya. Pertanyaan yang meliputinya dan keadaan yang akan menjawab. Salam sejahtera untuk kalian berdua!”


Riwayat Singkat Sayidah Fatimah as


Nama : Fatimah
Julukan : Az-Zahra’, Al-Batul, At-Thahirah
Ayah : Mahammad
Ibu : Khadijah binti Khuwailid
Kelahiran: Jumat 20 Jummadil Akhir
Tempat : Makkah Al-Mukarramah
Wafat : MadinahAl-Munawarah, Tahun 11 H
Makam : Tidak diketahui

[+/-] Selengkapnya...

01 Agustus 2009

RIWAYAT SINGKAT IMAM ALI as



Hari Lahir


Pada hari Jumat, 13 Rajab, tepatnya 23 tahun sebelum hijrah, lahirlah dari keluarga Abu Thalib seorang bayi mulia yang menyinari kota Makkah dan alam semesta dunia.


Ketika paman Nabi saw yang bernama Abbas bin Abu Thalib sedang duduk santai bersama seorang lelaki yang bernama Qu'nab, datanglah Fatimah binti Asad untuk melakukan tawaf di sekeliling Ka'bah dan memanjatkan doa ke hadirat Allah SWT. Pandangan matanya tertuju ke langit sambil bermunajat kepada-Nya dengan penuh khusyuk.


Dalam doanya itu ia berkata, "Ketahuilah wahai Tuhanku, sesungguhnya aku beriman kepada-Mu dan kepada semua yang datang dari sisi-Mu, yaitu para rasul dan kitab-kitab yang dibawa oleh mereka. Sesungguhnya aku membenarkan seruan kakekku Ibrahim Al-Khalil as. Dialah yang membangun kembali Ka'bah yang mulia ini. Maka demi orang yang telah membangun Ka'bah ini, dan demi janin yang ada dalam kandunganku ini, aku memohon pada-Mu; mudahkanlah kelahirannya."


Tidak lama setelah itu, terjadilah peristiwa yang sangat menakjubkan, pertanda bahwa Allah SWT telah mengabulkan doanya. Di saat itu, tembok Ka'bah terbelah sehingga Fatimah binti Asad bisa masuk ke dalamnya, setelah itu tertutup kembali. Peristiwa yang sangat aneh dan menakjubkan itu membuat semua orang yang menyaksikannya terheran-heran.


Abbas bin Abu Thalib yang juga turut menyaksikan kejadian tersebut langsung pulang ke rumah untuk mengabarkan kejadian tersebut kepada keluarga dan kerabatnya, lalu kembali lagi ke Ka'bah bersama beberapa orang wanita untuk membantu kelahiran janin Fatimah itu. Namun, mereka hanya mampu mengelilingi Ka'bah, tanpa bisa masuk ke dalamnya. Seluruh penduduk kota Makkah tetap dalam kebingungan sambil menanti Fatimah keluar.


Empat hari kemudian, barulah Fatimah keluar dari dalam Ka'bah sambil menimang putranya yang baru saja lahir. Orang-orang bertanya-tanya tentang nama bayi mulia itu, Fatimah menjawab, "Namanya adalah Ali."
Demikianlah kelahiran Imam Ali as yang serba menakjubkan itu.


Semenjak masih dalam susuan, Ali tumbuh besar dan terdidik di dalam rumah Nabi saw. Pada salah satu khutbahnya yang terhimpun dalam Nahjul Balaghah, Ali pernah menuturkan, "Ketika aku masih kecil, beliau saw membaringkanku di tempat tidurnya, mendekapku dengan penuh kasih-sayang, dan mengunyahkan makanan untuk disuapkan ke mulutku."


Masa Kanak-Kanak


Sejak masa kanak-kanak, Imam Ali as tidak pernah berpisah dari pendidikan manusia agung Rasulullah saw. Beliau senantiasa menyertai Rasulullah saw, laksana bayangan yang begitu setia mengikuti empunya.


Mengenang masa kanak-kanaknya, Imam Ali as mengisahkan, "Aku senantiasa mengikuti Rasulullah saw bak seorang anak unta yang masih menyusu selalu menyertai ibunya. Setiap hari Rasulullah saw selalu menyempurnakan perangaiku dan memintaku untuk mengikutinya. Setiap tahun aku selalu menyaksikan beliau pergi ke goa Hira’, sementara tidak seorang pun mengetahui kepergian beliau. Ketika itu, tidak ada satu rumah pun yang menyatukan seorang pun di dalam Islam selain Rasulullah, Khadijah, dan yang ketiga adalah aku sendiri. Kusaksikan cahaya wahyu dan risalah ilahi. Di sana kucium semerbak kenabian dari rumah kudus itu."


Ketika Allah SWT mengangkat Muhammad saw sebagai seorang Rasul untuk seluruh umat manusia, dan memerintahkan agar beliau berdakwah dan memberikan peringatan kepada keluarga serta kerabatnya, beliau memerintahkan Ali agar menyiapkan makanan untuk 40 orang dan mengundang kerabat beliau. Di antara mereka yang memenuhi undangan ialah paman-paman beliau, seperti Abu Thalib, Hamzah, Abbas, dan Abu Lahab.


Seperti dalam kenangan Imam Ali as sendiri, beliau menuturkan, "Kemudian Nabi berpidato di hadapan mereka, 'Wahai putra-putra Abdul Muthalib! Demi Allah, sesungguhnya aku tidak pernah melihat di antara bangsa Arab ada seorang pemuda yang mendatangi kaumnya dengan sesuatu yang lebih utama dari pada apa yang telah kubawa untuk kalian. Sesungguhnya aku membawa untuk kalian kebaikan dunia dan akhirat. Ketahuilah, bahwa Allah SWT telah memerintahkan kepadaku agar mengajak kalian semua untuk meraih kebaikan tersebut. Siapakah di antara kalian yang siap membela dan menolongku dalam urusan ini dan untuk menjadi saudaraku, washi, dan khalifahku atas kalian semua?'


Ketika itu, semua yang hadir diam dan tidak seorang pun yang menjawab seruan beliau. Aku segera berkata, meski usiaku saat itu paling muda di antara mereka, 'Aku ya Rasulullah, akulah yang akan menjadi pembela dan penolongmu.' Saat itu juga Rasulullah saw berkata, 'Inilah Ali sebagai saudaraku, washi, dan khalifahku atas kalian semua. Maka, dengarkanlah dan taatilah dia.”


Masa Muda


Masa kanak-kanak seakan berlalu begitu cepat. Kini Ali as telah menjadi seorang pemuda sempurna. Sementara ia masih terus mengikuti Rasulullah saw ke mana saja beliau pergi dan di mana saja beliau berada, bagaikan laron yang selalu beterbangan di sekitar lilin.


Ali as adalah pemuda yang tampan, kuat, dan gagah berani. Kekuatan dan keberanian ini digunakannya untuk berkhidmat dan berbakti kepada agama Allah SWT dan Rasul-Nya.


Ketika kita menengok sejarah Islam, kita jumpai bagaimana Imam Ali as senantiasa hadir dan ikut serta dalam setiap peperangan dan pertempuran. Beliau berperang dan menyerang musuh-musuhnya dengan penuh ksatria dan prawira di barisan terdepan.


Pada perang Hunain, di saat sebagian kaum muslimin lari tunggang-langgang meninggalkan Rasulullah saw di awal pertempuran, Ali as tetap tampil tegar dan gigih melakukan perlawanan, sementara bendera Islam tetap berkibar di atas kepalanya, sampai akhirnya tentara Islam dapat meraih kemenangan atas pasukan musyrikin.


Pada perang Khaibar, Ali bin Abi Thalib as memimpin pasukan muslimin untuk melakukan serangan yang dahsyat terhadap kaum Yahudi. Padahal sebelumnya, pasukan muslimin mengalami dua kali kegagalan. Penyerangan pertama dipimpin oleh Abu Bakar, dan penyerangan kedua dipimpin oleh Umar bin Khattab. Kedua usaha penyerangan itu dapat dipukul mundur oleh pasukan Yahudi.


Penyerangan ketiga dipercayakan kepada Ali. Beliau memimpin pasukan dan berhasil menjebol benteng kokoh Khaibar. Bahkan, beliau mencabut salah satu pintu gerbang benteng itu dan mengangkat dengan tangannya sendiri.


Ketika kaum Yahudi menyaksikan kegagahan dan keberanian Ali tersebut, mereka segera kabur tunggang-langgang karena ketakutan, sebelum akhirnya mereka menyerah.


Tebusan Pertama


Setiap manusia yang berakal sehat selalu berusaha membela dirinya, karena ia ingin senantiasa hidup, dan tidak menghendaki kematian. Dalam kehidupan ini, kita saksikan sedikit sekali orang-orang yang mau mengorbankan dirinya demi orang lain.


Ketika kita membaca sejarah Rasulullah saw dan kisah perjalanan hijrah beliau, kita akan merasa kagum dan penuh haru. Kita saksikan betapa Imam Ali as dengan penuh keberanian berbaring di tempat tidur Nabi saw sebagai tebusan jiwa beliau yang suci dari serangan musuh-musuh Islam yang ingin membunuhnya pada malam hijrah itu, padahal ketika itu Imam Ali as masih sangat muda.


Rencana pembunuhan atas diri Rasulullah saw itu diawali dengn berkumpulnya sekelompok kaum musyrikin di Darun Nadwah. Di sanalah mereka membuat kesepakatan dan memutuskan untuk menghabisi jiwa kudus Rasulullah saw. Cara dan taktik yang mereka ambil ialah dengan memilih satu orang pemuda dari setiap kabilah Quraisy. Mereka ditugaskan menyergap rumah Rasulullah saw pada tengah malam dan membunuhnya secara serentak.


Wahyu Ilahi turun dari langit, mengabarkan kepada Rasulullah saw akan tipu daya dan makar jahat orang-orang kafir Quraisy tersebut. Mengetahui rencana jahat itu, Imam Ali as segera pergi menuju rumah Rasulullah saw untuk bermalam di tempat tidur beliau.


Dengan izin Allah SWT, Rasulullah saw berhasil keluar pada malam hari itu juga tanpa diketahui oleh mereka. Mereka malah menduga bahwa beliau masih berada di tempat tidurnya. Ketika mereka berhasil masuk untuk membunuh beliau saw, ternyata yang mereka dapati adalah Ali. Betapa terkejutnya saat mereka menjumpai Ali yang tengah berbaring di atas tempat tidur Nabi saw. Mereka pun segera pergi meninggalkan rumah Nabi dalam keadaan malu dan penuh kecewa.


Demikianlah Rasulullah saw dapat menyelamatkan diri berkat pengorbanan sahabatnya yang setia, Imam Ali as.


Di Jalan Allah


Islam adalah agama keselamatan dan kehidupan. Karena itu, Islam menolak pembunuhan dan pertumpahan darah tanpa hak. Semua peperangan dan pertempuran yang terjadi pada masa Rasulullah saw adalah demi membela diri dan mempertahankan agama.


Beliau senantiasa berusaha menghindari peperangan sebisa mungkin. Akan tetapi ketika Islam terancam bahaya, kaum muslimin pun melakukan pertahanan dan perlawanan gigih dan kesatria demi mengangkat “Kalimat Allah”.


Ketika kita mengkaji peperangan-peperangan yang terjadi pada masa awal-awal Islam, sejarah mencatat bahwa pedang Ali bin Abi Thalib berperan andil yang sangat besar atas kejayaan Islam dan umatnya. Pedang yang diberi nama Dzul Fiqar itu senantiasa berkilauan, bagaikan kilat menyambar dalam setiap medan peperangan.


“Ali senantiasa bersama hak dan hak selalu bersama Ali.” Demikian sabda Nabi saw tentang Imam kita, Ali bin Abi Thalib as.


Akhlak Imam Ali as


Pada masa khilafah Imam Ali as, Kufah merupakan ibu kota pemerintahan Islam, sekaligus menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam.


Pada suatu hari, terjadi pertemuan di luar kota Kufah antara dua orang laki-laki. Satu di antara mereka adalah Amirul Mukminin Ali as dan yang lainnya adalah seorang laki-laki yang beragama Nasrani. Laki-laki Nasrani ini sama sekali tidak mengenal beliau. Berlangsunglah percakapan antara kedua orang itu sambil berjalan, hingga keduanya sampai di persimpangan yang memisahkan jalan mereka menjadi dua; yang satu menuju kota Kufah dan yang lainnya mengarah ke suatu perkampungan.


Imam Ali as harus menempuh perjalanannya menuju kota Kufah, sementara laki-laki Nasrani itu hendak melanjutkan perjalanannya menuju kampungnya. Namun beliau masih saja mengiringinya, padahal seharusnya beliau mengambil jalan yang menuju ke arah kota kufah.


Laki-laki Nasrani itu terkejut dan berkata kepada Imam Ali, “Bukankah Anda hendak kembali ke Kufah?” Beliau menjawab, “Ya betul, akan tetapi aku ingin mengantarmu beberapa langkah demi menunaikan hak persahabatan dalam perjalanan, karena sesungguhnya teman seperjalanan itu mempunyai hak dan aku ingin memenuhi hakmu itu.”


Laki-laki Nasrani itu merasa tertarik dan ia bergumam dalam hatinya, “Betapa agung dan mulianya agama orang ini yang telah mengajarkan akhlak yang mulia kepada manusia.” Ia pun sangat terdorong untuk mengungkapkan keislamannya dan bergabung bersama kaum muslimin.


Kekaguman dan keterkejutannya itu menjadi lebih besar lagi tatkala ia tahu, bahwa sebenarnya teman perjalanannya itu tiada lain adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, pemimpin negara Islam yang luas.


Keteguhan Ali as


Pada kondisi yang wajar dan normal, seseorang akan dapat mengendalikan jiwa dan menentukan sikapnya yang sesuai dengan kondisi tersebut. Akan tetapi, pada kondisi dimana ia terbakar api kemarahan dan permusuhan, seseorang acapkali kehilangan keseimbangan dirinya, hingga pada saat-saat seperti ini sulit sekali baginya untuk menguasai kembali dirinya.


Tidak demikian halnya pada diri Ali Abi Thalib as. Ia tetap tenang dan tegar pada setiap keadaan dan kondisi. Sikapnya sama sekali tidak terpengaruh oleh dorongan emosi jiwanya, dan perbuatannya senantiasa mengiringi ridha Allah SWT.


Perilaku Ali di dalam rumah tangga, sikapnya dalam peperangan, pergaulan dan perlakuannya di tengah masyarakat senantiasa tunduk di bawah syariat dan undang-undang Islam. Beliau telah menjaga jiwanya sedemikian rupa, sehingga ia menjadi teladan yang unggul bagi setiap muslim yang beriman kepada Tuhannya.


Dalam perang Khandaq, ketika kaum musyrikin hendak menyerang kota Madinah, atas perintah Rasulullah saw kaum muslimin menggali parit untuk melindungi kota dari serangan musuh. Situasi saat itu sangat genting dan membahayakan sekali bagi umat Islam, terlebih lagi ketika ‘Amr bin Abdi Wud dan sebagian penunggang kuda musyrikin Quraisy berhasil melompati parit tersebut.


Setelah berhasil melewati parit dengan kudanya yang besar dan gagah, Amr bersuara lantang menantang kaum muslimin untuk turun ke perang tanding dengannya. ‘Amr bukanlah orang biasa. Ia seorang jawara Arab yang gagah berani.


Ketika itu sebagian besar kaum Muslimin merasa ciut dan gentar hatinya untuk berhadapan dengannya, termasuk Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Pada kesempatan inilah Imam Ali bangkit untuk memenuhi tantangan ‘Amr. Beliau maju menuju ke arah musuh yang congkak itu, tanpa sedikit pun ada rasa takut dalam hatinya.


Sementara itu, Rasulullah saw dengan tenang menyaksikan peristiwa itu dan bersabda, “Kini keimanan seutuhnya bangkit melawan kemusyrikan seutuhnya.”


Akan tetapi, ‘Amr bin Abdi Wud berusaha menghindar dari bertanding duel dengan Imam Ali. Ia berkata, “Wahai Ali! Kembalilah! Aku tidak ingin membunuhmu.” Ali menjawab dengan penuh kemantapan iman, “Tapi, aku ingin membunuhmu.”


Mendengar jawaban itu, ‘Amr naik pitam dan begitu berang. Segera ia menghunuskan pedangnya dan melayangkannya ke arah Ali. Namun, Ali dengan cepat dapat menghindar dari serangan pedang tersebut. Untuk beberapa saat, kedua pemberani itu itu saling menyerang, menangkis, dan menghindar.


Ali tidak memberikan peluang sedikit pun kepada lawannya untuk menarik nafas. Sampai pada kesempatan yang tepat, Ali dapat melayangkan pedang Dzul Fiqarnya tepat mengenai sasaran yang membuat ‘Amr jatuh tersungkur di atas tanah. Pemandangan tersebut membuat kawan-kawan ‘Amr ketakutan dan mundur secara teratur.


Namun, tatkala Ali hendak menghabisi nyawanya, ‘Amr yang congkak itu malah meludahi wajahnya. Untuk sesaat saja perlakuan seperti itu menyulut kemarahan Ali. Karena itu pula ia mengurungkan niat untuk membunuh ‘Amr sampai emosi beliau kembali tenang. Ali melakukan ini agar tebasan pedangnya bukan sebagai pembalasan dendam dan dorongan murka, akan tetapi demi keikhlasannya yang murni kepada Allah SWT dan agama-Nya.


Sungguh, Ali adalah kesatria teladan bagi seluruh prajurit di semua peperangan dan pertempuran. Sikap dan sepak terjangnya telah mengukir indah sejarah bangsa Arab dan Islam dengan tinta emas.


Setelah ‘Amr bin Abdi Wud terhempas mati, Ali kembali membawa kemenangan gemilang kepada Rasulullah saw. Beliau menyambutnya degan penuh hangat, haru, dan puas. Beliau berkata, “Tebasan pedang Ali atas ‘Amr menandingi pahala ibadahnya seluruh tsaqalain.” Yakni, pukulan pedang Imam Ali as yang membelah badan ‘Amr menjadi dua itu sama dengan ibadahnya seluruh jin dan manusia.


Pada saat berlangsungnya duel antara Ali bin Abi Thalib dengan ‘Amr bin Abdi Wud, kaum musyrikin senantiasa mengamati dan memperhatikan peristiwa itu dengan penuh ketegangan. Tatkala mereka menyaksikan prajuritnya itu jatuh tersungkur ke tanah, mereka pun mendengar Ali berteriak keras, “Allahu Akbar”. Seketika itu pula dada mereka bergetar ketakutan, jiwa mereka tampak melemah dan putus asa untuk melanjutkan peperangan.


Akhirnya, mereka mengakhiri penyerangan dan pengepungan kota Madinah dan kembali menarik diri dengan segenap kepiluan, kegagalan, dan kekecewaan.


Imam Ali as di Perang Shiffin


Kekesatriaan dan keprawiraan itu tidaklah berarti apapun jika tidak diiringi dengan sifat semulia belas dan kasih sayang. Manusia yang berjiwa laksana pahlawan dan pemberani senantiasa menjaga kehormatan dirinya.
Demikianlah sosok agung Imam Ali as.


Beliau tidak mau membunuh musuhnya yang telah terluka parah atau tercekik kehausan. Beliau juga enggan mengusir orang yang kalah. Perikemanusiaannya begitu tinggi dalam setiap peperangan. Beliau tidak pernah menggunakan lapar atau haus-dahaga sebagai senjatanya dalam peperangan melawan musuh-musuh Islam, walaupun mereka sama sekali tidak menganggap penting akan perkara itu.


Bahkan sebaliknya, musuh-musuh Islam tak segan-segan menggunakan cara yang paling buruk demi meraih kemenangan. Dalam perang Shiffin misalnya, pasukan Mu‘awiyah berhasil menguasai sungai Furat, dan ia memerintahkan kepada segenap pasukannya agar mencegah prajurit Imam Ali as untuk mendekati sungai tersebut. Namun, beliau mengingatkan mereka bahwa ajaran Islam, kemanusiaan, dan kekesatriaan sangat mengecam perlakuan semacam itu. Akan tetapi, Muawiyah tidak mempedulikannya, karena yang ia pikirkan hanyalah keuntungan pribadi dan tujuannya yang rakus dan hina.


Pada saat itu Imam Ali as berkata kepada para prajuritnya dengan suara lantang, “Hilangkan dahaga pedang-pedang kalian dengan darah, demi menghilangkan rasa haus kalian dengan seteguk air, karena sesungguhnya kematian dalam kehidupan kalian akan tunduk, dan kehidupan dalam kematian kalian akan unggul.”


Dengan serentak para prajurit Imam Ali as menyerang musuh-musuh Islam yang tengah menjaga sungai Furat, dan dengan mudahnya mereka merebut sungai itu. Kemudian para prajurit Imam Ali as pun segera menyatakan bahwa mereka akan memukul setiap pasukan Muawiyah yang hendak meneguk air dari sungai tersebut. Akan tetapi, Imam Ali as segera mengeluarkan perintahnya agar mengosongkan tepi sungai dan tidak menggunakan air sebagai senjata, karena yang demikian itu bertentangan dengan akhlak Islam dalam peperangan.


Sang Pemimpin Yang Miskin


Masih pada masa-masa menjabat sebagai Amiril Mukminin dan khalifah bagi kaum muslimin, Imam Ali as menghadapi berbagai tantangan, bencana, dan kesusahan hidup dunia. Walaupun demikian, beliau sendiri terjun langsung menangani kemiskinan umat Islam dan rakyatnya.


Imam Ali as sama sekali tidak memiliki dendam pribadi kepada siapa pun, sehingga orang-orang yang sebelumnya memusuhi beliau dan menyimpan kedengkian serta kebencian yang mendalam sekalipun tetap dapat menerima bagian dari Baitul Mal (kekayaan negara). Bahkan, beliau tidak membeda-bedakan dalam membagikan harta Baitul Mal itu di antara para sahabat, kerabat, famili, dan orang-orang yang dekat dengan beliau dengan yang rakyat lainnya.


Pada suatu hari, seorang wanita bernama Saudah datang menjumpai Amirul Mukminin Ali as untuk mengadukan perlakuan buruk seorang pegawai pajak terhadap dirinya. Ketika itu beliau sedang melaksanakan salat. Tatkala bayangan seorang wanita itu datang menghampirinya, beliau mempercepat salatnya.


Seusai salat, beliau menoleh kepada wanita itu dan berkata kepadanya dengan penuh santun dan lembut, “Apa yang bisa saya lakukan untukmu?” Sambil menangis Saudah menjawab, “Aku ingin mengadukan perlakuan buruk pegawai saat mengambil pajak dariku.” Mendengar hal itu Imam Ali as terkejut dan menangis, kemudian mengangkat kepalanya ke langit dan berkata, “Ya Allah! Sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak menyuruh mereka untuk berbuat aniaya terhadap hamba-Mu.”


Setelah itu beliau megambil sepotong kulit dan menuliskan sebuah perintah untuk memecat pegawai buruk tersebut dari pekerjaannya. Surat tersebut beliau serahkan kepada Saudah. Dengan gembira wanita itu menerimanya untuk selanjutnya ia sampaikan kepada yang bersangkutan.


Pada suatu hari Amiril Mukminin Ali as menerima laporan dari kota Bashrah bahwa gubernur kota itu yang bernama Utsman bin Hanif telah memenuhi undangan seorang kaya raya dan hadir dalam pesta pernikahannya. Mendengar hal tersebut, beliau segera mengirimkan sehelai surat untuknya.


Dalam surat itu Imam Ali as. menegur dan memberikan peringatan kepada gubernurnya tentang sesuatu di balik undangan tersebut. Karena sesungguhnya orang-orang kaya apabila mengadakan pesta perkawinan bukanlah sekedar menyajikan jamuan makanan semata. Akan tetapi, acara semacam itu mereka jadikan sebagai alat pelicin dan suap untuk penguasa kota tersebut, sehingga mereka dapat meraih tujuan mereka. Di dalam surat itu pula Imam as menyampaikan berbagai saran dan nasihatnya yang perlu direnungkan dan dicamkan baik-baik.


Dalam surat tersebut Imam Ali as menegaskan, “Wahai Ibn Hanif, telah sampai laporan kepadaku bahwa ada orang kaya raya yang mengundangmu untuk menghadiri pesta pernikahan, lalu dengan segera dan senang hati engkau menyambut undangan tersebut dengan jamuan makanan yang berwarna warni. Sungguh aku tidak mengira bahwa engkau sudi menghadiri makanan seseorang yang hanya dihadiri oleh orang-orang kaya sedang orang-orang miskin tidak mereka hiraukan.


“Ketahuilah sesungguhnya setiap rakyat mempunyai pemimpin yang harus ditaati dan diikuti petujuk cahaya ilmunya. Ketahuilah! Sesungguhnya pemimpinmu mencukupkan tubuhnya hanya dengan dua helai jubah yang kasar, dan makanannya hanya dengan dua potong roti kering.”


Salah seorang sahabat Imam Ali as yang bernama ‘Ady bin Hatim At-Tha’i pernah ditanya seseorang tentang pemerintahan beliau. Ia berkata, “Aku saksikan orang yang kuat menjadi lemah di sisinya karena ia menuntut tanggung jawab darinya, dan orang yang lemah menjadi kuat di sisinya karena hak-haknya terpenuhi.”


Tentang keadaan hidupnya, beliau sendiri pernah menggambarkan, “Bagaimana mungkin aku menjadi seorang pemimpin jika aku sendiri tidak merasakan kesusahan dan kesengsaraan mereka.”


Dalam pandangan Imam Ali, kekuasaan dan jabatan itu tidaklah berharga. Pada suatu kesempatan, beliau pernah bertanya kepada Ibn Abbas sembari menjahit sandalnya, “Menurutmu berapa harga sandalku ini?” Setelah memandang dan mengamati beberapa saat, Ibnu Abbas berkata, “Sangat murah, bahkan tidak ada harganya.” Kemudian Imam Ali as lantas berkata, “Sesungguhnya sandal ini lebih berharga bagiku dibandingkan sebuah kekuasaan dan jabatan kecuali aku dapat menegakkan yang hak dan menghancurkan kebatilan.”


Tidak Ada Keistimewaan


Sejak hari pertama menjadi khalifah kaum muslimin, Imam Ali as menegaskan di hadapan khalayak bahwa pemerintahannya akan berjalan di atas keadilan dan persamaan hak di antara rakyat, dan bahwa tidak ada perbedaan antara orang Arab dan orang Ajam (non-Arab) kecuali dengan takwa. Beliau pun tidak membedakan antara tuan dengan budaknya.


Sebagian orang mengecam jalan pemetintahan beliau tersebut. Mereka memberikan usulan agar beliau kembali kepada cara-cara pemerintahan lama yang telah dijalankan oleh para khalifah sebelumnya. Namun, Imam Ali as menolak dengan jawaban keras, “Apakah kalian memintaku untuk meraih kemenangan dengan jalan kezaliman?” Beliau melanjutkan, “Seandainya harta negara itu adalah milikku sendiri, maka aku pun akan membagi rata kepada seluruh rakyat. Apalagi harta itu adalah milik Allah.”


Pada suatu hari kakak beliau yang bernama Aqil datang ke rumahnya. Imam Ali as menyambut gembira kedatangan sang kakak. Ketika tiba waktu makan malam, ternyata Aqil tidak melihat apa-apa di atas sufrah (alas makanan) selain roti dan garam. Ia terkejut dan berkata kepada Imam Ali, “Hanya inikah yang aku lihat?” Beliau menjawab, “Bukankah ini adalah nikmat Allah yang patut disyukuri?”


Kedatangan Aqil sebenarnya untuk meminta bantuan kepada Imam Ali as demi menutupi utangnya. Imam berkata, “Tunggu sebentar, aku akan ambilkan harta milikku.” Aqil mulai merasa kesal dan berkata, “Bukankah Baitul Mal ada di tanganmu? Kenapa engkau memberiku dari harta milikmu sendiri?” Imam as membalas, “Kalau kau mau, ambillah pedangmu dan aku akan mengambil pedangku, lalu kita keluar bersama-sama menuju ke kawasan Hairah yang di dalamnya terdapat peadagang-pedagang kaya, kita masuki rumah salah seorang dari mereka dan kita ambil harta kekayaannya.” Aqil menolak dan berkata, “Memangnya aku datang untuk merampok!” Imam as menjawab, “Mencuri harta kekayaan seorang dari mereka itu masih lebih baik daripada engkau mencuri harta milik semua kaum muslimin.”
Demikianlah Imam Ali as hidup pada masa pemerintahannya yang adil.


Beliau makan sama dengan makanan kaum fakir miskin dan hidup dengan penuh kesederhanaan. Ketika orang-orang berkata kepada beliau, “Muawiyah membagi-bagikan harta kekayaan kepada orang-orang untuk menggalang pendukung. Akan tetapi mengapa engkau tidak melakukan hal yang serupa?” Imam as menjawab, “Apakah kalian hendak menyuruhku untuk meraih kemenangan dengan berlaku zalim?”


Membela Wanita


Pada suatu hari di musim panas yang sangat menyengat, seorang wanita diusir dari rumah oleh suaminya. Wanita itu meminta tolong kepada Imam Ali as. Dengan segera beliau keluar menuju rumah suami wanita yang malang tersebut. Setibanya di sana, beliau mengetuk pintunya. Seorang pemuda yang tidak mengenal beliau membuka pintu.


Ketika Imam mengecam perlakuan buruknya itu, pemuda tersebut berteriak dengan suara keras dan penuh kemarahan. Ia mengancam akan menyiksa isterinya itu lebih jahat lagi lantaran ia mengadukan perakuannya kepada Imam.


Pada saat itu, beberapa orang yang mengenal Imam melewati jalan di hadapan rumah tersebut. Mereka mengucapkan salam kepada Imam Ali as, “Assalamualaika, wahai Amirul Mukminin!” Mendengar ucapan salam mereka itu, pemuda tersebut baru sadar bahwa orang yang kini berada di hadapannya adalah khalifah kaum muslimin.


Tak pelak lagi, ia pun gemetar ketakutan, lalu menundukkan diri dan segera mencium tangan Imam seraya memohon maaf dalam-dalam. Pemuda itu berjanji kepada Imam untuk tidak mengulang lagi perlakuan buruknya tersebut. Imam menasihati kedua suami-isteri itu dan memberikan bimbingan agar kehidupan rumah tangga mereka terbina tentram dan hidup dengan penuh kedamaian.


Ghadir Khum


Pada tahun 10 H, Rasulullah saw melaksanakan ibadah haji Wada’. Haji Wada’ adalah haji terakhir sekaligus haji perpisahan bagi beliau. Beliau merasa sudah semakin dekat perjumpaannya dengan Allah SWT. Sejak awal masa risalah, sering kali beliau menyampaikan perkara tentang seseorang yang bakal menjadi pengganti beliau sebagai khalifahnya untuk kaum muslimin.


Nabi saw senantiasa berfikir bagaimana caranya membuka jalan untuk kesuksesan khalifahnya, Ali bin Abi Thalib as. Mengenai kekhilafahannya beliau memberikan berbagai isyarat dan penegasan yang didengar langsung oleh para sahabat, “Ali senantiasa bersama kebenaran, dan kebenaran senantiasa bersama Ali.” Atau sabda beliau lainnya, “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya.”


Jabir bin Abdillah Al-Ansari ra pernah berkata, “Kami tidak dapat mengenali orang-orang munafik kecuali dengan mengetahui kedengkian mereka terhadap Ali as.”


Lain dari itu, para sahabat pun pernah mendengar wasiat Nabi saw yang menyatakan, “Ayyuhannas, aku berwasiat kepada kalian agar mencintai saudara dan putra pamanku, Ali bin Abi Thalib, karena sesungguhnya tidak ada yang mencintainya kecuali orang mukmin, dan tidak ada yang mendengkinya kecuali orang munafik.”


Sampai pada tanggal 18 bulan Dzulhijjah tahun yang sama, Rasulullah saw kembali dari melaksanakan haji Wada' yang diikuti oleh lebih dari seratus ribu kaum muslimin. Saat itulah Jibril as turun membawa pesan langit untuk beliau.


Rasulullah saw menghentikan perjalanannya di suatu tempat yang dikenal dengan nama Ghadir Khum. Beliau memerintahkan semua kaum muslimin agar menghentikan perjalanan mereka di tempat yang mulia dan bersejarah itu. Di tengah padang pasir dan di tengah panasnya terik matahari yang membakar itu, beliau menyampaikan khutbahnya di hadapan kaum muslimin dan seluruh para sahabatnya. Dalam khutbahnya itu beliau bersabda, “Ayyuhannas, tak lama lagi aku akan dipanggil oleh Tuhanku dan aku akan memenuhi panggilan-Nya itu. Sesungguhnya aku akan dimintai tanggung jawab, demikian pula kalian, maka apakah yang akan kalian katakan?”


Kaum muslimin dengan serentak menjawab, “Sesungguhnya kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan risalah Tuhan dengan baik, engkau telah berjihad dan memberikan nasihat, semoga Allah akan membalasmu dengan kebaikan.”


Nabi saw melanjutkan, “Bukankah kalian telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya? Sesungguhnya surga adalah nyata, neraka adalah nyata, kematian adalah nyata, kebangkitan adalah nyata, hari akhirat itu tidak diragukan lagi kejadiannya, dan sesungguhnya Allah SWT akan membangkitkan orang-orang yang berada di dalam kubur.”


Kaum muslimin menjawab lagi dengan serempak, “Benar, kami bersaksi akan hal itu semua.”


Rasulullah saw menengadah ke hadirat Allah SWT, “Ya Allah! Saksikanlah kesaksian mereka itu!”

Lalu beliau menyambung khutbahnya, “Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya Allah SWT adalah pembimbingku, sedang aku adalah pemimpin kaum mukminin, dan sesungguhnya aku lebih utama daripada diri-diri kalian. Maka, barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka inilah Ali sebagai pemimpinnya. Ya Allah cintailah orang-orang yang mencintai Ali dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya. "Dan sesungguhnya aku meninggalkan untuk kalian dua pusaka (tsaqalain) yang sangat berharga, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an) dan ‘Ithrah (Ahlulbait).”


Pada siang itu, puluhan ribu kaum muslimin melihat dan menyaksikan Nabi saw mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib as sebagai cara pelantikannya menjadi khalifah bagi seluruh kaum muslimin setelah ketiadaan beliau. Para sahabat yang kemudian diikuti oleh kaum muslimin lainnya menyatakan baiat (ikrar setia) kepada Imam Ali as mengucapkan sambutan selamat kepadanya, “Salam sejahtera atasmu, wahai pemimpin kaum mukminin!”


Nasib Khilafah


Rasulullah saw telah mangkat meninggalkan dunia yang fana ini untuk selamanya demi memenuhi panggilan Tuhannya, sebagaimana yang telah beliau katakan. Seluruh kaum muslimin merasa terkejut dengan kepergiannya itu.


Di tengah-tengah duka dan kesedihan yang mendalam, tidak jauh di seberang sana berkumpul sekelompok umat Islam untuk memilih seorang khalifah yang akan menggantikan Rasul sebagai pemimpin umat. Dengan cara ini mereka sesungguhnya telah merampas kedudukan khilafah dari pemegangnya yang sah. Mereka membiarkan Imam Ali as sendirian. Beliau sendiri lebih memilih berdiam diri demi menjaga keutuhan agama dan kemaslahatan seluruh kaum muslimin saat itu.


Setelah kemelut yang panjang dan tegang, akhirnya Abu Bakar dinyatakan terpilih sebagai khalifah pertama bagi kaum muslimin. Khilafahnya dilanjutkan oleh Umar bin Khattab.


Ketika tiba saatnya khilafah jatuh di tangan Utsman bin Affan, keluarga Bani Umayyah mulai ikut duduk di berbagai jabatan pemerintahannya. Mereka dapat memegang kendali khilafah tanpa lagi menyembunyikan ketamakan dan kerakusannya. Maka tersebarlah kerusakan di mana-mana. Tak segan-segan keluarga Umayyah berlaku sewenang-wenang, dan menjalankan pemerintahan Ustman dengan penuh kezaliman.


Pada masa itu, kaum muslimin melihat Utsman hanya memilih dan mengutamakan keluarganya untuk duduk di dalam kekuasannya, dan bahkan mengasingkan sebagian sahabat terkemuka Nabi seperti Abu Dzar, lebih keras lagi dari itu ia pun berani memecut seorang sahabat Nabi yang sangat dekat dan setia, Ammar bin Yasir tanpa alasan dan bukti yang jelas.


Kenyataan ini membuat kaum muslimin segera mengadakan demo dan unjuk rasa. Mereka mendatangi kota Madinah untuk menuntut Utsman agar turun dari kursi khilafah Rasul saw.


Api amarah masyarakat muslim terhadap Utsman semakin membara. Dalam situasi itu, Imam Ali as berusaha mendamaikan dan menentramkan mereka, serta menasihati Khalifah Utsman agar segera bertaubat dan bersikap adil, dan menganjurkannya agar tidak menuruti bisikan dan bujuk rayu orang-orang munafik, seperti Marwan bin Hakam. Sayangnya, Ustman tidak peduli pada nasihat dan arahan beliau.


Kemurkaan dan kedengkian kaum muslimin mencapai puncaknya. Mereka mengadakan pengepungan di sekeliling istana khilafah, nyawa Utsman pun terancam bahaya. Mengetahui hal itu Imam Ali as segera mengutus kedua puteranya, Al-Hasan dan Al-Husain as ke istana khilafah dan memerintahkan mereka berdua agar berdiri di depan pintu untuk menjaga Ustman dari serangan orang-orang yang hendak membunuhnya.


Dalam kondisi yang sudah sangat genting seperti itu, Khalifah Utsman tetap berkeras kepala pada sikapnya memerintah, padahal kemarahan para demonstran sudah mencapai titik-didihnya. Puncak kemarahan tersebut meledak ketika sebagian mereka memanjat naik ke istana dan masuk lewat belakang, hingga akhirnya mereka berhasil mendekati Utsman. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, mereka segera membunuhnya.


Khalifah Utsman pergi meninggalkan dunia fana ini dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Adapun kaum muslimin berbondong-bondong mendatangi rumah Imam Ali as. Mereka memohon kepadanya agar menerima khilafah, menjadi amiril mukminin, dan memimpin umat Islam dengan penuh keadilan.


Pada mulanya, Imam Ali as menolak permohonan kaum muslimin itu, namun karena mereka terus mendesak, akhirnya beliau menerima tawaran tersebut.


Mulailah Amiril Mukminin Ali as menjalankan roda khilafahnya dan mengatur negara berdasarkan keadilan dan undang-undang Islam. Panji kebenaran dan keadilan kembali berkibar di bawah kepemimpinan beliau. Di dalamnya kaum muslimin pun kembali menikmati ketentraman setelah 25 tahun lamanya.


Pemerintahan Imam Ali as


Sejak hari pertama khilafah dan kepemimpinannya, Imam Ali as menegaskan di hadapan kaum muslimin asas pemerintahannya, yaitu menegakkan keadilan, menjalankan undang-undang Allah SWT, dan menindak segala macam kezaliman dan kejahatan.


Masyarakat muslim telah terbiasa menghadapi kezaliman dan ketidakadilan pada masa-masa sebelumnya. mereka telah menyaksikan perlakuan khalifah yang tidak lagi berlandasakan pada hukum-hukum Allah; mereka mengistimewakan sebagian dan menelantarkan sebagian lainnya, mencurahkan harta kekayaan negara hanya kepada keluarga Umayyah dan orang-orang yang setia kepada kekuasaannya saja. Sementara sebagian besar kaum Muslimin hidup dalam keadan miskin dan penuh dengan penderitaan.

Ketika Ali bin Abi Thalib as menjabat sebagai khalifah dan beliau berjanji akan menegakkan keadilan di tengah kaum muslimin, terutama bagi yang keadaan ekonominya lemah, mereka menyambutnya dengan penuh harapan. Lain halnya dengan orang-orang kaya yang biasa hidup mewah dan suka berfoya-foya. Sebagian mereka sangat khawatir kekayaan, kemewahan dan kepentingan mereka terusik dengan keadilan Ali as.


Karena itu, mereka segera bergerak cepat menyiapkan langkah-langkah dalam rangka menghadapi pemerintahan Ali as berkobarlah api permusuhan dan peperangan di dalam negara dan di antara sesama kaum Muslimin. Sejarah mencatat bahwa perang Jamal adalah peperangan pertama di antara mereka. Setelah itu terjadi perang Shiffin, lalu perang Nahrawan.


Syahadah Imam Ali as


Setelah kaum Khawarij mengalami kekalahan besar dalam perang Nahrawan, tiga orang durjana berkumpul untuk mengambil mufakat, yaitu membunuh beberapa orang yang mereka anggap sebagai musuh dan penghalang mereka dalam mencapai tujuan-tujuan mereka.


Ketiga orang itu adalah Ibnu Muljam, Hajjaj bin Abdillah, dan Umar bin Bakar At-Tamimi. Mereka bertiga telah sepakat dan bertekad untuk membunuh Muawiyah, ‘Amr bin ‘Ash, dan Imam Ali as. Ibnu Muljam sendiri telah bersumpah untuk melakukan pembunuhan atas Imam Ali as. Maka pada 19 Ramadhan 40 H., Ibnu Muljam melakukan rencana jahatnya.


Seperti biasa, subuh itu Imam Ali as memimpin salat subuh berjamaah bersama kaum Mukminin di Masjid Kufah, Irak. Ibnu Muljam berhasil menyusup diam-diam sampai mendekati beliau yang tenagh bersujud. Namun, tatkala beliau bangkit dari sujudnya, Ibnu Muljam segera menebaskan pedangnya yang beracun itu, tepat di bagian kepala beliau as. Darah suci beliau berhamburan memerahi mihrab dan pakaian beliau. Pemimpin yang adil itu meratap lemah, “Demi Tuhan Ka’bah! Sungguh aku telah menang.”


Pada saat itu, terdengar oleh masyarakat suara dari langit berucap, “Demi Allah, sungguh tonggak petunjuk telah roboh, orang yang paling takwa telah terbunuh, ... orang yang paling celaka telah membunuhnya.”


Ibnu Muljam berusaha melarikan diri dari kota Kufah. Akan tetapi, ia berhasil dibekuk. Ketika ia dibawa ke hadapan Imam Ali as, beliau berkata kepadanya, “Bukankah aku selalu berbuat baik kepadamu?” Ia menjawab, “Ya, betul.”


Sebagian orang berusaha untuk melakukan pembalasan dendam terhadap Ibnu Muljam. Akan tetapi, Imam Ali mencegah mereka. Bahkan, beliau berpesan kepada putranya Hasan as agar senantiasa berbuat baik kepadanya selama beliau masih hidup.


Pada 21 Ramadhan, Imam Ali as menjemput kesyahidannya. Tak lama setelah itu, Imam Hasan as melaksanakan hukum Qishash Islam terhadap pembunuh ayahnya itu.


Demikianlah Imam Ali as, sang pemimpin yang adil itu meninggalkan dunia pada usia 63 tahun, sama dengan usia Rasulullah saw. Jenazah beliau dimakamkan di luar kota Kufah secara rahasia di kegelapan malam.


Mutiara Hadits Imam Ali as


▪ “Janganlah engkau mencari kehidupan hanya untuk makan. Akan tetapi, carilah makan agar engkau dapat hidup.”

▪ “Sesuatu yang paling merata manfaatnya adalah kematian orang-orang jahat.”

▪ “Janganlah engkau mengecam Iblis secara terang-terangan, sementara engkau adalah temannya dalam kesunyian.”

▪ “Akal seorang penulis itu terletak pada penanya.”

▪ “Kawan sejati adalah belahan ruh, sedangkan saudara adalah belahan badan.”

▪ “Janganlah engkau mengucapkan sesuatu yang engkau sendiri tidak suka jika orang lain mengucapkannya kepadamu.”

▪ “Kurang ajar adalah penyebab segala keburukan.”

▪ “Galilah ilmu pengetahuan sejak kecil, pasti engkau akan beruntung tatkala besar.”

▪ “Lebih baik engkau memilih kalah (mengalah) sedang engkau sebagai orang yang adil, daripada engkau memilih menang dalam keadaan engkau sebagai orang yang zalim.”


Riwayat Singkat Imam Ali as


Nama          : Ali.
Gelar         : Amirul Mukminin.
Julukan       : Abul Hasan.
Lahir         : 23 Tahun sebelumH.
Syahadah      : Tahun 40 H.
Masa Imamah   : Tahun 35 H.
Masa Khilafah : 5 tahun.
Usia          : 63 tahun.
Makam         : Najaf Asyraf, Irak.

[+/-] Selengkapnya...

 
Mari Mencintai Rasul - © 2007 Template feito por Templates para Você