28 Desember 2009

APAKAH NABI SAW MANUSIA BIASA?

Apakah Nabi saw hanya manusia biasa tidak ubahnya seperti kita-kita?
Demikian, mungkin keyakinan sebagian pihak. Biasanya mereka mengajukan ayat: “Katakanlah, sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kamu. Hanya saja kepadaku disampaikan wahyu.” (QS. 18:110). Berdasarkan ayat ini dan ditunjang ayat-ayat senada, semisal “Katakan: ‘Mahasuci Tuhanku. Bukankah aku hanya seorang manusia yang diutus?”

Kelompok ini percaya bahwa Nabi Muhammad saw adalah manusia biasa seperti manusia lainnya, dapat membuat kesalahan, kekeliruan, bahkan mungkin, na’udzubillah, pelanggaran. Oleh karena itu kelompok ini menuding para pencinta Nabi saw telah berlaku berlebih-lebihan dan mengkultus individukan yang tidak perlu.
Benarkah demikian? Untuk itu kita harus melihatnya dari berbagai sisi.

Pertama, sejauh mana al-Quran mendudukkan posisi Nabi Muhammad saw, apakah hanya sebagai manusia biasa seperti manusia-manusia lainnya, atau sebagai manusia yang istimewa, yang tidak dapat disamakan dengan manusia umum, bahkan dengan malaikat sekalipun?

Jika kita telusuri dengan seksama ayat-ayat yang mengabarkan tentang Nabi saw atau malah riwayat-riwayat yang berkenaan dengan Nabi saw, maka dengan yakin kita akan menganut pandangan kedua dan menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad saw memang bukan manusia biasa.

Ia adalah manusia utama, yang telah melewati tingkat umum manusia dan mencapai derajat keutamaan yang tiada taranya. Katakanlah insân kamîl. Tapi mengapa masih ada yang memandang Nabi saw sebagai manusia biasa? Kita akan melihatnya.

Kedua, apa yang dimaksud bahwa Nabi Muhammad saw adalah manusia, basyar, seperti manusia lainnya?

Apakah maksudnya bahwa kedudukannya di hadapan Allah swt sama dengan manusia lainnya? Saya kira kelompok penolak kecintaan kepada Nabi tidak membenarkan anggapan seperti ini.

Mereka juga yakin bahwa Nabi Muhammad adalah seorang rasul dan memiliki kedudukan yang sangat khusus di sisi Allah. Tapi mengapa mereka menganggap bahwa Nabi tidak ubahnya seperti manusia lain yang dapat lupa, salah, atau keliru? Kita coba mengkajinya.

Ketiga, bagaimana kita harus menyikapi Nabi Muhammad saw? Di satu sisi, ia adalah Nabi dengan kemuliaan yang tiada tara, tapi di sisi lain al-Quran menegaskan bahwa ia juga adalah manusia seperti kita. Kita akan sampai ke pembahasan ini setelah kita melewati pembahasan pertama dan kedua.


Kedudukan Nabi dalam al-Quran

eperti yang telah kita singgung di atas, kedudukan Nabi Muhammad saw dalam al-Quran sungguh luar biasa. Terdapat puluhan ayat di dalam al-Quran yang memuliakan Nabi Muhammad saw, apakah dalam bentuk pujian langsung, seperti ayat yang menyatakan bahwa Nabi memiliki akhlak yang sangat luhur. Atau dalam bentuk penyebutan sifat-sifat terpuji yang dimiliki Nabi.

Berikut beberapa contoh keagungan Rasulullah sebagaimana dalam al-Quran.

Pertama, keimanan semua rasul kepada Nabi. Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw berkata: “Setiap kali Allah mengutus seorang nabi, mulai dari Nabi Adam sampai seterusnya, maka kepada nabi-nabi itu Allah menuntut janji setia mereka bahwa jika nanti Nabi Muhammad saw diutus, mereka akan beriman padanya, membelanya dan mengambil janji setia dari kaumnya untuk melakukan hal yang sama.”

Untuk hal ini, Allah Swt. berfirman dalam QS. 3:81:

Dan ketika Allah mengambil janji dari para nabi: “Aku telah berikan kepada kalian al-kitab dan al-hikmah, maka ketika Rasul itu (Muhammad saw) datang kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada pada kalian, kalian benar-benar harus beriman kepadanya dan membelanya.” Dia (Allah) berkata: “Apakah kalian menerima dan berjanji akan memenuhi perintah-Ku ini?” Mereka berkata: “Ya, kami berjanji untuk melakukan itu.” Dia berkata: “Kalau begitu persaksikanlah dan Aku menjadi saksi bersama kalian.”

Kedua, kabar gembira tentang kedatangan Muhammad saw. Al-Quran menjelaskan bahwa para penganut Ahlul Kitab tahu betul tentang kedatangan Nabi Muhammad saw, sebagaimana mereka tahu betul siapa anak mereka. Bahkan mereka saling memberi kabar gembira tentang kedatangannya itu (QS. 2:89, 146). Dan itu pula yang dipintakan Nabi Ibrahim as dalam doanya:

“Tuhan kami, utuslah pada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri (Muhammad) yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, mengajarkan mereka al-kitab dan al-hikmah, dan menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. 2:129).

Ketiga, penciptaan Nabi Muhammad saw sebelum Nabi Adam as. Tetapi penciptaan itu masih dalam wujud “nûr” atau cahaya. Ketika Allah menciptakan Adam, Ia menitipkan nur itu pada sulbi Adam yang kemudian berpindah-pindah dari satu sulbi ke sulbi yang lain hingga sulbi ‘Abdullah, ayah Nabi saw. Ibnu Abbas meriwayatkan:

Rasulullah saw bersabda:

Allah telah menciptakanku dalam wujud nur yang bersemayam di bawah ‘arasy dua belas ribu tahun sebelum menciptakan Adam as. Maka ketika Allah menciptakan Adam, Ia meletakkan nur itu pada sulbi Adam. Nur itu berpindah dari sulbi ke sulbi; dan kami baru berpisah setelah ‘Abdul Muthalib. Aku ke sulbi ‘Abdullah dan ‘Ali ke sulbi Abu Thalib.”

Al-Quran menyebutkan bahwa sulbi-sulbi tempat bersemayamnya nur itu adalah sulbi-sulbi orang-orang suci. Ini berarti bahwa orang tua dan nenek moyang Rasulullah sampai ke Nabi Adam as. Istilah al-Quran, al-Sajidîn, orang-orang patuh.

Allah berfirman: “Dan bertawakallah kepada Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. Yang melihatmu saat engkau bangun dan perpindahanmu dari sulbi ke sulbi orang-orang patuh” (QS. 26 : 217-219).

Keempat, Nabi Muhammad saw adalah manusia suci. Tidak pernah berbuat kesalahan, apalagi dosa. Namun demikian, ia tetap manusia biasa seperti manusia lainnya, dalam arti bahwa secara biologis tidak ada perbedaan antara Nabi saw dengan manusia yang lain.
Allah berfirman dalam QS. 33:33: “Sesungguhnya yang dikehendaki Allah ialah menjauhkan kamu wahai Ahlul Bait dari segala kotoran dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.”

Riwayat-riwayat mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ahlul Bait pada ayat di atas adalah ‘Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan Nabi Muhammad saw sendiri serta para Imam dari keturunan Husain berjumlah dua belas.

Kelima, Nabi Muhammad selalu dibimbing Allah Swt. Ucapannya, perbuatannya, tutur katanya dan sebagainya semuanya di bawah pengarahan dan bimbingan Allah Swt.
“Sesungguhnya dia (Muhammad) tidak bertutur kata atas dasar hawa nafsu, melainkan semuanya semata-mata adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya” (QS. 53:3-4).

Keenam, Nabi Muhammad saw adalah panutan yang sempurna, uswatun hasanah. Allah berfirman: “Sesungguhnya dalam diri Rasulullah terdapat teladan yang baik buat kamu.” (QS.33:21). Karena itu, maka “Apa pun yang dibawanya harus kamu terima dan apa pun yang dilarangnya harus kamu jauhi.” (QS. 59:7).

Ketujuh, dibukanya rahasia kegaiban kepada Nabi Muhammad saw. Allah berfirman: ”Tuhan Maha Mengetahui yang gaib. Maka Dia tidak akan membukakan kegaibannya itu kepada seorangpun, kecuali kepada rasul yang dikehendaki” (QS. 72: 26-27). Tentu saja Rasulullah saw berada di urutan paling atas di antara para rasul yang menerima anugrah utama ini.

Kedelapan, Allah memuji Nabi Muhammad saw dengan berbagai pujian karena keluhuran akhlaknya (QS. 68:4); kepeduliannya dan kasih sayangnya kepada umat manusia (QS. 9:128) dan pengorbanan diri, tidak mementingkan diri demi kebahagiaan orang lain (QS. 20:2-3). Selain itu Allah Swt memberi perhatian yang khusus kepada Nabi Muhammad saw jika ada sedikit saja “masalah” yang dihadapinya (QS. 93:1-3; 94:1-4).

Kesembilan, siapa saja yang taat kepada Nabi Muhammad saw maka sesungguhnya ia telah taat kepada Allah Swt. Sebaliknya, siapa saja yang membangkang, berarti ia telah membangkang terhadap Allah swt. Pada kesempatan lain, Allah bahkan mengancam kedua istri Rasulullah sendiri, ‘Aisyah dan Hafsah, karena mengkhianatinya dalam soal rahasia yang disampaikannya kepada mereka. Jika mereka tidak tobat dan masih melawan Rasulullah, maka Allah sendiri yang akan menghadapi mereka (QS. 66:4).

Kesepuluh, Allah bershalawat kepada Nabi. Demikian juga seluruh malaikatnya. Karena itu orang-orang yang beriman diperintahkan bershalawat kepadanya (QS. 33:56). Arti shalawat Allah kepada Nabi adalah penganugrahan rahmat dan kasih sayang-Nya; shalawat malaikat adalah permohonan limpahan rahmat-Nya. Demikian pula shalawat orang-orang beriman.

Kesebelas, orang-orang beriman diperintahkan untuk tidak memperlakukan Rasulullah sebagaimana perlakuan mereka terhadap sesama mereka. Jika berbicara kepada Rasul harus dengan suara yang lembut, tidak boleh teriak-teriak, karena hal itu akan menghapus pahala amal mereka (QS. 49:2-3).

Kedua belas, Allah swt akan melakukan apa saja demi menyenangkan hati Nabi. “Dan tuhanmu akan memberimu sehingga membuatmu senang” (QS. 93:5). Ayat ini menunjukkan betapa Allah amat mencintai Nabi-Nya. Ia akan memberikan apa saja yang diinginkan Nabi dan akan melakukan apa saja demi menyenangkan hati Nabi saw. Dan salah satu anugrah Allah yang paling besar kepada Nabi ialah wewenang memberi syafaat kepada umatnya yang berdosa. Bukan saja di akhirat, tapi juga di dunia, yaitu dalam bentuk pengabulan doa yang disampaikan oleh Nabi untuk umat-nya, baik ketika Nabi masih hidup maupun sesudah wafatnya (bertawasul).

Ketiga belas, Nabi saw ditetapkan sebagai perantara (wasilah) antara diri-Nya dengan umat manusia. Bahkan merupakan salah satu syarat terkabulnya doa.
“Kami tidak utus seorang rasul kecuali untuk ditaati, dengan seizin Allah. Dan seandainya mereka mendatangimu ketika mereka berbuat dosa, lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun buat mereka, pastilah mereka dapati Allah Maha Pengam-pun dan Maha Pengasih.” (QS. 4:64).

Bahkan tawassul kepada Nabi Muhammad saw ini sudah dilakukan para nabi dan orang-orang shaleh jauh sebelum kelahirannya. Kita dapat membaca riwayat yang mengatakan bahwa Adam dan Hawa telah bertawassul kepada Nabi Muhammad saw saat mereka berdua dikeluarkan dari surga.

Dikisahkan bahwa tatkala Nabi Adam as dikeluarkan dari surga, ia memohon ampun kepada Allah atas perbuatanya. Dalam permohonannya itu, ia bertawassul melalui Nabi Muhammad saw: “Ya Allah, melalui kebesaran Muhammad, aku mohon ampun pada-Mu kiranya Engkau mau mengampuni dosaku.”

Allah Swt bertanya kepada Adam, “Dari mana kamu tahu Muhammad padahal Aku belum menciptakannya?”

Adam berkata, “Ya Tuhanku, ketika Engkau ciptakan aku dan Engkau tiupkan ruh-Mu dalam diriku, aku mengangkat kepalaku dan kulihat di pilar-pilar Arsy tertulis Lâ ilâha illallâh Muhammad Ra-sûlullâh. Aku tahu Engkau tidak akan menyertakan nama hamba-Mu kepada nama-Mu kecuali yang paling Engkau cintai.”

Allah Swt berfirman, “Engkau benar Adam, Muhammad adalah hamba yang paling Aku cintai. Dan karena engkau memohon ampun melaluinya, maka Aku kabulkan permohonanmu. Hai Adam, kalau bukan karena Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu.”
Nabi Sebagai Manusia Biasa

Dari sekian ayat yang kita lihat di atas tidak dapat disangkal bahwa Nabi Muhammad saw bukan manusia biasa, dalam arti bahwa kedudukannya sangat-sangat mulia di sisi Allah. Ia telah diciptakan Allah sebelum menciptakan yang lainnya.

Nabi telah dipersiapkan membawa amanat-Nya jauh sebelum utusan-utusan lainnya. Bahkan utusan-utusan itu diperintahkan untuk mengimaninya dan mengabarkan kepada umat manusia akan kedatangannya.

Nabi ditetapkan sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan, dan sebagainya. Akan tetapi semua ini tidak harus membuat kita memposisikannya sebagai bukan dari golongan manusia, seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi ‘Isa as.

Nabi Muhammad saw tetap manusia sebagaimana manusia lainnya, sebagaimana isyarat al-Quran dalam beberapa ayatnya di atas. Pada diri Nabi Muhammad saw terdapat segala sesuatu yang ada pada manusia, yakni dimensi biologis manusia. Karena itu Nabi makan, minum, sakit, tidur, berdagang, berkeluarga, senang, sedih, dan sebagainya, seperti umumnya manusia.

Al-Quran sengaja menegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah manusia, basyar, seperti manusia lainnya secara jasmani untuk membantah alasan penolakan kaum musyrikin terhadap Nabi saw bahwa ia bukan dari golongan malaikat atau paling tidak bekerjasama dengan malaikat (QS. 25:7) dan juga mengingatkan kaum Muslimin supaya tidak mengulangi kesalahan seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi ‘Isa yang menganggapnya sebagai Tuhan.

Akan tetapi ketika kita mengatakan bahwa Nabi adalah manusia biasa seperti manusia lainnya tidak berarti bahwa kita harus menganggapnya bahwa Nabi suka berbuat salah, keliru, melanggar, atau berakhirlah segalanya sesudah ia wafat. Sama sekali tidak demikian.

Kesucian, keterpeliharaan dari dosa, maksum, hidup abadi disisi Allah sesudah kematian atau kemampuan berhubungan dengan-Nya sesudah kematian adalah perkara ruhani yang dapat saja dicapai oleh manusia manapun jika ia telah mencapai kedudukan ruhani yang tinggi atau katakanlah maqam Insan Kamil.

Allah Swt memang menciptakan manusia dari unsur tanah, yang menghasilkan dimensi biologisnya, akan tetapi pada manusia, Allah ciptakan juga unsur lainnya, yakni ruh Allah, yang justru dapat membuat manusia lebih tinggi dari makhluk manapun, termasuk malaikat. Yaitu jika melalui ruh itu ia mampu mengatasi unsur biologisnya. Itulah mengapa malaikat dan jin atau Iblis diperintahkan untuk sujud kepada Adam atau manusia. Itulah pula mengapa Nabi Muhammad dapat menembus Sidratul-Muntaha, sementara Jibril akan hangus terbakar jika berani mengantarkan ke tempat yang lebih tinggi lagi. Padahal Jibril adalah penghulu para malaikat. Karena Nabi Muhammad telah mencapai derajat kesempurnaan mutlak insani.

Kesalahan terbesar pihak yang menolak mengakui kebesaran Nabi Muhammad di atas, bahkan menganggap pelakunya sebagai telah bertindak berlebih-lebihan dan kultus individu yang diharamkan, yaitu karena mereka melihat Nabi Muhammad saw dengan kacamata materi. Mereka hanya melihat secara jasmani Nabi saw sebagai makhluk biologis. Mereka lupa bahwa manusia memiliki dimensi yang jauh lebih tinggi dari sekadar dimensi biologis atau fisik. Bahkan dimensi ruhani merupakan jati diri manusia yang sesungguhnya.

Melihat seseorang hanya dari dimensi biologisnya saja adalah logika orang-orang kafir. Bukan logika orang-orang beriman. Dengan alasan bahwa para utusan itu hanya manusia seperti mereka, orang-orang kafir menolak mengakuinya sebagai nabi atau rasul. “Dan tidaklah menghalangi orang-orang (kafir) untuk beriman ketika datang kepada mereka petunjuk kecuali mereka mengatakan: Apakah Allah mengutus rasul dari golongan manusia?” (QS. 17:94).
Tapi orang-orang beriman berkata: “Kami mengimaninya. Semuanya dari sisi Tuhan kami”. (QS. 3:7).


Sikap kepada Nabi

Berdasarkan beberapa ayat tentang keagungan Nabi Muhammad saw di atas dan beberapa riwayat Nabi, kita dapat melihat betapa Allah menuntut kita untuk menghormati dan mengagungkan rasul-Nya. Coba perhatikan ayat shalawat. Adakah perintah yang sama (shalawat kepada Nabi} yaitu yang didahului dengan pernyataan bahwa Allah dan malaikat-Nya telah melakukannya terlebih dahulu dan oleh karena itu kita pun diperintahkan untuk melakukannya? Tidak ada.

Perintah itu berarti kita harus selalu melihat Nabi dengan penuh takzim dan agar kita selalu membalas jasa-jasanya. Oleh karena itu pula, Nabi saw selalu mengingatkan bahwa orang yang tidak mau bershalawat kepadanya adalah bakhil atau kikir. Bahkan orang yang datang ke tanah suci tapi tidak mampir ke Madinah untuk berziarah ke makamnyanya telah memutus hubungan silaturrahmi dengannya.

Pada ayat tawassul, kita bahkan diperingatkan Allah jika ingin dosa-dosa kita diampuni oleh-Nya harus bertawassul kepadanya. Jika tidak, Allah tidak akan mengabulkan permohonan ampun kita. Allah juga mengingatkan agar kita tidak memperlakukannya sama dengan kita, sebab hal itu dapat menghapus pahala amal ibadah kita (QS. 49:2-3). Selain itu, kita juga diperingatkan untuk tidak menganggap apa yang dilakukan atau diucapkan oleh Nabi lahir karena emosi atau hawa nafsunya. Tapi semuanya atas bimbingan Allah yang tidak pernah salah. “Ia tidak bertutur kata atas dasar hawa nafsunya, melainkan berdasarkan wahyu yang diterimanya” (QS. 53:3-4).

Dengan demikian, yang menganjurkan dan memerintahkan kita untuk mengagungkan Nabi Muhammad saw adalah Allah Swt sendiri. Bukan kemauan hawa nafsu kita. Kita hanya mengikuti perintah dan ajaran-Nya saja. Lalu mengapa kita harus menentang Allah dan Rasul-Nya hanya karena takut jatuh dalam hantu “kultus” yang kita ciptakan sendiri?

Sebenarnya tidak ada kultus; karena kultus ialah melebih-lebihkan sesuatu yang tidak pada tempatnya (tidak pada proporsinya). Pengagungan Nabi Muhammad saw justeru mendudukkan posisi Nabi Muhammad saw sebagaimana mestinya, seperti diperintahkan al-Quran. Justru jika kita tidak melakukan itu, dikhawatirkan telah menzalimi beliau. “Sesungguhnya orang-orang yang menggangu Allah dan rasul-Nya dikutuk oleh Allah di dunia maupun di akhirat dan Allah siapkan baginya siksa yang menghinakannya” (QS. 33:57).

Sebagai penutup, renungkan peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi saw di bawah ini. ‘Abdullah bin Amr berkata:
Aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah saw. Aku bermaksud menghapalnya. Tapi orang-orang Quraisy melarangku dan mereka berkata: “Engkau menulis segala sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah saw? Padahal beliau hanyalah seorang manusia yang berbicara saat marah dan senang.” Aku berhenti menulis. Tetapi kemudian aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah. Ia kemudian menunjuk kepada mulutnya dan berkata: “Tulis saja. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya tidak ada yang keluar dari sini kecuali kebenaran.”
Camkan!!!

[+/-] Selengkapnya...

26 Desember 2009

DIALOG ANTAR MADZHAB (BAG 1)


بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah SWT, Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada seorang yang diutus untuk menjadi rahmat bagi semesta alam, Nabi besar Muhammad Saw dan keluarganya yang suci serta sahabat-sahabatnyayang taat kepadanya.

Catatan Kongres Ulama Bagdad ini menyimpulkan dialog antara Sunni dan Syi'i yang dikumpulkan oleh Raja Syah Saljuqi dibawah pengawasan seorang alim besar, wazir (menteri).

Kisahnya demikian, Raja Syah Saljuqi bukanlah seorang fanatik yang bertaqlid buta kepada nenek moyangnya. Namun, ia seorang pemuda yang bersifat terbuka serta menyukai ilmu dan cinta kepada ulama. Walaupun pemuda sebayanya pada saat itu lebih suka bermain, berburu, atau mengail ikan.

Adapun wazirnya seorang yang bijaksana, mempunyai keutamaan, zuhud, berkemauan kuat, menyukai kebajikan dan pelakunya, ia senantiasa mencari kebenaran serta mencintai Ahlul Bait Nabi Saw, dengan kecintaan yang besar dan mendalam. Ia adalah pendiri Madrasah al-Nizamiyah di Bagdad, dan penjamin gaji bulanan para guru yang mengajar disana serta mengasihi kaum fakir miskin.

Pada suatu hari, seorang ulama besar dari kalangan Syi'ah bernama al-Husain bin Ali al-Alawi, masuk menghadap Raja Syah. Ketika ulama besar itu keluar dari istana, orang-orang yang hadir mengolok-olok dan mengecamnya.

"Mengapa kalian mengolok-oloknya?" tanya raja.

"Bukankah anda tahu bahwa ia salah seorang dari orang-orang kafir yang dimurkai dan dikutuk Allah?" jawab salah seorang dari mereka.

"Mengapa demikian, bukankah iapun seorang Muslim?" tanya raja semakin heran.

"Tidak, ia seorang Syi'ah" jawabnya.

"Apa arti Syi'ah? Bukankah Syi'ah itu salah satu dari beberapa golongan kaum Muslim?" tanya raja.

"Tidak, sesungguhnya mereka tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman" ujarnya.

"Apakah ada seorang Muslim yang tidak mengakui kepemimpinan mereka bertiga?" tanya raja.

"Ya, ada. Mereka adalah kaum Syi'ah" jawabnya.

"Jika mereka tidak mengakui kepemimpinan ketiga khalifah itu, mengapa mereka disebut kaum Muslim?" tanya raja.

"Karena itulah, kukatakan bahwa mereka adalah orang-orang kafir" jawab mereka.

Raja berpikir sejenak, lalu ia berkata : "Kalau begitu, kita seharusnya menghadirkan wazir untuk memecahkan masalah ini".

Raja Syah Saljuqi memanggil wazir kerajaan, kemudian bertanya kepadanya : "Apakah Syi'ah itu kaum Muslim?"

Wazir menjawab : "Kaum Ahlus Sunnah berselisih pendapat mengenai hal ini. Sekelompok dari mereka mengatakan bahwa Syi'ah adalah kaum Muslim karena merekapun mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, berpuasa, dan lain sebagainya. Sedangkan sebagian lagi mengatakan bahwa kaum Syi'ah adalah kafir".

"Berapakah jumlah mereka?" tanya raja.

"Kami tidak bisa menghitung jumlah mereka secara persis, namun jumlah mereka kurang lebih setengah dari jumlah kaum Muslim seluruhnya" jawab wazir.

"Apakah setengah dari kaum Muslim ini orang-orang kafir?" tanya raja.

"Sesungguhnya sebagian ulama menganggap kaum Syi'ah adalah orang-orang kafir. Namun, kami tidak mengkafirkan mereka" jawab wazir.

"Sanggupkah engkau mendatangkan ulama Syi'ah dan Sunnah, agar kita dapat memahami mereka dengan sejelas-jelasnya?" tanya raja kepada wazir.

"Itu adalah urusan yang sulit. Dalam hal ini, kami sangat mengkhawatirkan keselamatan raja dan kerajaannya" jawab wazir.

"Mengapa?" tanya raja penasaran.

"Karena urusan Syi'ah dan Sunnah bukanlah urusan yang mudah, melainkan urusan antara haq dan batil, yang padanya darah akan tertumpah, perpustakaan akan terbakar, kaum wanita akan tertawan dan peperangan akan terjadi karenanya" jawab wazir memberi penjelasan.

Raja muda itu merasa heran dengan persoalan aneh ini. Setelah berpikir ssejenak, ia kemudian berkata "Hai wazir, engkau tentu maklum bahwa Allah SWT telah menganugerahkan nikmatNya kepada kita dengan kerajaan yang besar dan pasukan yang kuat. Seharusnya kita bersyukur kepadaNya atas nikmatNya ini dengan mencari kebenaran dan menunjuki orang yang sesat kejalan yang lurus. Salah satu dari dua golongan itu pasti berada diatas jalan yang haq, sedangkan yang lainnya berada dijalan batil. Karena itulah, kita harus mengetahui yang haq agar bisa kita ikuti, dan mengetahui yang batil agar bisa kita tinggalkan. Sebaiknya anda mempersiapkan diri untuk mengadakan semacam Kongres dengan mendatangkan ulama dari kalangan Syi'ah dan Sunnah, para panglima, para penulis dan semua pembesar kerajaan. Jika nanti kita melihat bahwa yang haq berada dipihak Ahlus Sunnah, kita masukkan Syi'ah kedalam Ahlus Sunnah dengan kekuatan".

"Jika Syi'ah tidak mau masuk kedalam Ahlus Sunnah, apa yang akan anda lakukan?" tanya wazir.

"Kita bunuh mereka" jawab raja tegas.

"Mungkinkah kita membunuh setengah kaum Muslim?" tanya wazir.

"Kalau begitu, bagaimana sebaiknya?" tanya raja.

"Anda tinggalkan saja urusan ini" jawab wazir.

Selesailah dialog antara raja dan wazirnya yang bijak dan alim itu. Namun, semalaman sang raja merenung gelisah dan tidak bisa tidur sampai pagi. Betapa sulitnya menyelesaikan persoalan ini baginya.

Keesokan harinya, raja memanggil wazir lalu berkata kepadanya "Hai wazir, sebaiknya kita mendatangkan ulama dari dua golongan itu dan kita akan memperhatikan dialog dan perdebatan yang akan terjadi diantara mereka, dengan harapan kita dapat mengetahui yang haq. Apabila kebenaran berada dipihak Mazhab Sunnah, kita akan mengajak kaum Syi'ah masuk kedalam Sunnah dengan kebijaksanaan dan pelajaran yang baik serta menarik mereka dengan harta dan kedudukan seperti yang dilakukan Rasulullah Saw terhadap kaum Muallaf. Dengan demikian kita bisa berbuat sesuatu untuk Islam dan kaum Muslim".

"Pendapat anda baik, tapi kami khawatir terjadi sesuatu dalam kongres itu" kata wazir.

"Apa yang anda khawatirkan?" tanya raja.

"Kami khawatir kaum Syi'ah akan menguasai Sunnah dan mengetengahkan hujjah-hujjah (argumentasi) mereka yang kuat kepada kita. Dengan demikian orang-orang akan jatuh kedalam keraguan dan kebimbangan", jawab wazir penuh kekhawatiran.

"Mungkinkah yang demikian itu terjadi?" tanya raja.

"Ya, Karena kaum Syi'ah memiliki dalil-dalil yang kuat dan alasan-alasan yang jelas dari al-Qur'an dan hadits-hadits suci menurut kebenaran mazhab dan hakikat aqidah mereka" jawab wazir.


(B E R S A M B U N G)

[+/-] Selengkapnya...

SI BAHLUL MENGAJAR KELEDAI MEMBACA

Asal Usul si Bahlul

“Dasar ente bahlul!.” Pernahkah anda mendengar kelakar seperti ini? Ya istilah ini biasanya digunakan oleh masyarakat keturunan Arab yang ada di Indonesia.
Tapi siapa dan dari manakah si Bahlul yang cukup popular itu? Tokoh fiktifkah dia?
Bahlul lahir di Kufah, Irak. Nama aslinya adalah Wahab bin Amr. Jadi Bahlul adalah benar-benar eksis yang hidup pada zaman kekhalifahan Abbasiyah yaitu pada masa khalifah Harun ar Rasyid.


Si Bahlul adalah tokoh yang controversial banyak mengundang tanggapan yang berbeda-beda. Sebagian masyarakat mengatakan bahwa si Bahlul itu agak rada-rada sinting begitu, tapi sebagian yang lain mengatakan bahwa si Bahlul itu orang yang arif bijaksana bahkan ada yang memuji-muji bahwa si bahlul itu sebenarnya orang cerdas. Namun dengan gayanya yang berbaju ada tambalannya itu dan hidup sederhana, bisa dikatakan Bahlul amatlah nyentrik.


Dan inilah salah satu kisahnya :

Diriwayatkan bahwa ada seseorang sedang menuntun seekor keledai yang bagus yang akan dipersembahkan untuk gubernur di Kufah. Para punggawa istana semua memuji keledai itu. Namun diantara yang hadir, ada seseorang yang bercanda dengan mengatakan “Aku siap mengajarkan keledai itu agar bisa membaca.”


Mendengar hal ini, sang gubernur berkata agak marah, “Kau yang berkata seperti itu! Sekarang juga harus memenuhi perkataanmu. Kalau kau berhasil mengajari hingga bisa membaca, maka aku akan memberimu imbalan yang besar. Namun, jika kau tidak bisa memenuhinya, maka akan kuberi hukuman cambuk 100 kali.
Orang itu menyesali leluconnya. Dengan tak berdaya, iapun meminta waktu dan gubernur memberikan waktu selama 10 hari.


Laki-laki itu membawa keledai ke rumahnya. Ia sangat bingung dan cemas, ia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Dengan tak berdaya, ia tinggalkan keledai itu di rumah dan pergi ke pasar. Di perjalanan, ia bertemu dengan Bahlul kawan akrabnya, lalu ia meminta tolong kepada Bahlul dan menceritakan kepadanya tentang keledai itu.


Bahlul lalu berkata, “Itu adalah hal yang mudah bagiku, apapun yang aku katakana padamu, kerjakanlah!”
Lalu Bahlul memerintahkannya agar tidak memberi keledai itu rumput atau butiran gandum sepanjang hari. Bahlul juga memerintahkannya untuk meletakkan gandum diantara halaman-halaman buku, lalu Bahlul berkata, “letakkan buku itu di hadapannya dan bolak baliklah halamannya.
Karena lapar, keledai itupun akan mengambil apa yang ada diantara halaman-halaman buku itu. Ulangi terus tindakan itu selama satu minggu. Kemudian biarkan ia lapar pada hari kesepuluh. Dan ketika kau menghadap gubernur, bawalah buku yang sama beserta keledai itu. Pada hari itu, jangan letakkan gandum diantara halaman-halaman buku, lalu letakkan buku itu didepan keledai saat gubernur datang.”


Orang itu mengerjakan persis apa yang Bahlul ajarkan padanya. Ketika hari yang dijanjikan tiba, ia membawa buku dan keledai itu kepada gubernur. Dan di hadapan hadirin, ia letakkan buku tersebut di depan keledai.
Karena sangat lapar, keledai itu seperti biasa membolak-balik halaman buku untuk mencari gandum yang selalu ada diantara halaman-halaman buku tersebut.
Keledai itupun meringkik untuk mengekspresikan bahwa dia lapar. Sang gubernur dan orang-orang yang hadir tidak tahu kepandaian macam apa yang ada dibalik semua ini. Mereka semua percaya bahwa keledai itu benar-benar sedang membaca buku tersebut.
Semua orang terkejut atas kejadian ini.


Akhirnya, gubernur memenuhi janjinya dengan memberikan kepada orang itu berupa imbalan yang sangat besar.
Alhamdulillah !!!


Sampai jumpa dengan kisah si Bahlul yang lain.

[+/-] Selengkapnya...

RIWAYAT SINGKAT IMAM ALI AL-HADI as

IMAM ALI AL-HADI, TEGUH DI ATAS KEBENARAN

Hari Lahir

Imam Ali Al-Hadi as dilahirkan pada 15 Dzulhijjah 212 Hijriah di Madinah Al-Munawwarah. Beliau adalah Imam kesepuluh dari silsilah imam Ahlulbait as. Ayah beliau ialah Imam Muhammad Al-Jawad as, dan ibu beliau berasal dari Maroko bernama Samanah; seorang wanita yang mulia dan bertakwa.
Ketika sang ayah syahid akibat diracun, Imam Al-Hadi as baru berusia 8 tahun. Pada usia yang masih sangat dini itu pula beliau memegang amanat Imamah (kepemimpinan Ilahi atas umat manusia).
Orang-orang memanggil Imam as dengan berbagai julukan, antara lain Al-Murtadha, Al-Hadi, An-Naqi, Al-’Alim, Al-Faqih, Al-Mu’taman, At-Thayyib. Yang paling masyhur di antara semua julukan itu adalah Al-Hadi dan An-Naqi.


Akhlak Luhur Imam

Imam Ali Al-Hadi as senantiasa menjalani kehidupannya dengan zuhud dan ibadah kepada Allah SWT. Di dalam sebuah kamar yang hanya dilengkapi oleh selembar tikar kecil, beliau menghabiskan waktunya dengan membaca Al-Qur’an dan merenungkan maknanya.
Beliau menyambut orang-orang begitu ramah, berbelas kasih kepada orang-orang fakir, dan membantu orang-orang yang membutuhkannya.
Suatu hari, Khalifah Al-Mutawakkil mengirimkan uang sebesar 1.000 Dinar kepada beliau. Beliau membagi-bagikan uang tersebut kepada fakir miskin.
Pada kesempatan lain, Al-Mutawakil jatuh sakit sehingga para dokter pribadi khalifah kebingungan bagaimana mengobatinya. Lalu, ibu Al-mutawakil mengutus menterinya, Al-Fath bin Khaqan untuk menemui Imam Ali Al-Hadi as. Beliau segera memberinya obat yang reaksinya sangat cepat sekali, sehingga para dokter khalifah itu tercengang melihatnya.
Atas kesembuhan putranya, ibu khalifah mengirimkan uang sebesar 1.000 Dinar sebagai hadiah kepada Imam as, dan beliau pun membagi-bagikan uang tersebut kepada orang-orang yang membutuhkannya.


Kisah Batu Cincin

Yunus An-Naqasi masuk datang ke rumah Imam Ali Al-Hadi as. Dalam keadaan gemetar ketakutan, ia berkata kepada beliau, “Wahai tuanku, seseorang dari istana telah datang kepadaku dengan membawa sepotong batu Firuz yang sangat berharga sekali. Ia memintaku untuk mengukirnya. Namun, ketika aku sedang melakukannya, batu tersebut terbelah jadi dua, padahal besok siang aku harus mengembalikannya. Bila dia tahu akan hal itu, pasti dia akan marah padaku.”
Imam as menenangkannya dan berkata, “Jangan kuatir! Tidak akan ada keburukan yang akan menimpamu. Bahkan, dengan izin Allah SWT engkau akan mendapatkan kebaikan darinya.”
Pada hari berikutnya, ajudan Khalifah datang dan berkata, “Sungguh aku telah mengubah pandanganku. Kalau sekiranya kamu bisa memotongnya menjadi dua, aku akan menambah upahmu!”
Pengukir tersebut berpura-pura berpikir padahal hatinya sangat bergembira. Kemudian berkata, “Baiklah, akan aku coba pesananmu itu!”
Akhirnya, pengawal Khalifah berterima kasih pada pengukir tersebut. Dari sana, pengukir itu bergegas menemui Imam Ali Al-Hadi as untuk menumpahkan rasa terima kasih kepadanya. Dalam keadaan itu, Imam as berkata kepadanya, “Sungguh aku telah berdoa kepada Allah, semoga Dia memperlihatkan kebaikan khalifah kepadamu dan melindungimu dari kejahatannya.”


Al-Mutawakkil

Setelah Khalifah Al-Mu’tashim meninggal, kedudukannya digantikan oleh khalifah Al-Watsiq yang masa pemerintahannya berlangsung selama 5 tahun 6 bulan. Setelah itu, pemerintahan jatuh ke tangan Al-Mutawakkil.
Pada masa pemerintahan Al-Mutawakkil, kerusakan dan kezaliman telah mewabah di mana-mana. Pengaruh orang-orang Turki dalam kekhalifahan sangat kuat dan luas sekali, sehingga mereka menjadi pengendali jalannya roda pemerintahan dan khalifah Al-Mutawakkil pun menjadi alat permainan mereka.
Saat itu, kebencian Al-Mutawakkil terhadap Ahlulbait Nabi as dan Syi’ahnya begitu besar. Ia memerintahkan agar membuat sungai di atas makam Imam Husain as dan melarang kaum muslimin untuk menziarahi makamnya. Bahkan, ia telah membunuh banyak peziarah, sampai digambarkan dalam sebuah syair:


Demi Allah, bila Bani Umayyah telah melakukan pembunuhan
terhadap putra dan putri Nabinya secara teraniaya
kini keluarga saudara ayahnya (Bani Abbas) melakukan hal yang sama
Maka esok lusa demi Allah ia akan menghancurkan kuburnya
Mereka menyesal bila seandainya saja tidak ikut serta membunuhnya


Tak segan lagi, Al-Mutawakkil melakukan pengawasan yang ketat terhadap Imam Ali Al-Hadi as di Madinah. Mata-mata khalifah senantiasa mengintai setiap langkah Imam as, lalu melaporkan padanya setiap gerak dan pembicaraanya.
Al-Mutawakkil merasa kuatir sekali setelah tahu kepribadian dan kedudukan Imam as di tengah-tengah masyarakat. Mereka begitu menghormati dan mencintainya, karena beliau berbuat baik kepada mereka dan menghabiskan sebagian besar waktunya di masjid.
Al-Mutawakkil mengirim Yahya bin Harsamah sebagai utusan khusus untuk menghadirkan Imam Ali Al-Hadi as. Segera ia memasuki kota Madinah. Sementara itu, berita tentang rencana jahat Al-Mutawakkil telah tersebar di tengah-tengah masyarakat, hingga orang-orang berkumpul di seputar tempat tinggal utusan khusus itu, sebagai bentuk kepedulian dan kekuatiran mereka atas apa yang akan terjadi pada diri Imam as.
Dalam pengkuannya, Yahya bin Harsamah mengatakan, “Aku sudah berupaya menenangkan mereka, dan bersumpah di hadapan mereka bahwa aku tidak diperintah untuk menyakitinya.”
Al-Mutawakkil senantiasa berpikir bagaimana cara menurunkan kedudukan tinggi Imam as di tengah masyarakat. Maka, sebagian penasehatnya mengusulkan untuk menyebarkan berita-berita bohong yang dapat menjatuhkan kehormatan beliau, melalui saudaranya, Musa yang terkenal dengan perilakunya yang buruk.
Usulan tersebut disambut senang oleh Al-Mutawakkil. Segera ia memanggil Musa. Imam Ali Al-Hadi as sendiri pernah memperingatkan saudaranya itu dengan ucapan, “Sesungguhnya khalifah menghadirkanmu untuk menghancurkan nama baikmu dan menyodorkan uang yang dapat menguasaimu. Maka, takutlah kepada Allah, wahai saudaraku dan jannganlah melakukan hal-hal yang diharamkan-Nya!”
Musa tidak mau menghiraukan nasehat Imam as. Ia bertekad bulat untuk melakukannya, dan ternyata Al-mutawakkil justru merendahkannya. Sejak saat itu pula Khalifah itu tidak menyambut Musa lagi.


Kalimat Hak di Hadapan Orang Zalim

Ibnu Sikkit adalah salah seorang ulama besar. Abul Abbas Al-Mubarrad pernah memberikan kesaksian, “Aku tidak pernah melihat buku karya tulis orang-orang Baghdad yang lebih baik dari buku Ibnu Sikkit tentang Logika.”
Al-Mutawakkil meminta kepada Ibnu Sikkit untuk mengajar kedua anaknya; Al-Mu’taz dan Al-Mu’ayyad.
Suatu hari, Al-Mutawakkil bertanya kepada Ibnu Sikkit, “Mana yang paling kau cintai, kedua anakku ini ataukah Hasan dan Husain?”
Ibnu Sikkit menjawab dengan penuh kebencian, “Demi Allah, sesungguhnya pembantu Imam Ali bin Abi Thalib lebih baik dari pada kamu dan kedua anakmu itu!”
Mendengar jawaban Ibnu Sikkit tersebut, Al-Mutawakkil terperanjat dan begitu berang. Segera ia memerintahkan algojo Turki untuk mencabut lidahnya sampai mati.
Demikianlah, Ibnu Sikkit pun pergi ke hadapan Allah SWT dan menemui kesyahidan. Rasulullah saw telah bersabda, “Penghulu para syahid adalah Hamzah dan seorang yang mengatakan kalimat hak di depan penguasa yang zalim.”


Politik Al-Mutawakkil

Al-Mutawakkil telah menghambur-hamburkan kekayaan umat Islam. Hidupnya dipenuhi dengan foya-foya, serbamewah, dan sombong. Umurnya ia habiskan untuk bermabuk-mabukan dan berpesta pora dengan menghamburkan milyaran uang.
Sementara itu, betapa banyak orang yang hidup dalam kesusahan dan kefakiran, apalagi golongan Alawi (keluarga dan pengikut Imam Ali bin Abi Thalib as) yang senantiasa menjalani hidup mereka dalam kefakiran yang mencekam. Belum lagi hak-hak mereka dirampas, sampai hal-hal yang sangat tidak bernilai dalam kehidupan mereka.
Imam Ali Al-Hadi as bersama putranya dipanggil ke kota Samara. Kemudian mereka diturunkan di sebuah kemah yang di sana sudah berbaris pasukan Al-Mutawakkil. Itu dilakukan supaya beliau berada di bawah pengawalan tentara-tentara yang sangat bengis dan dungu terhadap kedudukan Ahlulbait as.
Rupanya, tentara Al-Mutawakkil itu terdiri atas orang-orang Turki yang telah berbuat kejam, dengan membentuk kondisi dan menciptakan pribadi-pribadi yang tidak lagi mengerti kecuali ketaatan kepada raja-raja dan penguasa.


Beberapa Kisah Menarik

• Seseorang di antara tentara itu mempunyai anak yang tertimpa penyakit batu ginjal, kemudian seorang dokter menasehati agar anaknya menjalani operasi. Pada saat operasi sedang berjalan, tiba-tiba anak tersebut mati. Lalu orang-orang mencelanya, “Kau telah membunuh anakmu sendiri, maka engkau pun harus bertanggung jawab atas kematiannya.”
Kemudian ia mengadu kepada Imam Al-Hadi as. Beliau mengatakan, “Bagi kamu tidak ada tanggung jawab apapun atas apa yang kamu perbuat. Ia meninggal hanya karena pengaruh obat, dan ajal anak tersebut memang sampai di situ.”
• Suatu hari, seorang anak menyodorkan bunga kepada Imam Ali Al-Hadi as. Lalu Imam as mengambil bnunga itu seraya menciumnya dan meletakkan di atas kedua pelupuk matanya. Kemudian beliau memberikan kepada salah seorang sahabatnya sembari berkata, “Barang siapa mengambil bunga mawar atau selasih kemudian mencium dan meletakkannya di atas kedua pelupuk matanya, lalu membaca shalawat atas Muhammad dan keluarga sucinya, maka Allah akan menulis untuknya kebaikan sejumlah kerikil-kerikil di padang sahara, dan akan menghapuskan kejelekan-kejelekannya sebanyak itu pula.”
Yahya bin Hartsamah yang menyertai perjalanan Imam Ali as dari Madinah ke Samara mengatakan, “Kami berjalan sedang langit dalam keadaan cerah. Tiba-tiba Imam as meminta sahabat-sahabatnya untuk mempersiapkan sesuatu yang bisa melindungi mereka dari hujan.
Sebagian dari kami merasa heran. Malah sebagian yang lain tertawa meledek. selang beberapa saat, tiba-tiba langit mendung dan hujan pun turun begitu derasnya. Imam as menoleh kepadaku dan berkata, “Sungguh engkau telah mengingkari hal itu, lalu kau kira bahwa aku mengetahui alam gaib dan hal itu terjadi bukanlah sebagaimana yang kau kira. Akan tetapi, aku hidup di daerah pedalaman. Aku mengetahui angin yang mengiringi hujan dan angin telah berhembus. Aku mencium bau hujan itu, maka aku pun bersiap-siap.”
• Suatu hari, Al-Mutawakkil menderita sakit. Ia bernazar untuk menyedekahkan uang yang banyak tanpa menentukan berapa jumlahnya. Dan ketika ia hendak menunaikan nazarnya, para fuqaha (ahli hukum) berselisih pendapat tentang berapa banyaknya uang yang harus dikeluarkan oleh Al-Mutawakkil. Mereka pun tidak mendapatkan suatu kesepakatan.
Sebagian mereka mengusulkan untuk menanyakan masalah kepada Imam as. Tatkala ditanya tentang berapa banyaknya uang yang harus dikeluarkan, Imam as menjawab, “Banyak itu adalah delapan puluh.”
Meresa belum puas. Mereka meminta dalil dari Imam as. Beliau mengatakan, “Allah berfirman, ‘Allah telah menolong kalian dalam berbagai kesempatan. Maka, Kami hitung medan-medan peperangan dalam Islam’. Dan jumlahnya medan peperangan itu adalah delapan puluh.”


Penggeledahan Rumah

Meskipun Imam Ali Al-Hadi as dalam tahanan rumah yang ketat, beliau tidak luput dari berbagai fitnah dan tuduhan kosong. Salah seorang di antara mereka melaporkan kepada Al-Mutawakkil, bahwa Imam as mengumpulkan senjata dan uang untuk mengadakan pemberontakan. Maka, Al-Mutawakkil memerintahkan Sa’id, penjaganya untuk memeriksa rumah beliau pada waktu malam, dan mengecek tentang kebenaran berita tersebut.
Tatkala ia memeriksa rumah Imam, ia dapati Imam as dalam sebuah kamar dan tidak ada sesuatu apapun di dalamnya kecuali sehelai tikar. Di dalamnya beliau sedang melakukan shalat dengan khusyuk.
Ia telah memeriksa rumah Imam as dengan awas dan jeli. Akan tetapi, ia tidak menemukan suatu apa pun. Kemudian ia berkata pada Imam, “Maafkan aku tuanku. Aku hanya diperintahkan.”
Imam as menjawab dengan sedih, “Sesungguhnya orang-orang yang zalim kelak akan mengetahui akibat perbuatan mereka sendiri.”


Kandang Binatang Buas

Seorang perempuan mengaku, bahwa dirinya adalah Zainab putri Ali bin Abi Thalib as. Ia berkata, bahwa masa mudanya terus berganti setiap 50 tahun.
Segera Al-Mutawakkil mengirimkan utusan dan bertanya kepada Bani Thalib. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya Zainab as telah meninggal pada tanggal sekian dan telah dikuburkan. Akan tetapi, perempuan ini tetap saja bersikukuh pada pengakuannya.
Menteri Al-Mutawakkil yang bernama Al-Fath bin Khaqan jengkel melihat itu. Ia berkata, “Tidak ada yang bisa mengetahui tentang hal ini kecuali putra Imam Ridha as.”
Maka, Al-Mutawakkil mengutus utusan kepada Imam Ali Al-Hadi as dan menanyakan perihal perempuan tersebut padanya. Kemudian Imam as. menjawab, “Sesungguhnya terdapat tanda pada keturunan Ali as. Tanda itu adalah binatang buas tidak akan mengganggu dan menyakitinya. Maka, cobalah kumpulkan perempuan itu bersama binatang buas, dan bila dia tidak diterkam, maka dia benar.”
Tak tahan lagi, Al-Mutawakkil ingin sekali menguji kebenaran ucapan Imam as di atas. Beliau pun masuk ke dalam sangkar binatang buas dengan penuh keyakinan. Tiba-tiba binatang buas di dalamnya mengikuti beliau sambil mengebas-kebaskan ekor di telapak kaki beliau.
Saat itu Al-Mutawakkil memerintahkan untuk melemparkan wanita tersebut ke dalam sangkar itu. Tatkala binatang buas itu muncul, ia pun menjerit dan segera menarik balik pengakuannya.


Di Majelis Al-Mutawakkil

Di saat sedang mabuk, Al-Mutawakkil memerintahkan para pengawalnnya agar segera mendatangkan Imam Ali Al-Hadi as. Dengan cepat mereka bergegas menuju kediaman beliau. Sesampainya di sana, mereka memasuki rumah Imam as dengan keras dan menyeret beliau sampai di istana khilafah.
Ketika Imam as berdiri di hadapan Al-Mutawakkil, khalifah yang zalim itu mengambil kendi khamer dan meminumnya sampai mabuk, lalu ia mendekati Imam as dan menyodorkan segelas minuman haram tersebut kepada beliau.
Imam as menolak dan berkata, “Demi Allah, darah dagingku tidak bercampur sedikit pun dengan minuman ini.”


Hari Kesyahidan

Dengan penuh kesabaran dan keikhlasan pada Allah SWT, Imam Ali Al-Hadi as menjalani kehidupan dunia yang fana ini. Cobaan demi cobaan telah beliau lewati dengan segenap ketabahan. Hingga akhirnya, pada tahun 254 Hijrih beliau menjumpai Tuhannya dalam keadaan syahid akibat racun yang merusak tubuhnya.
Ketika itu usia Imam as menginjak usia 42 tahun. Beliau dimakamkan di kota Samara yang kini ramai dikunjungi kaum msulimin dari berbagai belahan dunia.


Murid-Murid Imam Ali Al-Hadi

Meskipun Imam as senantiasa hidup di bawah pengawasan yang begitu ketat, namun beliau memiliki murid-murid yang tetap setia kepadanya. Tidak mudah bagi mereka untuk dapat berjumpa dan bertatap muka dengan Imam as. Salah seorang dari mereka adalah Abdul ‘Azhim Al-Hasani.
Abdul ‘Azhim termasuk ulama besar dan seorang yang amat bertakwa. Dalam berbagai kesempatan, Imam Ali as seringkali memujinya. Ia senantiasa menunjukkan penentangannya terhadap penguasa. Kemudian ia bersembunyi di kota Rey dan meninggal di sana. Hingga sekarang ini, makam beliau masih selalu dipadati oleh para peziarah.
Murid beliau yang lain adalah Hasan bin Sa’id Al-Ahwazi. Ia juga termasuk sahabat Imam Ali Ar-Ridha as dan Imam Muhammad Al-Jawad as. Ia hidup di Kufah dan Ahwaz, kemudian pindah ke Qom dan meninggal dunia di sana. Hasan menyusun tiga puluh karya tulis di bidang Fiqih dan Akhlak. Di antara jajaran perawi, ia termasuk orang yang tsiqah (terdipercaya) dalam meriwatkan hadis-hadis.
Selain Abdul ‘Azhim dan Hasan, sahabat setia Imam Ali Al-Hadi as ialah Fadhl bin Syadzan An-Naisyaburi. Ia terkenal sebagai seorang ahli Fiqih besar dan ahli ilmu Kalam terkemuka.
Fadhl banyak meriwayatkan hadis dari Imam Ali as. Bahkan, anaknya pun ikut menjadi salah seorang sahabat Imam Hasan Askari as. Imam Ali as sering memujinya. Ia menasehati orang-orang Khurasan untuk merujuk kepada Fadhl dalam berbagai masalah yang mereka hadapi.


Mutiara Hadis Imam Ali Al-Hadi

• “Barang siapa taat kepada Allah, maka ia tidak akan kuatir terhadap kekecewaan makhluk.”
• “Barang siapa tunduk pada hawa nafsunya, maka ia tidak akan selamat dari kejelekannya.”
• “Barang siapa rela tunduk terhadap hawa nafsunya, maka akan banyak orang-orang yang tidak suka padanya.”
• “Kemarahan itu terdapat pada orang-orang yang memiliki kehinaan.”
• “Pelaku kebaikan itu lebih baik daripada kebaikan itu sendiri. Sedang pelaku keburukan itu lebih buruk daripada keburukan itu sendiri.”
• “Cercaan itu lebih baik dari pada kedengkian.”
• Beliau berkata kepada Al-Mutawakkil, “Janganlah engkau menuntut janji kepada orang yang telah engkau khianati.”


Riwayat Singkat Imam Ali Al-Hadi
Nama      : Ali
Gelar     : Al-Hadi
Panggilan : Abul Hasan
Ayah      : Imam Muhammad Al-Jawad
Ibu       : Samanah
Kelahiran : Madinah, 212 H
Kesyahidan: 254 H
Usia      : 42 tahun
Makam     : Samara, Irak

[+/-] Selengkapnya...

15 Desember 2009

RIWAYAT SINGKAT IMAM AL JAWAD as

IMAM MUHAMMAD AL-JAWAD, SAMUDERA ILMU DAN TAKWA

Hari Lahir

Ayah beliau adalah Imam Ali Ar-Ridha as. Dan ibu beliau bernama Khaizran, berasal dari bangsa Maria Qibtiah, istri Rasulullah saw. Pada tanggal 10 Rajab tahun 195 Hijriah, Imam Muhammad Al-Jawad as dilahirkan. Imam Muhammad as memiliki banyak gelar. Gelar yang paling masyhur adalah At-Taqi dan Al-Jawad.

Saudara perempuan Imam Ridha as, Hakimah mengisahkan, “Pada malam kelahiran Imam Al-Jawad, saudaraku (Imam Ridha) memintaku untuk berada di sisi istrinya. Ia melahirkan seorang bayi dengan selamat. Ketika lahir, bayi itu menatap ke langit dan bersaksi atas keesaan Allah dan kerasulan Muhammad. Aku yang menyaksikan peristiwa agung ini bergetar dan segera pergi menjumpai saudaraku dan menceritakan semua ini. Saudaraku berkata, ‘Wahai saudariku, jangan engkau heran dengan peristiwa ini. Engkau akan saksikan peristiwa yang lebih menakjubkan lagi.’”

Kelahiran ini merupakan karunia Ilahi dan berita gembira bagi pengikut Ahlulbait as. Kelahiran ini menjawab segala rasa penasaran, keraguan, kebimbangan, dan kecemasan mereka.
Nauf Ali menceritakan, “Ketika Imam Ali Ar-Ridha as melakukan perjalanan ke Khurasan, aku berkata kepadanya, ‘Apakah Anda tidak memiliki perintah untuk aku kerjakan?’ Beliau berkata, ‘Ikutilah anakku setelahku dan tanyakan padanya segala kesulitan-kesulitan yang engkau hadapi.”

Imam Ridha as berulang kali mengatakan kepada sahabatnya, “Tidak perlu kalian mengajukan pertanyaan kepadaku. Ajukan pertanyaanmu kepada anak kecil ini yang kelak akan menjadi imam setelahku.”

Tatkala beberapa orang sahabat Imam Ar-Ridha menunjukkan keheranan dan keterkejutan mereka, bagaimana mungkin seorang anak diangkat menjadi Imam umat, beliau mengatakan, “Allah telah mengangkat Isa sebagai nabi ketika beliau bahkan lebih muda dari Abu Ja’far (Imam Jawad). Usia seseorang tidak terlibat dalam urusan kenabian dan kepemimpinan (imamah).”

Imam kesembilan umat ini, Muhammad Al-Jawad as menerima tanggung jawab Imamah pada usia sembilan tahun. Salah seorang sahabat beliau berkata, “Ali bin Ja’far, paman Imam Jawad di Madinah, adalah seseorang yang memiliki pengaruh yang besar. Warga kota di sana menaruh rasa hormat yang tinggi kepadanya. Setiap kali ia berangkat menuju masjid, orang-orang pun segera datang mengerumuninya dan bertanya tentang masalah-masalah yang mereka hadapi.

Suatu hari, Imam Muhammad Al-Jawad as memasuki masjid tersebut. Ali bin Ja’far yang sudah tua dan sesepuh kota itu, berdiri dari tempatnya dan mencium tangan Imam as lalu berdiri di sisi beliau. Imam berkata, “Paman, duduklah!” Sang paman berkata kepadanya, “Bagaimana mungkin aku dapat duduk selagi kau masih berdiri?”

Ketika Ali bin Ja’far kembali ke kerumunan sahabat-sahabatnya, mereka menegurnya dan berkata, “Anda adalah orang tua dan paman anak ini. Mengapa Anda begitu rupa menghormatinya?”
Ali bin Ja’far menjawab, “Diamlah, kedudukan Imamah (kepemimpinan Ilahi) merupakan sebuah kedudukan yang telah digariskan oleh Allah. Allah tidak memandang orang tua ini (Abu Ja’far—penj.) akan mampu mengemban Imamah atas umat. Namun, Dia Maha Tahu bahwa anak ini layak dengan kedudukan itu. Maka itu, kalian harus mentaati perintahnya.”


Akhlak Imam Al-Jawad

Ketika ayahandanya wafat, Imam Muhammad Al-Jawad as masih berusia belia. Namun begitu, beliau sungguh memiliki kepribadian yang matang dan sempurna, yang mendesak setiap orang untuk menumpahkan rasa hormat di hadapannya.

Selang beberapa hari setelah Imam Ali Ar-Ridha wafat, Khalifah Ma’mun pergi berburu bersama pasukan pengawal pribadinya. Tatkala ia memasuki sebuah jalan, beberapa orang anak sedang bermain di jalan itu. Melihat Ma’mun datang, mereka segera bubar dan lari menjauh, hanya seorang anak yang tidak beranjak dari tempat mainnya.

Ma’mun dan pasukannya berhenti lalu memandangi anak tersebut. Ia bertanya terheran-heran, “Hai bocah, mengapa kau tidak lari seperti anak-anak itu?”
Ma’mun terkejut dan heran atas keberanian, kegagahan, dan kecerdasan anak itu. Ia bertanya, “Siapakah namamu?”
“Muhammad bin Ali Ar-Ridha”, jawab anak itu.
Ma’mun segera mengungkapkan duka cita atas kewafatan ayahnya. Setelah itu, ia melanjutkan perburuan bersama para pengawalnya.


Surat Sang Ayah

Imam Ali Ar-Ridha as senantiasa memperlakukan putranya dengan penuh hormat dan selalu memperhatikan pendidikannya. Al-Bazanthi berkata, “Suatu hari, Imam Ridha as menulis surat kepada putranya, Muhammad Al-Jawad, di Madinah. Isi surat tersebut sebagai berikut:
Wahai putraku, aku mendengar bahwa para pelayan khalifah tidak memperkenankan orang orang untuk datang mengunjungimu atau sekedar menghubungimu dan mengemukakan kesulitan-kesulitan mereka padamu.

Ketahuilah, mereka (para pelayan khalifah) itu tidak ingin kebaikan darimu dan tidak ingin melihat engkau bahagia. Kini, aku perintahkan padamu untuk membuka pintu kepada semua orang sehingga mereka dengan bebas dapat berkunjung dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mereka. Bilamana engkau pergi, bawalah uang bersamamu sehingga engkau dengan segera dapat membantu orang-orang yang tertimpa kesulitan dan dan membutuhkan pertolonganmu.
Pikirkanlah orang-orang yang mendapat kesulitan hidup dan bantulah mereka dengan baik. Janganlah lupa untuk senantiasa bersikap murah dan merawat orang-orang yang tertimpa kemalangan.”


Keluasan Ilmu Imam Al-Jawad

Setelah berhasil meracun Imam Ali Ar-Ridha as, Ma’mun berusaha keras untuk menunjukkan bahwa kematian beliau adalah sebuah kejadian yang wajar dan alami. Namun, berangsur-angsur keculasan dan kebusukannya tercium oleh orang-orang ‘Alawiyun (keturunan Imam Ali as) dan kaum Syi’ah.

Mereka mengetahui bahwa Ma’mun telah melakukan sebuah tindak kejahatan berupa pembunuhan terhadap Imam Ridha. Oleh karena itu, beragam protes, kecaman, kerusuhan, dan pemberontakan terjadi di berbagai sudut kota. Ma’mun berupaya memadamkan api pemberontakan itu. Ia membawa putra Imam Ar-Ridha itu, Imam Muhammad Al-Jawad as dari Khurasan ke Madinah untuk menikahkannya dengan putrinya sendiri, Ummul Fadhl.

Orang-orang Abbasiyah berusaha untuk menghentikan keinginan Ma’mun itu. Namun, Ma’mun tetap bersikeras pada keputusannya. Mereka mendebatnya, “Dia (Imam Al-Jawad as.) itu masih kecil dan belum mengerti agama. Bersabarlah supaya ia belajar agama terlebih dahulu.”
Ma’mun tangkas menjawab, “Kalian tidak mengenalnya. Bagaimana kalian menentangku untuk tidak memilih sebaik-baik ciptaan Tuhan dan sealim-alim manusia untuk aku jadikan menantuku. Kalian dapat mengujinya jika kalian mau.”

Orang-orang Abbasiyah mendekati Yahya bin Aktsam, sang hakim agung, dan memintanya agar menyiapkan beberapa pertanyaan untuk menguji Imam Muhammad Al-Jawad as di hadapan majelis resmi Ma’mun. Yahya mengabulkan permintaan mereka. Mereka mendatangi Ma’mun dan menyampaikan kesediaan Yahya. Ma’mun menentukan hari untuk tanya-jawab tersebut.
Pada hari yang telah ditentukan, orang-orang Abbasiyah bersama Yahya bin Aktsam memasuki majelis akbar itu. Majelis itu dihadiri oleh orang-orang terhormat, bangsawan, dan para pejabat pemerintahan.

Kemudian, datanglah Imam Muhammad Al-Jawad as ke majelis itu. Orang-orang yang hadir di dalam majelis itu berdiri menyambut kedatangan beliau. Imam melangkah ke depan dan mengambil tempat duduk dekat Ma’mun yang tidak berhasrat pada acara tanya-jawab ini, karena ia berpikir Imam tidak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.

Ma’mun berkata kepada Imam as, “Yahya bin Aktsam ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu.”
“Ia boleh bertanya apa pun yang ia ingin tanyakan”, jawab Imam as.
Yahya mulai melontarkan pertanyaannya kepada Imam, “Apa pendapatmu tentang orang yang mengenakan pakaian Ihram dan berziarah ke Ka’bah, pada saat yang sama ia juga pergi berburu dan membunuh seekor binatang di sana?”

Imam Al-Jawad as. bersabda, “Wahai Yahya, kau telah menanyakan sebuah masalah yang masih begitu global. Mana yang sebenarnya ingin kau tanyakan; apakah orang itu berada di dalam Tanah Haram atau di luar? Apakah ia tahu dan mengerti tentang larangan perbuatan itu atau tidak? Apakah dia membunuh binatang itu dengan sengaja atau tidak? Apakah dia itu seorang budak atau seorang merdeka? Apakah pelaku perbuatan itu menyesali perbuatannya atau tidak? Apakah kejadian ini terjadi pada malam atau siang hari? Apakah perbuatannya itu untuk yang pertama kali atau kedua kalinya atau ketiga kalinya? Apakah binatang buruan itu sejenis burung atau bukan? Apakah binatang buruan itu besar atau kecil?


Pernikahan

Yahya kebingungan sekaligus kagum tatkala Imam as mengurai masalah itu dengan sempurna. Dari raut wajahnya terbesit tanda kekalahan dan kegagalan. Mulutnya terkatup. Seluruh hadirin menghaturkan penghargaan dan kekaguman kepada Imam Al-Jawad as setelah menyaksikan keluasan dan kedalaman ilmu beliau.
Akhirnya, Ma’mun mengumumkan acara akad pernikahan putrinya dengan Imam Al-Jawad di majelis itu juga. Imam as bangkit lalu menyampaikan khutbah nikah. Mas kawin yang beliau berikan senilai mas kawin Siti Fatimah Az-Zahra as dan pesta pernikahan pun berlangsung sebegitu meriahnya.


Maksud di Balik Pernikahan

Sesungguhnya Ma’mun menyimpan maksud-maksud tertentu di balik keputusannya menikahkan putrinya dengan Imam Al-Jawad as. Di antaranya:
a. Menepis kecaman dan tuduhan orang-orang sekaitan pembunuhannya terhadap Imam Ali Ar-Ridha as dan merebut kembali hati masyarakat.
b. Agar putrinya dapat mengawasi dan memantau Imam Al-Jawad as sedekat mungkin.
c. Membujuk Imam as agar menetap di kota Baghdad yang kehidupannya dipenuhi oleh kemewahan dan kesenangan duniawi.


Kembali ke Madinah

Imam Muhammad Al-Jawad as telah mengambil keputusan bulat untuk segera kembali ke Madinah. Maksud tersebut beliau lakukan dengan cara berangkat ke Makkah dan menunaikan Haji di sana.
Masyarakat pun ramai mengantarkan Imam sampai di jalan yang mengarah ke kota Kufah. Di sana, Imam as singgah di sebuah masjid. Ketika waktu shalat telah tiba, Imam as berwudhu di halaman masjid di bawah pohon Nabk. Sungguh Allah SWT telah memberkahi pohon itu sehingga berbuah dengan buah-buah yang manis. Warga Baghdad senantiasa mengenang keberkahan Imam as pada pohon itu.


Beberapa Surat dan Masalah

• Ada seorang lelaki dari Bani Hanifah yang menyertai Imam Al-Jawad as dalam perjalanan hajinya. Saat duduk bersama di depan hidangan, ia berkata kepada Imam as, “Jiwaku adalah tebusanmu! Sesungguhnya wali kotaku adalah pecintamu Ahlulbait. Ia amat percaya padamu. Dan sekarang ini aku harus membayar pajak kepadanya. Bisakah kau menuliskan surat untuknya agar ia berbelas kasih kepadaku?”
Imam berkata, “Tapi, aku tidak mengenalnya.”
Lelaki itu membalas, “Dia sungguh pecintamu, dan suratmu akan dapat berguna bagiku.”

Lalu Imam as mengambil secarik kertas dan menulis, “Bismillahirrahmaninrrahim. Pembawa suratku ini adalah seorang lelaki yang telah mengenalkanmu sebagai manusia mulia. Dan tidak ada perbuatan yang berguna bagimu kecuali kebaikan yang terdapat di dalamnya. Maka, berbuatbaiklah kepada saudara-saudaramu!”
Lelaki itu menyerahkan surat tersebut kepada wali kota Naisyabur. Ia menyambutnya, bahkan menciumnya dan melekatkannya di kedua matanya. Lalu berkata kepada lelaki, “Apa keperluanmu?”
“Ada pajakmu yang aku tanggung”, begitu keluhnya. Mendengar itu, wali kota memerintahkan agar kewajiban pajaknya dihapuskan, dan mengatakan, “Kau tidak usah membayar pajak selagi kau hidup.”
• Datang sepucuk surat kepada Imam Al-Jawad as dari seorang lelaki yang hendak bermusyawarah dengan beliau berkenaan dengan pernikahan anak-anak perempuannya.
Imam as menulis balasan untuknya, “Aku telah mengerti apa-apa yang kau paparkan mengenai anak-anak perempuanmu, dan bahwasanya kau tidak menemukan lelaki yang mirip denganmu. Namun, janganlah terlalu menantikan demikian itu. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya, karena Rasulullah saw telah bersabda, ‘Jika datang kepadamu seseorang yang kamu sukai akhlak dan agamanya, maka nikahkanlah dia (dengan putrimu). Bila kamu tidak melakukannya, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan besar.”


Nasib Ma’mun

Warga Mesir bangkit melakukan pemberontakan. Segera Khalifah Ma’mun mempimpin pasukan besar dan memadamkan api pemberontakan itu. Dari sana, ia bertolak ke kawasan Romawi. Maka, terjadilah peperangan yang dahsyat yang akhirnya dimenangkan oleh kaum muslimin.
Dalam perjalanannya kembali dari peperangan, Ma’mun melewati “Riqqah”. Tempat itu terasa sejuk dan tenang dengan mata air yang mengalir. Maka, ia memutuskan untuk berkemah beberapa hari di sana.Di Riqqah, Ma’mun jatuh sakit. Tak lama kemudian, ia mati dan dikuburkan di tempat itu juga.


Kesyahidan Imam Al-Jawad

Setelah kematian Ma’mun, saudaranya yang bernama Mu’tashim menduduki kekhalifahan. Dia dikenal sebagai orang yang kejam, jahat, dan berperangai buruk.
Pertama yang dilakukan Mu’tashim ialah memanggil Imam Al-Jawad as dari Madinah untuk kembali ke Baghdad. Setelah itu, mulailah dia merencanakan persengkongkolan dengan Ja’far, anak Ma’mun. Dia mendesak Ja’far agar membujuk saudara perempuannya, Ummu Fadhl supaya meracun suaminya sendiri, Imam Al-Jawad as.

Ummu Fadhl pun menyanggupi. Maka, ia bubuhkan racun ganas di dalam anggur, seakan-akan ia telah belajar dari ayahnya sendiri yang telah membunuh Imam Ali Ar-Ridha as dengan cara yang sama.
Demikian kesyahidan Imam Muhammad Al-Jawad as. Hal itu terjadi pada hari Selasa, 6 Dzulhijjah 220 H, pada usianya yang masih muda, 25 tahun. Jasad beliau yang suci nan kudus dimakamkan di pemakaman Quraisy (kota Kazhimain sekarang) di samping makam datuknya, Imam Musa Al-Kazhim as. Pusara kedua Imam ini merupakan salah satu tempat ziarah kaum muslimin yang datang dari seluruh penjuru dunia.


Mutiara Hadis Imam Al-Jawad

• “Seorang mukmin senantiasa membutuhkan tiga perkara: taufik dari Allah, penasehat dari dalam dirinya, dan menyambut setiap orang yang menasehatinya.”
• “Hari Keadilan itu lebih mengerikan bagi orang zalim daripada hari perlakuan zalim terhadap orang teraniaya.”
• “Neraca kesempurnaan harga diri seseorang ialah meninggalkan apa saja yang tidak membuat dirinya indah.”
• “Kematian manusia karena dosa-dosanya itu lebih banyak ketimbang kematiannya karena ajalnya, dan seseorang hidup karena kebajikannya itu lebih banyak daripada ia hidup dengan (takdir) umurnya.”


Riwayat Singkat Imam Al-Jawad
Nama        : Muhammad
Gelar       : Taqi dan Jawad
Panggilan   : Abu Ja’far
Ayah        : Imam Ali Ar-Ridha as
Ibu         : Khaizran
Kelahiran   : Tahun 195 Hijriah
Masa Imamah : 17 Tahun
Kesyahidan  : Tahun 220 H
Makam       : Kota Kazhimain, Irak

[+/-] Selengkapnya...

12 Desember 2009

RIWAYAT SINGKAT IMAM AR-RIDHA as

IMAM ALI AR-RIDHA, TELADAN PEJUANG YANG SABAR

Hari Lahir

Imam Ali Ar-Ridha as lahir pada 11 Dzulqa’dah 148 H. di Madinah. Ayah beliau adalah Imam Musa Al-Kazim as dan ibunya seorang wanita mukmin nan saleh, bernama Najmah. Imam as menghabiskan masa kanak-kanaknya di sisi sang ayah.

Imam Musa as berwasiat dan memberi isyarat kepada sahabat-sahabatnya mengenai keimamahan putranya, Ali Ar-Ridha.

Ali bin Yaqthin berkata, “Pernah aku bersama Abdus Saleh (salah satu gelar Imam Musa Kazim—penj.). Tiba-tiba datang Ali Ar-Ridha as, lalu beliau (Imam Musa) berkata, “Wahai Ali bin Yaqthin, dialah penghulu anak-anakku.”

Hisyam menambahkan, “Sesungguhnya aku beritakan kepadamu bahwa dia adalah Imam setelahku.”

Demikian pula salah seorang sahabat pernah bertanya tentang imam sepeninggalnya. Imam Musa as memberi isyarat kepada anaknya, Ali Ar-Ridha sembari berkata, “Dialah Imam (pemimpin) setelahku.”

Pada masa itu, situasi amat menguatirkan, sehingga Imam Musa as berwasiat kepada para sahabatnya agar merahasiakan keimamahan putranya itu.

Budi Pekerti Yang Agung

Para Imam Ahlulbait as adalah manusia-manusia pilihan. Mereka dipilih oleh Allah SWT untuk membimbing masyarakat secara benar dan menjadi contoh yang paling unggul untuk mencapai derajat kemanusiaan dan akhlak mulia.

Ibrahim bin Abbas mengatakan, “Aku tidak pernah mendengar Abul Hasan Ar-Ridha as mengatakan sesuatu yang merusak kehormatan seseorang, juga tidak pernah memotong pembicaraan seseorang hingga ia menuntaskannya, dan tidak pernah menolak permintaan seseorang tatkala dia mampu membantunya. Beliau tidak pernah menjulurkan kakinya ke tengah majelis. Aku tidak pernah melihatnya meludah, tidak pernah terbahak-bahak ketika tertawa, karena tawanya adalah senyum. Di waktu-waktu senggang, beliau menghamparkan suprah dan duduk bersama para pembantu, mulai dari penjaga pintu sampai pejabat pemerintahan. Dan barang siapa yang mengaku pernah melihat keluhuran budi pekerti seseorang seperti beliau, maka janganlah kau percaya.”

Seorang laki-laki menyertai Imam Ar-Ridha dalam perjalanannya ke Khurasan. Imam mengajaknya duduk dalam sebuah jamuan makan. Beliau mengumpulkan para tuan dan budak untuk menyiapkan makanan dan duduk bersama. Orang itu lalu berkata, “Wahai putra Rasulullah, apakah engkau mengumpulkan mereka dalam satu jamuan makan?”

“Sesungguhnya Allah SWT adalah satu. Manusia lahir dari satu bapak dan satu ibu. Mereka berbeda-beda dalam amal perbuatan”, demikian jawab Imam as.

Salah seorang dari mereka berkata, “Demi Allah, tidak ada yang lebih mulia di muka bumi ini selain engkau, wahai Abul Hasan (panggilan Imam Ar-Ridha)!”

Imam menjawab, “Ketakwaanlah yang memuliakan mereka, wahai saudaraku!”

Salah seorang bersumpah dan berkata, “Demi Allah, engkau adalah sebaik-baik manusia.”

Imam menjawabnya, “Janganlah engkau bersumpah seperti itu. Sebab orang yang lebih baik dari aku adalah yang lebih bertakwa kepada Allah. Demi Allah, Dzat yang menorehkan ayat ini, ‘Kami ciptakan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertakwa.’

Pernah suatu saat, Imam Ali Ar-Ridha as berbincang-bincang dengan masyarakat. Mereka bertanya tentang masalah-masalah hukum. Tiba-tiba seorang warga Khurasan masuk dan berkata, “Salam atasmu wahai putra Rasulullah! Aku adalah seorang pengagummu dan pecinta ayahmu serta para datukmu. Aku baru saja kembali dari haji dan aku kehilangan nafkah hidupku. Tak satu harta pun tersisa lagi padaku. Jika engkau sudi membantuku sampai di negeriku, sungguh nikmat besar Allah atasku, dan bila aku telah sampai, aku akan menginfakkan jumlah uang yang kau berikan kepadaku atas namamu, karena aku tidak berhak menerima infak.”

Dengan nada lembut, Imam Ar-Ridha as berkata kepadanya, “Duduklah, semoga Allah mengasihanimu!”

Kemudian Imam melanjutkan perbincangannya dengan masyarakat sampai mereka bubar. Setelah itu, Imam bangkit dari duduknya dan masuk ke kamar. Tak lama kemudian, beliau mengeluarkan tangannya dari balik pintu sambil berkata, “Mana orang Khurasan itu?”

Orang Khurasan itu mendekat dan Imam berkata, “Ini 200 Dinar. Pergunakanlah untuk perjalananmu dan janganlah engkau menafkahkan hartamu atas nama kami.”

Orang Khurasan itu mengambilnya dengan penuh rasa syukur, lalu meninggalkan Imam as.

Setelah itu Imam keluar dari kamar. Salah seorang sahabat bertanya, “Kenapa engkau menyembunyikan wajahmu dari balik pintu, wahai putra Rasulullah?”

Imam berkata, “Agar aku tidak melihat kehinaan pada raut wajah orang yang meminta. Tidakkah kau mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Berbuat baik dengan sembunyi-sembunyi adalah sama seperti tujuh puluh kali ibadah haji, dan orang yang terang-terangan dalam berbuat jahat sungguh terhina, dan orang yang sembunyi dalam melakukannya akan diampuni.’”

Jangan Merasa Bangga!

Ahmad Al-Bazanthi adalah salah seorang ulama terkemuka dan seringkali melakukan surat-menyurat dengan Imam Ali Ar-Ridha. Kemudian, ia mengakui kebenaran kedudukan beliau sebagai imam.

Al-Bazanthi pernah menceritakan pengalamannya berikut ini:

“Imam Ar-Ridha as memintaku datang menjumpainya dan mengirimkan keledai kepadaku sebagai kendaraan. Sesampainya di sana, kami duduk dalam sebuah pembahasan. Hingga tiba waktu Isya’, kami melaksanakan shalat. Seusai shalat, Imam meminta kepadaku untuk bermalam. Aku menjawab, ‘Tidak demi jiwaku yang menjadi tebusanmu, aku tidak membawa mantel (selimut) dan pakaian.’

Beliau berkata kepadaku, ‘Allah akan melewatkan malammu dalam keadaaan sehat dan kami akan tidur di atap rumah.’

Sementara Imam turun, aku berkata pada diriku sendiri, ‘Sungguh aku telah mendapatkan kemulian dari Imam yang aku tidak temukan pada orang lain. Aku telah tertipu oleh setan.’

Di waktu subuh, Imam membangunkanku sambil memegang tanganku. Kepadaku beliau menuturkan, ‘Suatu hari, Amirul Mukminin Ali as menengok Sha’sa’ah bin Sauhan yang tengah sakit. Ketika dia hendak bangun, Amirul Mukminin berkata kepadanya, ‘Wahai Sha’sa’ah, janganlah engkau merasa bangga terhadap saudara-saudaramu hanya karena aku menjengukmu.’

Seakan-akan Imam membaca apa yang terlintas dalam benak Al-Bazanthi. Beliau menasehatinya dan mengingatkan kakeknya, Imam Ali bin Ali Thalib as bagaimana menjenguk salah seorang sahabatnya.

Nasihat untuk Saudara

Zaid adalah saudara Imam Ali Ar-Ridha as. Dia melakukan pemberontakan di kota Bashrah dan membakari rumah orang-orang Abbasiyah, sehingga dia digelari dengan Sang Api.

Khalifah Ma’mun segera mengirim pasukan besar dan terjadilah pertempuran sengit. Di sana, Zaid menyerah dan meminta damai. Namun, akhirnya ia tertangkap dan dipenjara.

Tatkala Imam Ali Ar-Ridha as diangkat oleh Ma’mun sebagai pengganti khalifah, Ma’mun memutuskan untuk mengirimkan Zaid kepada Imam. Imam as sangat marah atas perbuatan saudaranya yang membakar rumah dan merampas harta benda rakyat tanpa hak.

Kepada saudaranya Imam as berkata, “Hai Zaid, apa yang membuat engkau tertipu hingga engkau menumpahkan darah dan merampok? Apakah kau tertipu oleh perkataan orang-orang Kufah, bahwa Fatimah as telah disucikan rahimnya sehingga Allah mengharamkan anak keturunannya dari api neraka? Celakalah engkau! Sesungguhnya yang dimaksudkan Rasul saw dari sabda itu bukanlah aku, bukan pula kau. Akan tetapi, Hasan dan Husain. Demi Allah, sesungguhnya keselamatan dari api neraka itu tidak akan didapati kecuali dengan ketaatan kepada Allah SWT. Apakah kau mengira akan masuk surga dengan tetap bermaksiat kepada Allah? Kalau begitu, kau lebih besar daripada Allah dan dari ayahmu, Musa bin Ja’far as!”

Zaid berkata,”Bukankah aku saudaramu?”

Imam menjawab, “Ya, kau adalah saudaraku selama kau taat kepada Allah. Bagaimana Nabi Nuh as memohon, ‘Tuhanku, sesungguhnya anakku dari keluargaku dan janjimu pasti nyata dan engkau maha pengasih.’ Dan bagaimana Allah membalasnya, ‘Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah dari keluargamu, karena dia bukan perbuatan saleh.’ Demi Allah, wahai Zaid! Tidak seorang pun akan mendapatkan kedudukan di sisi Allah kecuali ketaatan kepada-Nya.”

Di Majelis Ma’mun

Ma’mun mengumpulkan para pemuka agama dan tokoh-tokoh mazhab Islam, lalu memerintahkan mereka untuk berdiskusi dengan Imam Ali Ar-Ridha as. Ma’mun melakukan itu hanya untuk menjatuhkan Imam di hadapan soal-soal mereka.

Imam as bertanya kepada seorang sahabatnya yang bermana Hassan Naufal, “Apakah engkau tahu mengapa Ma’mun mengumpulkan para pemuka agama dan tokoh mazhab itu?”

Naufal menjawab, “Dia ingin sekali mengujimu.”

Imam berkata, “Senangkah engkau melihat saat-saat Ma’mun menyesali perbuatannya?.”

“Tentu”, jawab Naufal.

Imam berkata, “Yaitu tatkala dia mendengar jawabanku dari kitab Taurat terhadap penganut Taurat, jawabanku dari kitab Injil tehadap penganut Injil, jawabanku dari kitab Zabur terhadap penganut Zabur, dan jawabanku dari kitab Ibraniyyah terhadap kaum Sabiah.”

Imam Ali Ar-Ridha as menyiapkan perjalanannya bersama sahabatnya ke istana Khalifah. Setelah sampai dan istirahat sejenak, diskusi pun dimulai.

Jatsliq berkata, “Saya tidak ingin berdiskusi dengan orang yang menggunakan Al-Qur’an sebagai dalilnya, karena aku mengingkarinya, dan juga orang yang menggunakan hadis Nabi Muhammad, karena aku tidak mempercayai kenabiannya.”

Imam Ar-Ridha as berkata, “Jika aku berdalil dengan kitab Injil, apakah engkau akan beriman?”

“Tentu, saya akan menerimanya”, begitu tegas Jatsliq.

Lalu Imam Ali Ar-Ridha as membacakan beberapa ayat Injil yang di dalamnya Nabi Isa as mengabarkan kedatangan nabi setelahnya, sebagaimana yang juga diberitakan oleh Hawariyyun (sabahat setia Nabi Isa). Imam juga membacakan sebagian ayat dari Injil Yohanes.

Jatsliq dengan penuh keheranan berkata, “Demi kebenaran Isa Al-Masih, aku tidak pernah menyangka bahwa di antara ulama muslim ada orang sepertimu.”

Kemudian Imam Ali Ar-Ridha berpaling kepada pemuka Yahudi dan berdalil dengan ayat-ayat Taurat dan Zabur.

Tak ketinggalan pula, Imran Ash-Shabi yang ahli dalam ilmu Kalam. Dia bertanya kepada Imam tentang keesaan Tuhan dan masalah-masalah Kalam lainnya.

Ketika masuk waktu Zhuhur, Imam as bangkit untuk melaksanakan shalat. Setelah itu, beliau melanjutkan diskusi dengan Imran sampai dia mengakui kebenaran agama Allah yang hak. Lalu dia menghadap Kiblat dan bersujud kepada Allah untuk menyatakan keislamannya.

Perjalanan ke Marv

Tak seorang pun tahu alasan sebenarnya yang mendorong Khalifah Ma’mun untuk meminta Imam Ali Ar-Ridha as menjadi penggantinya kelak.

Ketika Imam as tinggal di Madinah Al-Munawwarah, tiba-tiba datang perintah Khalifah kepada beliau untuk melakukan perjalanan ke Marv.

Imam as menyiapkan perjalanannya ke Khurasan. Beliau tiba di kota Bashrah, lalu bertolak menuju Baghdad, kemudian singgah di kota Qom yang mendapatkan sambutan begitu hangat dari masyarakat di sana. Kala itu, Imam menjadi tamu salah seorang penduduk, dan semenjak hari itu ditetapkanlah hari berdirinya “Madrasah Ar-Ridhawiyyah.”

Di Naisyabur

Naisyabur merupakan salah satu kota tua dan pusat ilmu pengetahuan, lalu runtuh dan hancur ketika penyerangan bangsa Mongol.

Iring-iringan kafilah Imam Ali Ar-Ridha as dijemput oleh masyarakat di sana dengan penuh suka cita, sementara ratusan ulama dan pelajar berdiri paling depan.

Para ulama dan ahli hadis berkumpul di sekitar para pengiring Imam, sedang di tangan mereka buku dan alat menulis. Mereka menunggu Imam meriwayatkan hadis-hadis dari kakeknya Rasulullah saw, sampai-sampai di antara mereka ada yang memegang tali kekang tunggangan Imam dan berkata, “Demi kebenaran ayahmu yang suci, riwayatkanlah kepada kami hadis sehingga kami dapat mendapatkan ilmu darimu.”

Imam as berkata, “Aku mendengar ayahku Musa bin Ja’far berkat, ‘Aku mendengar Ayahku, Ja’far bin Muhammad berkata, ‘Aku mendengar ayahku Muhammad bin Ali berkata, ‘Aku mendengar ayahku Ali bin Husain berkata, ‘Aku mendengar ayahku Husain bin Ali berkata, ‘Aku mendengar ayahku Ali bin Abi Thalib berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Aku mendengar Jibril berkata, ‘Aku mendengar Allah berfirman, “Kalimat La Ilaha illallah adalah bentengku. Barang siapa masuk ke dalam bentengku, niscaya ia terbebas dari azabku.’”

Hadis ini terkenal dengan Hadis Silsilah Dzahabiyah (Untaian Emas). Sebanyak dua ribu perawi mencatat hadis ini.

Imam Ali Ar-Ridha as meninggalkan Naisyabur pada waktu pagi. Di tengah perjalanan masuk waktu Zhuhur, Imam as meminta air untuk berwudhu. Akan tetapi, para pengikutnya sulit mendapatkan air.

Imam menggali tanah. Tiba-tiba muncul mata air. Beliau berwudhu bersama orang-orang yang menyertainya. Hingga sekarang ini, mata air itu masih mengalir.

Imam Ar-Ridha as dan rombongan tiba di Sina Abad dan beliau menyandarkan punggungnya ke salah satu batu besar di gunung itu. Masyarakat di sana adalah pengrajin kuali dan periuk untuk keperluan masak. Imam memohon kepada Allah untuk memberkahi mereka dan meminta untuk dibuatkan periuk.

Imam as masuk ke rumah Hamid bin Qahthabah Ath-Tha’i dan masuk ke qubah yang di dalamnya terdapat kuburan Harun Ar-Rasyid. Di samping kuburan itu, beliau menuliskan sesuatu lalu berkata, “Ini adalah tanahku, dan di sinilah aku akan dikuburkan. Allah akan menjadikannya tempat ziarah bagi pengikutku. Demi Allah, barangsiapa yang menziarahiku, maka wajib baginya ampunan dan rahmat Allah melalui syafaat kami Ahlulbait.”

Kemudian, beliau melakukan shalat dua rakaat dan sujud yang lama sambil bertasbih sebanyak lima ratus kali.

Di Marv

Sampailah Imam Ali Ar-Ridha as di Marv. Ma’mun berusaha menampakkan rasa hormat dengan cara menyambut beliau dan mengadakan pesta penyambutan. Dia mengharapkan Imam supaya sudi menduduki kursi khalifah. Akan tetapi, beliau menolaknya.

Imam Ali Ar-Ridha as tahu benar akan maksud yang disembunyikan oleh Ma’mun. Dia telah membunuh saudaranya sendiri, Muhammad Amin, lantaran haus kekuasan dan kekhalifahan. Lalu, bagaimana mungkin dia mau turun tahta?

Ma’mun berusaha menarik simpati masyarakat dengan menampakkan kecintaannya kepada Ahlulbait. Dia menetapkan kewajiban menaati Imam sebagai calon penggantinya, walaupun dengan cara-cara paksa.

Di hadapan permintaan Ma’mun yang penuh dengan pemaksaan dan bahkan ancaman itu, akhirnya Imam Ridha as menerima untuk dijadikan penggantinya kelak dengan syarat, bahwa beliau tidak ikut campur dalam urusan-urusan pemerintahan.

Segera kepingan-kepingan uang dicetak dengan nama Imam, dan Ma’mun membiarkan masyarakat memakai pakaian hitam sebagai lambang orang-orang Abbasiyah, dan memakai pakaian hijau sebagai lambang orang-orang Alawiyah (keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as).

Lebih dari itu, Ma’mun bahkan menikahkan anak perempuannya dengan Imam Ar-Ridha as dan menikahkan anak perempuannya yang lain dengan putra beliau, yaitu Muhammad Al-Jawad as.

Shalat Hari Raya

Imam Ali Ar-Ridha as dibaiat sebagai calon pengganti Khalifah pada 5 Ramadhan 201. Setelah 25 hari, tibalah hari pertama dari bulan Syawal, yaitu Hari Raya Idul Fitri. Satu hari sebelumnya, Ma’mun memerintahkan Imam Ar-Ridha as untuk menjadi imam shalat hari raya Idul Fitri.

Imam merasa keberatan. Tetapi Ma’mun bersikeras pada keputusannya, dan mengirim utusan untuk memata-matai gerak-gerik beliau.

Imam as menerima dengan satu syarat, yaitu melakukan shalat hari raya sesuai dengan ajaran Rasulullah saw dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.

Ma’mun menyetujui syarat itu dan memerintahkan tentaranya untuk bersiap-siap menjemput Imam esok pagi.

Masyarakat berkerumun di jalan-jalan dan di atap-atap rumah, sementara pasukan berbaris sambil menunggu Imam as keluar.

Matahari terbit menampakkan garis kemilauan emas dan menyelimuti bumi dengan panas dan cahayanya.

Imam Ali Ar-Ridha as mandi dan memakai pakaian dan serban putih sambil membiarkan salah satu ujungnya jatuh di depan dadanya dan ujung lainnya terurai di antara kedua bahunya. Beliau memakai wewangian dan memegang tongkat. Beliau memerintahkan orang-orang terdekatnya serta para pembantunya untuk melakukan hal yang sama. Dan, Imam pun keluar bersama mereka tanpa alas kaki.

Beberapa langkah kemudian, Imam Ar-Ridha as mengangkat suaranya sambil mengumandangkan takbir; Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Imam muncul dari dalam rumah, sedangkan pasukan istana serta komandannya melihat Imam bersama kelompok besar berjalan di samping kuda-kuda mereka. Mereka pun hanyut dan segera turun dari kuda, lalu melepaskan sepatu-sepatu mereka dan ikut berjalan mengiringi Imam as dengan kaki telanjang.

Imam bertakbir di pintu gerbang. Masyarakat juga ikut bertakbir sehingga gema takbir membahana ke seluruh penjuru kota. Mereka keluar dari rumahnya masing-masing dan tumpah-ruah ke jalan-jalan.

Berkali-kali masyarakat menghadiri shalat hari raya yang dilaksanakan dengan penuh kemegahan dan kemewahan yang jauh dari dari makna takbir. Kali ini mereka menyaksikan hari raya besar yang penuh dengan semangat Islam yang dibawa oleh Nabi saw dan kini dihidupkan kembali oleh cucunya, Imam Ali Ar-Ridha as.

Mata-mata yang mengintai gerakan Imam dan masyarakat segera melaporkan hasil pengawasannya kepada Ma’mun. Dia malah kuatir terhadap dampak yang akan muncul apabila Imam melanjutkan perjalanannya untuk melaksanakan shalat hari raya dan menyampaikan khutbah.

Ma’mun segera mengutus seseorang untuk menemui Imam Ar-Ridha as yang masih dalam perjalanan. Kepada beliau, ia menyampaikan pesan secara lisan, “Sungguh kami telah membuatmu kepayahan, wahai putra Rasulullah. Kami senang bila Anda istirahat. Untuk itu, kembalilah!”

Imam as kembali, sementara masyarakat bertanya-tanya. Sungguh mereka telah terpesona oleh sosok beliau yang mengingatkan mereka akan kerendahan hati ayah dan kakeknya.

Tujuan Ma’mun

Tak seorang pun yang mengingkari kelicikan dan muslihat Ma’mun dalam berpolitik, sebagaimana yang dia lakukan di balik penetapannya atas Imam Ali Ar-Ridha as sebagai pengganti kekhalifahannya. Tentu, ada maksud-maksud tertentu yang disembunyikan Ma’mun, di di antaranya:

1. Mengharapkan dukungan orang-orang Alawiyah yang ingin membalas dendam kepada pemerintahan Abbasiyah dan bertekad melakukan berbagai pemberontakan dan kerusuhan, yaitu dengan mengangkat Imam as sebagai penganti kekhalifahannya kelak dan mengganti pakaian hitam dengan pakaian hijau.

2. Merangkul orang-orang Alawiyah dengan cara melibatkan mereka dalam pemerintahan agar masyarakat mengetahui, bahwa pemberontakan yang mereka lakukan hanya karena ingin kekuasaan dan kesenangan, bahwa mereka tidak ingin menegakkan keadilan, tetapi tujuan mereka adalah untuk memperoleh harta kekayaan.

3. Ma’mun berusaha mengumpulkan tokoh-tokoh Alawiyah di ibu kota negara lalu melakukan penangkapan atas mereka, satu persatu, seperti yang terjadi pada Imam Ar-Ridha as.

Tentunya, Imam as mengetahui seluruh tipu-daya Ma’mun dan berusaha menggagalkannya dalam banyak kesempatan dan sikap beliau, seperti dalam diskusi dengan para pemuka agama, salat haru raya, dan syarat beliau atas Ma’mun agar tidak ikut campur dalam urusan negara dan politik.

Di’bil Al-Khuza’i

Pada masa itu, syair mendapat perhatian khusus dan penghargaan yang tinggi. Syair juga biasa ditempatkan pada surat-surat kabar untuk menyebarluaskan berita, seruan, ataupun maksud-maksud politik. Penguasa memberi dukungan dan imbalan yang besar untuk mengukuhkan pemerintahan mereka.

Sebagian penyair menolak bujukan pemerintah dan tetap teguh dalam mempertahankan kebenaran, sekalipun dalam keadaan serbakurang dan tertindas, sebagaimana yang dilakukan oleh pujangga Di’bil Al-Khuza’i.

Sejarah mencatat pertemuan Di’bil dengan Imam Ali Ar-Ridha. Abu Shalt Al-Hirawi meriwayatkan, “Di’bil menjumpai Imam Ar-Ridha as di Marv dan berkata, ‘Wahai putra Rasulullah, aku telah membuat syair dan aku berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak membacakan kepada seseorang sebelum engkau mendengarkannya.’

Imam as menyambutnya dan mengucapkan banyak terima kasih, lalu mempersilahkan untuk menyenandungkannya. Di antara bait-bait syair Di’bil ialah:

Kediaman-kediaman manusia suci

kini telah sunyi dari pengunjung.

Rumah wahyu tidak lagi

dituruni kabar-kabar langit.

Pusara di Kufah dan

yang lainnya di Thaibah (Baqi’),

pula yang di Fakh

senantiasa tercurah salawatku.

Dan pusara di Baghdad,

milik jiwa yang suci

Tercurahkan rahmat Sang Pengasih

dalam ruang-ruang kedamaian.

Imam lalu menyambutnya,

Pusara di Thus betapa besar

Dera nestapa yang menimpanya.

Di’bil dengan penuh keheranan bertanya, ‘Aku tidak pernah tahu, siapakah pemilik pusara itu?’

‘Itulah pusaraku, wahai Di’bil,” jawab Imam as.

Sang penyair melanjutkan senandung syairnya yang menyisipkan penderitaan dan musibah yang terus menerus menimpa Ahlulbait. Imam as menangis, dan air matanya berderai menghangatkan pipinya.

Imam memberikan 100 Dinar sebagai hadiah kepada Di’bil. Namun, ia merasa berat menerimanya, dan meminta dari beliau sehelai kain untuk mendapatkan berkah darinya. Imam menghadiahkan jubah dari bulu yang ditenun sebagai tambahan dari uang 100 Dinar.

Di’bil memohon diri. Dalam perjalanan pulang, ia dan kafilahnya dihadang oleh segerombolan perampok. Seluruh harta benda mereka dirampas. Sambil duduk membagi hasil rampasan, salah seorang perampok melantunkan satu bait puisi:

Aku melihat mereka membagi-bagi harta rampasan.

Di tangan mereka harta rampasan dari emas.

Mendengar bait itu, Di’bil bertanya kepada perampok tersebut, “Siapa yang membuat puisi tadi?”

“Ini puisi Di’bil”, jawabnya.

“Akulah Di’bil”, kata Di’bil memperkenalkan diri.

Para perampok itu pun segera mengembalikan harta-harta kafilah yang bersamanya dengan penuh hormat, serta meminta maaf kepada mereka.

Di’bil dan kafilahnya melanjutkan perjalanan sampai di kota Qom. Di sana, sebagian masyarakat berebut ingin menukar baju Imam dengan seribu Dinar, namun Di’bil menolaknya. Di tengah itu, datanglah sekelompok pemuda dari luar kota Qom menginginkan sepotong (secarik) dari pakaian Imam untuk mengambil berkah dengan imbalan 1000 Dinar. Maka, Di’bil pun merelakannya.

Ketika sampai di rumahnya, Di’bil mendapati istrinya menderita sakit di bagian matanya. Ia memeriksakannya, kepada satu tabib ke tabib yang lain. Tapi, mereka semua mengatakan, “Sudah tidak ada gunanya kamu mengobatinya, karena istrimu akan menderita kebutaan.”

Di’bil merasa sedih sekali. Tiba-tiba ia teringat potongan baju Imam. Kemudian dia melilitkannya di mata sang istri dari awal malam hingga esok harinya. Tatkala istri Di’bil terjaga, ia tidak merasakan sakit sedikit pun berkat keramat Imam Ali Ar-Ridha as.

Hari Kesyahidan

Setelah Ma’mun merasa jenuh dan putus asa membujuk Imam Ali Ar-Ridha as dengan kekuasaan, sementara beliau tetap teguh dan bersih dari kepentingan dunia, Ma’mun senantiasa mencari-cari kesempatan untuk membunuh beliau.

Di Baghdad, orang-orang Abbasiyah mengumumkan pembangkangannya. Lalu mereka membaiat orang-orang kaya sebagai khalifah pengganti Ma’mun, karena kuatir akan berpindahnya kekuasaan dan kekhalifahan ke tangan orang-orang Alawiyah.

Untuk menarik simpati mereka di Baghdad dan tetap mengakuinya sebagai khalifah, Ma’mun merencanakan pembunuhan terhadap Imam. Dia bubuhkan racun ganas di dalam anggur.

Imam as meninggal karena racun itu dan kembali ke haribaan Allah dalam keadaan syahid dan teraniaya.

Imam Ali Ar-Ridha as syahid pada tahun 203 H. dan dimakamkan di kota Thus (Masyhad, Iran).

Sementara itu, Ma’mun menampakkan dirinya sedih di hadapan masyarakat dengan tujuan menepis kecurigaan dan tuduhan mereka terhadapnya. Dia pun ikut serta mengantarkan jenazah suci Imam as dan berjalan tanpa alas kaki sambil menangis.

Mutiara Hadis Imam Ali Ar-Ridha

• “Barang siapa yang tidak berterima kasih kepada orang tuanya, maka dia tidak bersyukur kepada Allah SWT.”

• “Barang siapa yang selalu mengawasi dirinya, niscaya akan beruntung, dan barang siapa melalaikannya, pasti akan merugi.”

• “Sebaik-baik akal adalah kesadaran seseorang akan dirinya sendiri.”

• “Bila seorang mukmin marah, maka kemarahannya tidak akan mengeluarkan dirinya dari bersikap benar. Dan jika ia senang, maka kesenangannya tidak akan menghanyutkannya ke dalam kebatilan. Dan jika ia punya kekuatan, ia tidak akan merebut lebih dari haknya.”

• “Sesungguhnya Allah membenci orang-orang yang menceritakan kejelekan orang dan orang yang mendengarkannya serta orang yang banyak bertanya.”

Riwayat Singkat Imam Ali Ar-Ridha

Nama : Ali.

Gelar : Ridha.

Panggilan : Abu Hasan.

Ayah : Musa Al-Kazhim as.

Ibu : Najmah.

Kelahiran : Madinah, 11 Dzulqa’dah 148 H.

Wafat : 203 H.

Makam : Thus, Masyhad-Iran.

[+/-] Selengkapnya...

 
Mari Mencintai Rasul - © 2007 Template feito por Templates para Você