29 November 2009

RIWAYAT SINGKAT IMAM MUSA AL-KAZHIM as



Hari Lahir


Imam Musa Al-Kazhim as lahir pada hari Ahad, bertepatan dengan 7 Shafar tahun 120 Hijriah di sebuah lembah bernama Abwa’ yang terletak di antara Makkah dan Madinah. Ibunda beliau bernama Hamidah. Imam as mencapai kedudukan Imamah pada usia 21 tahun.


Abu Bashir menuturkan, “Kami bersama Imam Ja’far melakukan perjalanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Tidak lama setelah tiba di sebuah tempat yang dikenal dengan Abwa’ dan menyantap sarapan pagi di sana, Imam mendapat kabar bahwa Allah SWT telah menganugerahinya seorang putra. Dengan penuh suka-cita, Imam Ja’far segera menemui istrinya, Hamidah. Tidak lama kemudian, beliau kembali dengan wajah berseri dan berkata, “Allah SWT telah memberiku seorang anak. Kelahiran putraku ini merupakan anugerah terbaik dari-Nya.”


Ibundanya bercerita bahwa ketika putranya lahir, ia merebah sujud dan memanjatkan rasa syukurnya kepada Allah SWT. Perbuatan ini merupakan tanda imamah beliau.


Saat tiba di Madinah, Imam Ja’far Ash-Shadiq as menghidangkan jamuan makan selama tiga hari, mengundang orang-orang miskin, dan orang-orang yang tertimpa kesusahan.


Ya’qub As-Sarraj menuturkan, “Aku mengunjungi Imam Ash-Shadiq as di Madinah. Aku melihatnya berdiri di dekat ayunan putranya, Musa Al-Kazhim as. Aku mengucapkan salam kepada beliau, dan dengan tatapan yang cerah beliau membalas salamku. Beliau berkata, ‘Mari mendekat kepada Imam dan sampaikan salam padanya.’ Aku mendekatinya dan menyampaikan salam. Imam Ja’far berkata, ‘Allah SWT telah menganugerahimu seorang putri dan engkau telah memberinya nama yang kurang pantas untuknya. Pergilah dan gantilah namanya.”


Ibunda Musa Al-Kazhim as adalah seorang budak yang dibeli oleh Imam Ja’far. Meskipun demikian, ibunda telah mendapatkan pengajaran ilmu dari Imam Ja’far as, yang menjadikannya sebagai wanita yang memiliki keluasan ilmu dan kecakapan dalam bidang ilmu-ilmu agama. Sehingga, terkadang Imam Ja’far meminta para wanita untuk bertanya masalah-masalah agama kepadanya.


Periode kehidupan Imam Musa Al-Kazhim as dapat dibagi menjadi dua bagian:


Pertama, kehidupan beliau bersama ayahandanya di Madinah selama 20 tahun. Periode ini berlangsung sebelum beliau mencapai Imamah.


Kedua, masa-masa awal perlawanan, pemenjaraan, dan pengasingan yang menimpa kehidupan Imam as.


Akhlak Imam Musa


Meskipun postur tubuh Imam Musa Al-Kazhim as kurus, namun beliau memiliki jiwa yang kuat. Baju dalam beliau terbuat dari bahan kain kasar. Beliau kadang-kadang berjalan kaki di tengah keramaian penduduk, menyampaikan salam pada mereka, mencintai keluarganya, dan menghormati mereka.


Imam Musa Al-Kazhim adalah orang yang sangat peduli pada kehidupan kaum fakir miskin dan orang-orang yang tertimpa musibah. Pada malam hari, beliau memikul makanan di pundaknya untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh mereka tentang keberadaan beliau. Bahkan, setiap bulannya, Imam memberikan santunan kepada beberapa orang di antara mereka.


Salah seorang sahabat Imam bercerita tentang ketabahan dan kesabaran beliau. Ia menuturkan, “Musuh-musuhnya terkadang merasa malu dan berkecil hati atas akhlak luhur yang ditunjukkan oleh Imam.”


Pada suatu waktu, seorang warga Madinah melihat Imam Musa. Ia menghadang beliau lalu menyampaikan kata-kata kasar dan makian terhadap beliau. Para sahabat Imam berkata, “Izinkan kami untuk menghajarnya, wahai Imam!”


Imam berkata, “Biarkanlah, jangan kalian ganggu dia.”


Beberapa hari kemudian, tidak ada berita tentang orang tersebut. Imam menanyakan ihwal kesehatan orang itu. Penduduk kota menjawab, “Ia pergi bercocok tanam di ladangnya yang terletak di luar kota Madinah.” Mendengar kabar tersebut, Imam as segera menunggang kudanya dan bergerak menuju ke ladang orang tersebut.


Ketika orang itu melihat kedatangan Imam as, ia berteriak dengan lantang dari kejauhan, “Jangan sekali-kali kau menginjakkan kakimu di ladangku. Aku adalah musuhmu dan musuh datuk-datukmu.”


Namun, Imam malah mendekatinya, menyampaikan salam, dan menanyakan kesehatan serta keadaan hidupnya. Dengan penuh ramah Imam bertanya, “Berapa Dinar yang Anda habiskan untuk biaya ladangmu ini?”
Ia menjawab, “Seratus Dinar.”
Imam bertanya lagi, “Berapa banyak keuntungan yang Anda harapkan dari semua ini?”
Orang itu menjawab, “Dua ratus Dinar.”


Mendengar jawaban ini, Imam mengambil sekantung uang yang berisi tiga ratus Dinar dan memberikannya pada orang tersebut. Imam berkata, “Ambillah uang ini, dan ladang ini tetap menjadi milikmu.”


Orang yang selama ini berlaku kurang ajar dan kasar kepada Imam itu, tidak pernah menyangka akan mendapatkan perlakuan sesantun itu dari Imam.


Ketika hendak kembali ke Madinah, Imam berpesan, “Lepaskan amarahmu dengan cara seperti ini.” Yakni, tetap menunjukkan akhlak yang luhur.


Al-Kazhim adalah sebuah gelar yang berarti orang yang mampu mengendalikan amarahnya ketika mendapat gangguan dan membalasnya dengan kebaikan serta penghormatan. Perbuatan mulia ini telah membuat musuh-musuhnya menjadi begitu malu.


Salah satu kebiasaan Imam Musa as ialah menunjukkan cinta kasih dan kehangatannya kepada kerabat beliau. Beliau berkata, “Apabila terjadi permusuhan di antara kerabat, lalu mereka saling berjabatan tangan ketika mereka berjumpa, maka permusuhan itu akan pergi dan sesama mereka akan saling mencintai satu sama lainnya dan sama-sama menyambut gembira.”


Sikap Pemurah Imam


Imam Musa Al-Kazhim as masyhur di antara para penduduk dengan kemurahan dan keramahannya, seperti perbuatan beliau membebaskan seribu budak, atau pun bantuan beliau kepada mereka yang dalam kesulitan dan terhimpit masalah hidup, serta melunasi utang orang-orang yang terlilit utang.


Ibnu Sharashab menukil, “Suatu hari, Khalifah Manshur mengundang Imam Musa ke istananya dan meminta beliau untuk duduk di singgasana khalifah pada hari tahun baru dan membawa pulang hadiah-hadiah yang dihaturkan oleh para tamu. Meskipun Imam tidak begitu tertarik untuk memenuhi undangan itu, namun beliau dengan terpaksa menerimanya.


“Beliau duduk di singgasana itu. Atas perintah Khalifah Manshur, para pengawal kerajaan, keluarga istana, dan para pembesar yang ikut dalam acara resmi tersebut menyerahkan hadiah-hadiah mereka kepada Imam. Manshur memerintahkan salah seorang pelayannya untuk mencatat secara detail jumlah hadiah itu dan menyiapkan perlengkapannya untuk dibawa oleh Imam.


“Di akhir acara itu, seseorang yang sudah berusia lanjut datang dan berkata, ‘Wahai putra Rasulullah, aku tidak memiliki sesuatu pun untuk aku haturkan kepadamu. Akan tetapi, aku memiliki beberapa syair yang berhubungan dengan duka nestapa yang menimpa datukmu, Imam Husain as. Hanya syair inilah yang dapat kupersembahkan kepadamu.’


“Orang itu kemudian melantunkan syairnya di hadapan Imam dan meninggalkan kesan yang luar biasa dalam diri beliau. Beliau meminta pengawal Manshur untuk pergi menjumpai Manshur dan menanyakan tentang apa yang harus dilakukan dengan hadiah-hadiah tersebut.


“Pengawal tersebut beranjak menjumpai Manshur, dan setelah kembali ia mengatakan, ‘Khalifah mengatakan bahwa seluruh hadiah itu telah diserahkan kepadamu sepenuhnya. Kau bisa serahkan kepada siapa saja yang kau kehendaki.


“Pandangan Imam jatuh kepada orang tua tadi. Kepadanya beliau mengatakan, ‘Demi syair yang telah Anda lantunkan sehubungan dengan bencana yang menimpa datukku, aku anugerahkan hadiah ini untukmu sehingga dengannya Anda bebas dari kemiskinan dan penderitaan.”


Imam Musa Bekerja


Imam Musa Al-Kazhim as bercocok tanam sendiri di ladang yang menjadi kekayaan pribadi beliau. Dari hasil cocok tanam itu, Imam membelanjakannya untuk keperluan hidup sehari-hari. Kadang-kadang, kerja keras di ladang membuat seluruh badan beliau basah kuyup dengan peluh.


Suatu hari, salah seorang sahabat Imam yang bernama Ali Bathaini—yang memiliki hubungan kerja dengan Imam—mendatangi beliau di ladang. Ketika ia melihat Imam dalam kepayahan, ia pun menjadi sedih dan berkata, “Semoga jiwaku menjadi tebusanmu wahai Imam, mengapa Anda tidak membiarkan orang lain untuk melakukan pekerjaan ini?”


Imam menjawab, “Mengapa aku harus membebankan pekerjaan ini ke pundak orang lain sementara mereka lebih baik dalam melakukan pekerjaan ini daripada aku.”
Aku bertanya, “Siapakah mereka itu?”
Imam berkata, “Rasulullah saw, Amirul mukminin Ali as, ayahandaku, dan datukku.”


Bekerja dan berpeluh adalah sunah para nabi, para Imam, dan para hamba Allah yang saleh. Mereka ini senantiasa bekerja dan bersusah payah. Mereka memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan hasil kerja yang mereka usahakan sendiri.


Cara Dakwah Imam Musa


Suatu ketika, Imam melintasi sebuah jalan. Denting suara musik dan dendang lagu terdengar hingga keluar rumah. Pemilik rumah tersebut adalah seorang tuan yang terpandang. Dia telah membangun sebuah tempat untuk bersenang-senang dan membuatnya bergembira ria.


Tiba-tiba seorang budak keluar dari rumah itu untuk membuang sampah di sudut jalan. Secara kebetulan, ia melihat Imam dan berdiri terdiam. Lalu, ia memberikan salam kepada Imam.


Sang Imam bertanya padanya, “Apakah pemilik rumah ini adalah seorang hamba atau seorang merdeka?”


Ia menjawab , “Seorang yang merdeka.”


Imam berkata lagi, “Tentu saja dia seorang yang merdeka. Jika dia seorang hamba, tentu dia memiliki rasa takut kepada Allah SWT dan tidak akan mengerjakan perbuatan sia-sia ini.”


Budak itu kembali masuk rumah. Tatkala tuannya menanyakan keterlambatannya, ia menceritakan perjumpaan dan perbincangannya dengan Imam di luar tadi.


Orang itu sejenak merenungi perbincangan itu. Ia merasakan perkataan Imam di atas begitu menyentuh hatinya. Segera ia bangkit dari tempat duduknya dan dengan kaki telanjang ia berlari menyusul Imam dari belakang hingga berjumpa dengan beliau. Orang itu memberikan salam kepada Imam dan menyampaikan penyesalannya di hadapan beliau.


Sejak saat itu, ia mengubah pusat hiburan itu menjadi tempat ibadah, dan setiap hari ia berjalan dengan kaki telanjang. Orang ini kemudian dikenal dengan nama “Basyri Al-Hafi”, yang berarti Si Basyri yang berjalan dengan kaki telanjang.


Kezuhudan dan Ibadah


Imam Musa Al-Kazhim as sangat terkenal dengan kezuhudan dan ibadahnya sehingga di mana pun orang bercerita tentang beliau, mereka pasti berkomentar, “Beliau adalah seorang pecinta ibadah.”


Syaikh Mufid menulis tentang Imam as, “Di zaman itu, beliau adalah orang yang paling saleh dan bertakwa. Pada malam harinya, beliau larut dalam shalat. Bilamana melaksanakan sujud, beliau senantiasa memanjangkannya sementara air matanya luruh hingga membasahi janggut beliau.”


Syablanji, seorang ulama Ahlusunah menulis, “Imam Musa Al-Kazhim as adalah orang yang paling bertakwa dan zuhud pada zamannya. Beliau sangat arif, bijaksana, pemurah, dan pengasih kepada siapa saja. Beliau membantu dan merawat orang-orang yang malang. Waktunya banyak dihabiskan untuk mengerjakan ibadah tanpa diketahui oleh orang banyak. Beliau berkata, ‘Ya Allah, mudahkanlah kematianku dan ampuni dosa-dosaku saat aku dihadapkan pada-Mu di Hari Kiamat.”


Imam Musa as merupakan seorang pecinta Tuhan sejati sehingga membuat orang-orang menjadi takjub dan terheran-heran. Sampai-sampai beliau pernah membuat Fadhl, si kepala penjara ikut menangis.


Begitu pula pelayan wanita khusus Khalifah Harun yang diutus ke penjara untuk menggoda Imam as, dan membuat beliau tertarik kepadanya sehingga Harun menemukan alasan untuk menghukum beliau. Di dalam penjara, pelayan wanita itu malah terpukau oleh perangai Imam, sehingga ia kembali menghadap Harun dalam keadaan menangis, dan menyatakan keberatannya atas keputusan Harun memenjarakan Imam as.


Tragedi Fakh


Atas perintah Imam Musa Al-Kazhim as, seorang Alawi (keturunan Imam Ali) asal Madinah bernama Husain bin Ali melakukan pemberontakan terhadap Al-Hadi yang menjadi khalifah Dinasti Abbasiyah ketika itu. Beserta dengan tiga ribu pasukan, Husain bangkit melawan pemerintahan Abbasiyah karena kejahatan dan kezaliman mereka terhadap anak keturunan Ali bin Abi Thalib as.


Namun, pasukan Al-Hadi berhasil mengepung mereka di tanah Fakh dan melakukan pembantaian massal di tempat itu, yaitu memenggal kepala mereka, satu persatu. Kepala-kepala yang terpenggal itu dan para tawanan perang dibawa ke hadapan Al-Hadi. Dia memberi perintah kepada algojonya untuk membunuh para tawanan itu.


Peristiwa ini dikenal dalam sejarah sebagai tragedi Fakh dan pejuang ‘Alawi itu dikenal dengan “Husain”, Sang Syahid Fakh.


Hijrah Pertama ke Baghdad


Manshur tewas dibunuh pada 158 H. Segera anaknya, Al-Mahdi naik tahta sebagai khalifah yang menggantikan ayahnya, ia memberlakukan siasat-siasat keji atas masyarakat. Ia bertingkah seakan-akan seorang alim yang taat beragama di hadapan khalayak, tetapi di belakang ia justru senantiasa berbuat zalim dan maksiat.


Ketika memegang kekuasaan, Khalifah Al-Mahdi membebaskan para tahanan politik, di antaranya Imam Musa as, dan mengembalikan harta yang dirampas dari tangan mereka. Akan tetapi, ia juga memberikan hadiah yang besar kepada para penyair yang memaki dan melaknat keluarga Ali bin Abi Thalib as. Seperti ketika ia memberikan hadiah 70.000 Dirham kepada Busyr bin Burd dan 100.000 Dirham kepada Marwan karena syair-syair mereka berisikan laknat dan makian terhadap keluarga Imam Ali as.


Ia menghabiskan harta negara untuk berfoya-foya dan bersenang-senang, seperti ketika ia menghabiskan 59.000.000 Dirham untuk pesta pernikahan anaknya, Harun.


Suatu ketika, mata-mata Al-Mahdi melaporkan popularitas Imam dan kecondongan masyarakat kepada beliau. Mendengar berita itu, dia benar-benar geram dan segera memerintahkan orang-orang dekatnya untuk membawa Imam as dari Madinah ke Baghdad dan memenjarakannya di sana.


Abu Khalid berkata, “Suatu hari Imam dikawal oleh pasukan resmi kerajaan tiba di rumahku di Zubala. Dalam waktu yang singkat itu, Imam sempat lepas dari pengawalan pasukan kerajaan itu, dan beliau memintaku untuk membelikan beberapa barang. Aku sangat sedih dan menangis melihat keadaan Imam seperti itu. Kepadaku Imam mengatakan, ‘Jangan risaukan aku, karena aku akan segera kembali, dan nantikan aku hingga hari itu, di tempat itu.’


“Aku persembahkan diriku atas apa yang telah Imam perintahkan kepadaku. Kulihat beliau memimpin kafilah tersebut. Dengan gembira Aku maju ke depan dan mencium Imam. Beliau berkata, ‘Wahai Abu Khalid, mereka akan membawaku kembali ke Baghdad dan aku tidak akan kembali dari perjalanan itu.’


“Ketika aku mencari tahu alasan mengapa Imam dibebaskan, aku menjadi tahu bahwa Al-Mahdi melihat Imam Ali bin Abi Thalib as dalam mimpinya, pada malam yang sama. Dalam mimpinya itu, dia melihat Imam Ali dengan tatapan marah dan memberi peringatan kepadanya. Karena ketakutan, pada pagi harinya dia pun melepaskan Imam dan mengirimnya kembali ke

Madinah dengan segenap hormat dan santun.”


Meskipun keadaan yang mencekik dan menyiksa di Madinah, Imam Musa as tetap giat membimbing dan menuntun warga kota. Tidak lama berselang, Al-Mahdi meninggal dunia dan anaknya Al-Hadi naik tahta menggantikannya sebagai khalifah.


Berbeda dengan ayahnya, Al-Hadi memulai permusuhan dan penindasannya terhadap anak keturunan Imam Ali as tidak lagi sembunyi-sembunyi, tetapi malah terang-terangan. Perbuatannya yang paling jahat ialah pembantaiannya terhadap anak keturunan Ali as yang kemudian dikenal dengan nama “Tragedi Fakh”, dan oleh ahli sejarah dicatat sebagai tragedi terkejam kedua setelah tragedi Karbala.


Al-Hadi adalah orang yang berlumuran dosa, berperangai jahat, dan sama sekali tidak layak menduduki kursi kekhalifahan. Ia menghabiskan uang sewenang-wenang, hanya untuk berpoya-poya dan bersenang-senang, dan memberikan hadiah yang melimpah kepada mereka yang membacakan syair dan yang mendendangkan lagu untuknya.


Al-Hadi meninggal pada tahun 170 H. Lalu Harun menggantikan kedudukannya sebagai khalifah. Ketika itu, Imam telah berusia 42 tahun.


Setelah dibaiat oleh orang-orang setianya, Harun melantik Yahya Barmaki—berkebangsaan Iran—sebagai menterinya dan memberikan wewenang yang penuh kepadanya. Harun sendiri menyibukkan dirinya menguras kekayaan negara “Baitul Mal” yang ketika itu sedang melimpah.


Ia menghabiskan seluruh kekayaan negara itu secara berlebih-lebihan untuk berfoya-foya dan bersenang-senang. Bahkan untuk pembelanjaan suatu acara makan, dia menghabiskan biaya senilai 4.000 Dirham.


Kecongkakan Harun


Harun sangat terusik dengan perlawanan anak keturunan Ali as terhadap Dinasti Abasiyah. Ia menggunakan segala cara untuk menjauhkan masyarakat dari keluarga Ali as. Ia pun memberikan uang yang melimpah kepada para pujangga yang mendendangkan syair-syair berisikan makian, hujatan, dan cemoohan terhadap mereka. Oleh karena itu, Harun memberikan izin kepada salah seorang pujangga—yang bait-bait syairnya menghujat keluarga Ali—masuk ke dalam gudang kekayaannya untuk memilih dan mengambil barang sesuka hatinya.


Harun mengasingkan anak keturunan Ali as dari Baghdad ke Madinah, dan membunuh banyak di antara mereka.


Hamid bin Fathaba, gubernur Khalifah Harun di Khurasan, menukil kepada Abdullah Al-Bazzaz An-Naisyaburi, “Harun memiliki satu taman di Naisyabur yang dikunjunginya setiap tahun. Pada suatu waktu, ia memanggilku di tengah malam dan berkata, ‘Tunjukkan seberapa tinggi imanmu kepadaku?’
Aku berkata, “Aku korbankan hidup dan hartaku untukmu.’
Ia berkata, ‘Apa lagi?’
Kujawab, ‘Kehormatanku, istriku, dan anakku, semua itu untukmu.’
Ia bertanya lagi, ‘Lalu apa lagi?’
Kukatakan, ‘Agamaku.’


Harun menegakkan kepalanya dan berkata sambil tertawa, ‘Anda telah mengatakan apa yang aku nantikan. Mendekatlah, ambil pedang ini dan laksanakan perintah yang disampaikan budakku kepadamu!’


“Budak Harun itu menuntunku ke sebuah rumah yang menyekap enam puluh orang. Mereka adalah anak-anak muda dan orang-orang tua keluarga Ali as. Kemudian ia menyeret mereka satu persatu dan memerintahkan aku untuk membunuh mereka. Aku dengan setia mematuhi perintah Harun tersebut. Setelah aku mengeksekusi mereka, aku buang mayat-mayat itu ke dalam sebuah sumur yang penuh dengan lumpur di sebuah kampung.


“Duhai sahabatku! Setiapkali aku mengingat tragedi memilukan ini, tubuhku bergetar dan bulu romaku merinding. Dengan segala kekejian dan kejahatannya, Harun masih memerintahkan aku untuk menggali kuburan Imam Husain as dan menghancurkan pusaranya dengan maksud agar orang-orang tidak dapat menziarahinya lagi.”


Ikrar Imam Musa Al-Kazhim


Sudah jelas mengapa Imam Musa Kazhim as begitu tegasnya menolak untuk bekerja sama dengan pemerintahan zalim dan biadab seperti Dinasti Abasiyah. Beliau tidak dapat berdiam diri di hadapan kezaliman mereka. Oleh karena itu, beliau bangkit memberontak melawan pemerintahan Harun.


Di mana saja tempat yang dianggap perlu, Imam as menyingkapkan kekejaman dan kebejatan perangai Harun kepada masyarakat. Hal ini tentu saja membuat Harun menjadi malu dan tercoreng namanya di hadapan mereka.


Selain itu, Imam Musa as memerintahkan beberapa sahabatnya untuk menolak segala bentuk kerja sama dan bantuan dari pemerintahan Harun. Misalnya kepada Shafwan, sahabat setia Imam. Kepadanya beliau berkata, “Engkau adalah orang yang berbudi baik dalam segala hal kecuali satu, yaitu engkau telah menyewakan untamu kepada Harun.”


Shafwan menjawab, “Aku menyewakan untaku kepadanya hanya pada musim haji saja, dan aku pun tidak menyertai perjalanannya.”


Imam berkata, “Hai Sofwan, tidakkah kau akan gembira sampai untamu kembali, dan Harun tetap hidup sehingga kau menerima uang sewa darinya?”


Ia menjawab, “Ya, betul.”


Imam berkata lagi, “Barang siapa yang suka bila seorang zalim tetap hidup, maka ia pun termasuk bagian darinya.”


Walaupun Shafwan telah menandatangani perjanjian sewa-menyewa dengan Harun yang mensyaratkan supaya Shafwan menyediakan perlengkapan perjalanan haji kepada Khalifah, namun setelah mendengar ucapan Imam Musa as itu, ia pun menjual seluruh unta yang dimilikinya. Harun kemudian memanggil dan mendesaknya untuk mengatakan alasan apa sehingga menjual seluruh unta itu tanpa sedikit pun memberi kabar kepadanya.


Akhirnya, Harun mengerti apa yang telah terjadi dan berkata kepada Shafwan, “Sekiranya aku tidak mengingat hubungan persahabatan yang dulu terjalin di antara kita, maka detik ini juga aku perintahkan algojoku untuk memenggal kepalamu. Aku tahu siapa yang memberikan perintah ini kepadamu. Musa bin Ja’far yang telah memerintahkan ini padamu.”


Walaupun Imam as tidak membolehkan seorang pun untuk berkerja sama dengan Harun, akan tetapi beliau memerintahkan seseorang yang pandai tentang seluk-beluk pemerintahan untuk menyusup dan membangun pengaruh di dalam pemerintahan Harun Ar-Rasyid, dan membantu sahabat-sahabat Imam yang kesusahan, serta melaporkan informasi, rencana, atau keputusan yang telah diambil oleh pemerintah.


Dalam rangka ini, beliau memberikan izin kepada Ali bin Yaqthin untuk mengemban tugas ini dan berhasil menjabat sebagai salah satu menteri Harun Ar-Rasyid. Dengan tugas ini, Ali dapat membantu sahabat-sahabatnya dan pengikut-pengikut Imam as.


Suatu hari, Imam menulis surat yang isinya meminta Ali bin Yaqtin, “Bila tidak ada orang yang melihatmu, kau dapat mengambil wudhu sesuai dengan ajaran Imam. Namun, bila ada yang menemanimu, maka berwudhulah dengan cara mereka. Terima hadiah-hadiah yang diberikan padamu dan jangan engkau tolak.” Penerimaan hadiah itu adalah salah satu cara Harun menguji kesetiaan orang-orangnya.


Dialog Harun dan Imam Musa Al-Kazhim


Harun senantiasa berusaha bertanya tentang sesuatu yang dapat membuat Imam tidak berkutik menjawabnya. Sehingga dengan siasat ini, dia dapat menjatuhkan citra dan kedudukan Imam di tengah masyarakat.


Pada suatu kesempatan, Harun berkata kepada Imam as, “Aku ingin menyampaikan sebuah pertanyaan yang hingga kini aku belum temukan jawabannya.”


Imam, “Jika aku memiliki kebebasan dalam menyampaikan pendapat, aku akan menjawab pertanyaanmu itu.”


Harun, “Tentu, Anda bebas menyampaikan pendapat Anda. Katakan padaku, mengapa Anda menganggap bahwa Anda lebih unggul di atasku padahal kita berdua dari satu garis keturunan. Bukankah kita berdua berasal dari Bani Hasyim?”


Imam, “Kami lebih dekat kepada Nabi saw dari pada Anda. Sebab, ayah kami adalah Abu Thalib dan ayah Nabi Muhammad saw adalah dua bersaudara dari ibu dan ayah yang sama. Tetapi ayahmu Abbas hanya memiliki nasab (hubungan) dari pihak ayah saja.”


Harun, “Sewaktu Nabi wafat, ayahmu, Abu Thalib telah lebih dahulu wafat, tapi ayah kami, Abbas masih tetap hidup. Jelas bahwa selama paman masih hidup, Anda sebagai sepupu tidak dapat menerima warisan.”


Imam, “Selama seorang anak masih hidup, paman tidak berhak menerima warisan. Dan ketika itu Fatimah masih hidup, maka ayahmu Abbas tidak memiliki hak untuk menerima warisan.”


Harun melontarkan pertanyaan lain, “Mengapa Anda membiarkan orang-orang memanggilmu dengan sebutan putra Rasulullah, sementara Anda ini putra Ali bin Abi Thalib. Karena, nasab setiap orang itu menurut pada garis ayahnya, sedangkan Rasulullah adalah kakekmu tapi dari garis ibu.”


Imam, “Jika sekiranya Rasulullah hidup dan meminang putrimu, apakah engkau bersedia untuk menerima pinangan beliau dan memberikan putrimu padanya?”


Harun, “Tentu saja, setiap bangsa Arab atau pun Ajam akan menerimanya dengan penuh kebanggan dan kehormatan.”


Imam, “Tetapi Rasulullah tidak akan pernah meminang putriku untuk beliau nikahi.”


Harun, “Mengapa demikian?”


Imam: “Karena, beliau adalah ayahku walaupun dari pihak ibu, sedangkan beliau bukan ayahmu sama sekali. Dengan demikian, aku menganggap diriku sebagai putra Rasulullah.”


Harun duduk diam seribu bahasa setelah mendengarkan jawaban Imam yang seakan-akan meremukkan tubuhnya. Lalu ia mempersilahkan Imam untuk memintanya sesuka hati beliau. Imam berkata, “Aku tidak ingin apa pun darimu. Biarkan saja aku pergi melakukan pekerjaanku.”


Pengkhianatan Seorang Kerabat


Kemenakan Imam yang bernama Ali bin Ismail diundang oleh sahabat Harun untuk menemaninya ke Baghdad guna memberi kabar kepada Harun perihal keadaan Musa bin Ja’far. Ketika Imam diberi tahu tentang undangan itu, beliau memanggil kemenakannya itu dan berkata, “Ke manakah kau hendak pergi?”


Ali bin Ismail menjawab, “Ke Baghdad.”


Imam berkata, “Untuk keperluan apa kau ke sana?.”


Ia menjawab, “Aku terlilit utang. Barangkali dengan kepergian ini aku mendapatkan uang untuk membayar utangku itu.”


Imam berkata lagi, “Aku yang akan membayar seluruh utangmu itu dan mencukupi keperluan hidupmu beserta keluargamu.”


Tetapi Ismail menolak tawaran Imam tersebut dan bersikeras untuk tetap pergi. Kepada Imam ia berkata, “Aku tetap akan pergi dan aku meminta nasihat darimu.”


Imam berkata padanya, “Aku wasiatkan kepadamu dan ini adalah perintahku. Engkau jangan turut serta dan mengambil andil dalam penumpahan darahku, karena akibatnya akan buruk untukmu kelak.”


Ismail bertanya, “Apa maksud perkataan Anda ini?” Ia mendesak Imam untuk memberinya nasihat. Imam kembali mengulangi perkataannya kepada Ismail. Ia tidak tahu bahwa Imam mengetahui apa yang akan terjadi.


Ismail beranjak pergi meninggalkan Imam. Beliau memberikan 300 Dinar kepadanya dan berkata, “Ini untuk anak-anakmu.” Ismail mengambil uang tersebut dan pergi.


Setelah kepergian Ismail, Imam menyampaikan pesan kepada orang-orang yang hadir dalam pertemuan itu. Beliau berkata, “Demi Allah, kemenakanku ini akan turut andil dalam pembunuhanku dan menjadikan anak-anakku yatim.”


Para hadirin bertanya-tanya, “Wahai putra Rasulullah, jika Anda mengetahui dia akan berlaku khianat padamu, lalu mengapa Anda masih saja membantunya?”


Beliau menjawab, “Datukku Rasulullah bersabda, ‘Jika seseorang berbuat baik dan mencintai kerabatnya dan si kerabat itu membalasnya dengan perbuatan jahat, maka Allah akan mengazabnya dan ia tidak akan pernah sampai pada apa yang ditujunya.”


Ismail tiba di Baghdad dan berkunjung ke kediaman Yahya Al-Barmaki. Setelah itu, bersama Yahya ia pergi menjumpai Harun. Ia menyampaikan laporannya kepada Harun. Katanya, “Wahai Harun! Musa bin Ja’far telah memerintah Madinah dan ia memiliki uang yang melimpah yang dikirim oleh orang-orangnya dari berbagai tempat. Ia telah mengambil keputusan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahanmu.”


Harun senang mendapatkan laporan dari Ismail itu dan memberi uang sebanyak dua ratus Dirham kepadanya. Ismail dengan senang hati menerima uang tersebut lalu segera pulang ke rumahnya di Madinah.


Namun, tiba-tiba rasa sakit menyerang tenggorokannya dan mati seketika di tempat itu pula. Harun memutuskan untuk datang ke Madinah guna menangkap Imam dan menjebloskannya ke dalam penjara.


Pada tahun yang sama, Harun menulis surat kepada seluruh orang-orangnya untuk menyebar di Makkah dan Madinah. Sepulangnya dari Madinah, ia memerintahkan gubernur Madinah untuk menangkap Imam dan mengirimnya ke Bashrah. Imam as dipenjarakan selama satu tahun di sana. Ketika itu kota Bashrah berada di bawah pemerintahan Gubernur Yahya Al-Barmaki.


Selama di penjara, akhlak, budi luhur, dan perilaku Imam meninggalkan kesan yang dalam pada diri Yahya. Kesan itu memaksanya untuk menulis surat kepada Harun, “Wahai Harun, aku tidak melihat sesuatu apa pun pada diri Musa bin Ja’far selama dalam penjara kecuali kebaikan dan ketakwaan. Aku tidak tahan lagi memenjarakannya. Terimalah ia agar kembali atau aku akan bebaskan dia pergi.”


Maka, Harun memutuskan untuk memindahkan Imam dari Madinah ke Baghdad. Atas perintahnya, beliau dipindahkan ke penjara Baghdad di bawah pengawasan Fadhl. Seperti pengalaman Yahya, Fadhl pun terpesona oleh kepribadian luhur Imam Musa as dan meminta Harun agar ia sendiri yang mengawasi beliau.


Akhirnya, Imam dipindahkan lagi ke penjara Sindi bin Syahik, seorang yang bengis dan kejam.


Imam melewatkan hari-harinya di penjara itu dengan shalat, puasa, ibadah, dan doa. Semua itu menambah kedekatan diri beliau kepada Allah SWT.


Perlawanan di dalam Penjara


Harun terus berupaya bagaimana caranya membunuh Imam Musa. Suatu hari, dia mengutus Yahya bin Khalik ke penjara. Tugas yang diemban Yahya adalah meminta Imam untuk tidak menentang Khalifah dan menawarkan pengampunan serta pembebasan kepada beliau. Namun, Imam menolak semua tawaran itu.


Imam as menulis sepucuk surat kepada Harun yang berbunyi, “Setiap hari kulalui dengan kesusahan, sementara kau lalui hari-harimu dengan kesenangan. Lalu, kita akan sama-sama mati. Hingga di suatu hari yang tiada akhirnya, kelak kita diberdirikan di hadapan Mahkamah Ilahi, ketika orang-orang licik hanya akan menjadi pecundang dan terhinakan.”


Hari Kesyahidan


Alasan Harun mengapa dia harus memindahkan Imam Musa as dari satu penjara ke penjara lain tidak ada lain adalah karena permintaannya kepada setiap kepala penjara untuk membunuh Imam, namun mereka tidak bersedia untuk memenuhi permintaan tersebut. Hingga akhirnya Sindi yang berhati keras itu bersedia untuk meracun Imam as. Maka, di dalam penjara Sindi-lah beliau meninggal akibat racun yang dibubuhkan ke dalam makanan beliau, tepatnya pada tahun 183 H.


Harun dengan menggunakan saksi-saksi palsu dan orang-orang bayaran mencoba menunjukkan kepada khalayak, bahwa kematian Imam Musa adalah sebuah kematian yang wajar dan alamiah. Siasat licik dan keji ini digunakan untuk menghindari pemberontakan sahabat-sahabat dan orang-orang setia Imam. Namun, segala kelicikan dan siasat Harun sia-sia belaka. Seorang lelaki bernama Sulaiman malah memimpin pemberontakan di Baghdad.


Setelah dikeluarkan dari penjara, mayat suci Imam Musa Al-Kazhim as digeletakkan di atas jembatan begitu saja; dalam keadaan sunyi senyap dan jauh dari keluarga serta umatnya. Ketika itu, hanya seorang tabib yang kebetulan melewati jembatan dan menemukan mayat suci itu. Setelah memeriksanya ia mengatakan, “Sesungguhnya Imam telah diracun hingga meninggal oleh seorang pembunuh.”


Kesyahidan Imam as itu membuat kekalutan dan berita besar di kota Baghdad. Sementara bagi pengikut-pengikut Ahlulbait, kesyahidan beliau merupakan kesedihan dan kegetiran di hati-hati mereka.


Imam Musa Al-Kazhim as dikebumikan di pemakaman orang-orang Quraisy di kota Kazhimain.


Sahabat-sahabat Imam Musa Al-Kazhim


Ketika ayahnya yang mulia, Imam Ja’far Ash-Shadiq as wafat, murid-murid beliau memusatkan perhatian dan kesetiaan mereka kepada putranya, Imam Musa as. Mereka menuntut ilmu kepada Imam as selama tiga puluh tiga tahun. Beberapa murid beliau antara lain:


1. Ibnu Abi Umair


Ia belajar pada tiga Imam, yaitu Imam Musa Al-Kazhim as, Imam Ali Ar-Ridha as, dan Imam Muhammad Al-Jawad as. Ibnu Abi Umair merupakan salah seorang ulama terkenal pada zamannya. Ia meninggalkan banyak kitab-kitab hadis sebagai tanda jasanya.


Beberapa orang memberi kabar kepada penguasa Abasiyah, bahwa Ibnu Abi Umair adalah orang Syi’ah (pengikut Ahlulbait). Ia ditangkap dan diinterogasi untuk menyebutkan nama-nama orang Syi’ah yang ia kenali. Namun, tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya untuk memenuhi paksaan mereka. Ia ditelanjangi dan diikat pada pohon kurma. Mereka mengganjar seratus cambukan kepada murid setia para Imam ini.


Syaikh Mufid menuturkan, “Sahabat utama Imam ini dipenjarakan selama tujuh puluh tahun. Seluruh harta bendanya dimusnahkan. Walaupun didera dengan cobaan yang berat, ia tetap mengunci mulutnya dan tidak berkata sepatah kata pun untuk memberikan informasi kepada penguasa Abasiyah yang zalim.”


2. Ali bin Yaqthin


Ia juga adalah salah seorang sahabat Imam Ja’far as. Marwan memata-matainya dan memerintahkan penangkapannya. Akan tetapi, Ali berhasil meloloskan diri dari kejaran Marwan. Ia mengirim istri dan anak-anaknya ke Madinah. Ia kembali ke Kufah menyusul keruntuhan Dinasti Bani Umaiyah di tangan Bani Abbasiyah.


Ali menjalin hubungan yang dekat dengan orang-orang Abbasiyah dan berhasil menjabat kedudukan-kedudukan penting dalam pemerintahan mereka. Melalui kedudukannya ini, ia banyak membantu pengikut-pengikut Ahlulbait yang tertindas.


Harun Ar-Rasyid mengangkat Ali sebagai menterinya. Sebenarnya ia merupakan seorang utusan Imam Musa as yang menyusup ke dalam pemerintahan Harun. Beberapa kali ia bermaksud mengundurkan diri, namun ia ditahan oleh Imam untuk tetap menjabat kementerian demi melindungi ajaran dan pengikut Ahlulbait as.


Ali bin Yaqthin wafat ketika Imam Musa as masih berada di dalam penjara.


3. Mu’min Ath-Thaq


Ia adalah seorang sahabat Imam Ja’far Ash-Shadiq as dan Imam Musa Al-Kazhim as. Imam Ja’far mendudukkannya sebagai salah seorang sahabat utama beliau dan memberikan penghormatan khusus kepadanya.


Mu’min amat tangkas dalam diskusi dengan siapa saja. Mengenai hal ini, Imam Ja’far as mengatakan, “Mu’min ibarat seekor elang yang menerkam mangsanya.”


4. Hisyam bin Hakam


Ia adalah seorang pakar dalam bidang ilmu Logika. Acapkali terdapat sebuah masalah pelik, Imam Ja’far as selalu mengutusnya memecahkan masalah itu. Ia sangat menguasai pembahasan Imamah. Ia merupakan murid jenius Imam dan tangkas dalam memberikan jawaban. Ia juga seorang pakar dalam masalah-masalah Ketuhanan.


Hisyam banyak menulis kitab dan terlibat dalam diskusi-diskusi dengan ulama dari berbagai mazhab dan golongan.


Mutiara Hadis Imam Musa Al-Kazhim


• “Katakan yang hak, walaupun akan mendatangkan kerugian kepadamu.”


• “Jika engkau menjadi seorang pemimpin yang bertakwa, maka seharusnya engkau bersyukur kepada Allah atas anugerah ini.”


• “Bersikaplah tegas dan keras terhadap orang-orang zalim sehingga engkau dapat merebut hak orang-orang mazlum (yang teraniaya) darinya.”


• “Kebaikan yang utama adalah menolong orang-orang yang tertindas.”


• “Dunia ini berkulit halus dan cantik, ibarat seekor ular. Namun, ia menyimpan racun pembunuh di dalamnya.”


Riwayat Singkat Imam Musa Al-Kazhim


Nama      : Musa.
Gelar     : Al-Kazhim.
Panggilan : Abul Hasan.
Ayah      : Imam Ja’far as.
Ibu       : Hamidah.
Kelahiran : Abwa’, 7 Safar 120 H.
Masa Imamah: 35 Tahun.
Usia      : 54 Tahun.
Kesyahidan:Tahun 182 H.
Makam     : Kazhimain, Irak.

[+/-] Selengkapnya...

28 November 2009

RIWAYAT SINGKAT IMAM JA'FAR ASH-SHADIQ as

IMAM JA‘FAR ASH-SHADIQ, PENCETUS UNIVERSITAS ISLAM
Hari Lahir Imam Ja‘far Ash-Shadiq as lahir pada 17 Rabiul Awal 80 Hijriah di Madinah Al-Munawwarah. Ayah beliau adalah Imam Muhammad Al-Baqir as dan ibunya bernama Ummu Farrah, putri Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar. Bercerita tentang sang ibu, beliau menuturkan, “Ibundaku adalah wanita beriman, bertakwa, dan senantiasa berbuat baik, karena sesungguhnya Allah SWT mencintai orang yang senantiasa berbuat baik.” Imam Ja‘far Ash-Shadiq as hidup sezaman dengan datuknya, Imam Ali Zainal Abidin as selama 15 tahun dan dengan ayahnya, Imam Muhammad Al-Baqir as selama 34 tahun. Beliau memiliki beberapa gelar terhormat, di antaranya Ash-Shabir (sang penyabar), Al-Fadhl(sang utama), dan At-Thahir (sang suci). Gelar beliau yang paling masyhur adalah Ash-Shadiq (sang jujur). Seluruh gelar tersebut menunjukkan kemuliaan dan keutamaan akhlak beliau. Beliau sempat menyaksikan datuknya Imam Husain as. Beliau juga menyaksikan kezaliman Bani Umayyah yang justru meruntuhkan kekuasaan mereka sendiri, sekaligus membukakan jalan bagi Bani Abbasiyah yang mengatasnamakan Ahlulbait untuk mengajak masyarakat bangkit melawan Bani Umayyah. Namun, ketika berhasil meruntuhkan kekuasaan Bani Umayyah, mereka malah lebih menumpahkan kebenciannya kepada Ahlulbait as. Imam Ja‘far as hidup di bawah pemerintahan zalim Bani Umayyah selama kurang-lebih 40 tahun, dan hidup pada masa permerintahan Abbasiyah selama sekitar 20 tahun. Selama itu, beliau menghindar dari kehidupan politik. Sementara pemikiran syirik dan penyelewengan berkembang pesat, beliau lebih banyak menghabiskan waktunya pada pengajaran agama, pendidikan akhlak, dan akidah di tengah masyarakat. Kondisi yang berkembang waktu itu telah menuntut Imam Ja‘far as untuk berjuang melawan pemikiran syirik, sehingga pada masa beliaulah mazhab Ahlulbait sesungguhnya mengalami perkembangan pesat. Akhlak Luhur Zaid bin Tsa’ari Al-Ma’ruf berkata, “Pada setiap zaman pasti ada seorang dari Ahlulbait Nabi saw di tengah-tengah kita yang menjadi bukti Allah atas segenap makhluk-Nya. Dan bukti Allah di zaman kita ini ialah anak laki-laki dari saudaraku, Ja‘far bin Muhammad yang tidak akan sesat siapa yang mengikutinya dan tidak akan mendapat petunjuk siapa yang menyimpang darinya.” Malik bin Anas (Imam Malik) berkata, “Demi Allah! Aku tidak pernah melihat seorang pun melebihi kezuhudan, keutamaan, ibadah, dan kewarakan Ja‘far bin Muhammad. Suatu waktu aku mendatanginya dan beliau sangat memuliakanku.” Bahkan, Abu Hanifah (Imam Hanafi) pernah belajar kepada beliau selama dua tahun. Dia menuturkan pengakuannya, “Seandainya tidak ada dua tahun, maka Nu’man (Abu Hanifah) pasti binasa.” Salah satu sahabat beliau meriwayatkan, “Pada suatu hari aku bersama Abu Abdillah (Imam Ja‘far) as. Ketika itu, beliau mengendarai keledai menuju Madinah. Tatkala mendekati pasar, Imam turun dari himarnya lalu sujud kepada Allah cukup lama. “Aku menunggunya, sampai beliau mengangkat kepalanya. Lalu aku berkata kepadanya, ‘Semoga aku menjadi tebusanmu wahai Imam! Aku melihat Anda turun dari keledai lalu sujud.’ Beliau membalas, “Sesungguhnya aku teringat nikmat Allah yang begitu melimpah kepadaku. Maka, aku segera melakukan sujud syukur.’” Pernah juga sahabat itu berkata, “Aku melihat Ja‘far bin Muhammad as sedang mencangkul di kebunnya. Tampak peluh bercucuran dari tubuhnya yang mulia. Kukatakan kepadanya, ‘Semoga aku menjadi tebusanmu, wahai Imam! Berikanlah cangkul itu kepadaku dan tinggalkanlah pekerjaan ini.’ “Beliau berkata kepadaku, ‘Sesungguhnya aku senang kepada seseorang yang bersusah payah dan kulitnya terbakar sinar matahari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.’” Suatu hari Imam Ja‘far as meminta seorang pembantunya untuk suatu keperluan. Ketika ia tak kunjung kembali, beliau keluar mencarinya dan mendapatinya sedang tidur. Imam menghampirinya dan duduk di dekat kepalanya lalu mengipasinya hingga ia terjaga. Imam mengingatkannya dan berkata kepadanya, “Engkau tidur siang dan malam? Bagimu waktu malam dan bagi kami waktu siang.” Imam Ja‘far as pernah mengupah beberapa orang untuk bekerja di kebunnya. Sebelum mereka selesai dari pekerjaannya, Imam berkata kepada pembantunya, Mu’tab, “Berikanlah upah mereka sebelum kering keringatnya.” Ketika telah lewat tengah malam, beliau membawa kantong yang berisi roti, daging, dan Dirham (uang perak) yang diletakkan di pundaknya, lalu beliau memberikan kepada orang-orang yang membutuhkan di sekitar Madinah, sementara mereka tidak mengetahui siapa yang membagi-bagikan bahan pangan itu. Ketika Imam Ash-Shadiq as wafat, mereka baru tahu bahwa yang membagikan bahan pangan kepada mereka selama ini adalah beliau. Imam Ja‘far dan Sufyan Ats-Tsauri Suatu hari, Sufyan lewat di Masjidil Haram. Dia melihat Imam Ja‘far as memakai mantel bagus yang berharga mahal. Dia berkata kepada dirinya, “Demi Allah, saya akan peringatkan dia.” Lalu dia mendekati Imam dan berkata kepadanya,” Demi Allah, wahai putra Rasulullah! Aku tidak menjumpai pakaian seperti ini dipakai oleh Rasulullah, Ali bin Abi Thalib, dan tidak seorang pun dari bapakmu.” Imam menjawab, “Dahulu, Rasulullah hidup pada zaman yang serba kekurangan, kefakiran, dan kini kita hidup pada zaman kemakmuran, dan orang-orang baiklah yang lebih berhak daripada orang lain atas nikmat Allah.” Kemudian beliau membacakan firman Allah, “Katakanlah siapakah yang mengharamkan perhiasan dan makan bersih yang Allah siapkan untuk hambanya.” “Maka, kamilah yang lebih berhak untuk memanfaatkan apa yang diberikan Allah.” Lalu Imam menyingkap pakaiannya dan tampaklah pakaian dalamnya yang kasar dan kering. Beliau berkata lagi, “Wahai Sufyan, pakaian ini (mantel luar) untuk manusia dan pakaian dalam ini untukku.” Imam Ja‘far dan Perniagaan Suatu hari Imam as memanggil pelayannya, Musadif dan memberinya 1.000 Dinar untuk modal berniaga. Imam berkata kepadanya, “Bersiap-siaplah pergi ke Mesir untuk berniaga.” Ketika barang dagangan sudah dikumpulkan, dia bersiap-siap untuk berangkat bersama kafilah dagang ke Mesir. Di tengah perjalanan, mereka berpapasan dengan kafilah dagang dari Mesir dan mereka menanyakan barang perniagaan dan kebutuhan masyarakat di sana. Mereka mengabarkan bahwa barang yang mereka bawa sekarang tidak ada di Mesir, lalu kafilah dagang itu sepakat untuk mencari keuntungan. Setibanya di Mesir, mereka menjual barang mereka dengan harga seratus persen keuntungan, kemudian bergegas kembali ke Madinah. Musadif menjumpai Imam Ash-Shadiq as sambil membawa dua kantong uang, masing-masing berisi 1.000 Dinar. Dia berkata kepada Imam as, “Wahai tuanku, ini modal uang dan ini keuntungannya.” Imam berkata, “Alangkah banyak keuntunganmu. Bagaimana caranya engkau dapatkan keuntungan sebanyak ini?” Musadif pun menceritakan bagaimana masyarakat Mesir membutuhkan barang yang mereka bawa, dan bagaimana para pedagang sepakat untuk menarik keuntungan satu kali lipat dari setiap Dinar modal mereka. Imam as dengan nada heran berkata, “Maha Suci Allah, engkau sepakat untuk menarik keuntungan dari kaum muslimin dan menjual barang kalian dengan keuntungan satu Dinar dari setiap Dinar modal kalian.” Imam lalu mengambil modalnya saja dan berkata, “Ini adalah harta saya dan aku tidak butuh pada keuntungan ini.” Kemudian berkata, “Wahai Musadif, tebasan pedang lebih ringan perkaranya daripada mencari harta halal.” Pada suatu waktu, seorang fakir pernah meminta bantuan kepada Imam Ja‘far as. Lalu beliau berkata kepada pembantunya, “Apa yang ada padamu?” Pembantu itu menjawab, “Kita punya empat ratus Dirham.” Imam berkata lagi, “Berikanlah uang itu kepadanya!” Orang fakir itu mengambilnya dan pamit dengan segunung rasa syukur. Imam meminta kepada pembantunya, “Panggil dia kembali!” Si fakir itu berkata keheranan, “Aku meminta kepadamu dan kau memberiku, lalu gerangan apakah Anda memanggilku kembali?” Imam berkata, “Rasululah saw bersabda, ‘Sebaik-baik sedekah adalah yang membuat orang lain tidak butuh lagi.’ Dan kami belum membuat kamu merasa tidak butuh lagi. Maka, ambillah cincin ini. Harganya 10 ribu dirham. Jika kamu memang memerlukan, juallah cincin ini dengan harga tersebut.” Berbakti kepada Ibu Seorang pemuda beragama Nasrani (Kristen) yang baru saja masuk Islam menjumpai Imam Ja‘far Ash-Shadiq. Imam memanggilnya dan berkata, “Katakanlah apa yang kau butuhkan?” Pemuda itu berterus terang, “Sesungguhnya ayah dan ibuku serta seluruh keluargaku beragama Nasrani. Ibuku matanya buta dan aku hidup bersama dengan mereka dan makan dari bejana mereka.” Imam as berkata, “Apakah mereka makan daging babi?” Pemuda itu menjawab, “Tidak.” Imam as berkata, “Makanlah bersama mereka, dan aku wasiatkan kepadamu untuk tidak merasa berat dalam berbuat baik kepada ibumu, dan penuhilah segala keperluannya.” Pemuda itu kembali ke Kufah. Setibanya di rumah, sang ibu mendapatinya begitu patuh dan saleh, berbeda dengan kondisi sebelumnya. Dia berkata, “Wahai anakku, kau tidak pernah melakukan hal seperti ini ketika kau masih memeluk agama Nasrani. Lalu gerangan apakah semua yang kuliat ini semenjak kau berpindah agama dan masuk Islam?” Pemuda itu menjawab, “Aku diperintahkan melakukan semua ini oleh seorang laki-laki dari keturunan Nabi Muhammad saw.” “Apakah dia seorang nabi?”, tanya sang ibu. Pemuda itu menjawab, “Bukan, ia hanyalah keturunan nabi.” Akhirnya, sang ibu pun mengakui, “Agamamu sungguh sebaik-baik agama. Ajarkanlah agamamu kepadaku.” Lalu pemuda itu menyambut permintaannya, hingga ia pun masuk Islam dan menunaikan salat sesuai yang diajarkan anaknya yang saleh itu. Imam Ja‘far dan Penimbun Barang Imam Ja‘far Ash-Shadiq as berkata, “Masa menimbun barang pada musim subur (panen); yaitu empat puluh hari dan tiga hari pada musim paceklik. Maka, barang siapa yang melampaui empat puluh hari pada musim subur, sungguh ia akan terlaknat, dan barang siapa yang melampaui tiga hari ketika musim paceklik, dia pun akan terlaknat.” Beliau berkata kepada pembantunya ketika masyarakat dalam keadaan hidup susah, “Belilah biji gandum dan campurlah makanan kami (dengan bahan lain), karena kami dimakruhkan makan makanan yang enak sementara masyarakat makan makanan yang tidak enak.” Suatu malam, gelap gulita menyelimuti kota Madinah. Mu'alla bin Khunais melihat Imam Ja‘far as menerobos kegelapan malam di bawah guyuran hujan sambil memikul roti sekarung penuh. Lalu dia mengikuti beliau untuk mengetahui ihwal rota yang dibawanya. Tiba-tiba beberapa potong roti itu jatuh berserakan. Imam as memungutnya dan terus melanjutkan perjalanannya hingga sampai di tempat orang-orang miskin yang sedang tidur. Imam as meletakkan dua potong roti di samping kepala mereka. Mu’alla mendekati Imam as. Setelah memberi salam, dia bertanya, “Apakah mereka dari pengikut setiamu?” Beliau menjawab, “Bukan.” Imam Ja‘far as juga banyak menanggung nafkah sejumlah keluarga. Beliau membawakan mereka makanan pada malam hari sementara mereka sendiri tidak mengetahui. Hingga ketika beliau wafat, terputuslah santunan yang biasa datang pada malam hari. Mereka sadar bahwa yang membawa itu ternyata sang Imam as. Suatu masa, Madinah dilanda musim kemarau. Gandum begitu langka di pasar. Imam Ja‘far as bertanya kepada pembantunya, Mu'tab tentang persediaan yang dimiliki. Mu'tab menjawab, “Kita punya cukup persedian untuk beberapa bulan.” Beliau memerintahkan untuk membawa dan menjualnya di pasar. Mu'tab heran dan memprotes. Akan tetapi, tidak ada faedahnya. Basyar Al-Mukkari meriwayatkan, “Aku mendatangi Ja‘far Ash-Shadiq as, sementara beliau tengah memakan kurma yang berada di tangannya. Beliau berkata, ‘Wahai Basyar, kemarilah dan makanlah bersama kami.’ Aku berkata, ‘Semoga Allah membahagiakanmu, nafsu makanku hilang karena aku melihat sebuah kejadian di tengah jalan tadi yang menyakitkan hatiku. Aku melihat tentara memukuli seorang perempuan dan menyeretnya untuk dijebloskan ke penjara. Perempuan itu meratap, ‘Aku memohon perlindungan kepada Allah dan Rasul-Nya.’ Lalu aku mencari tahu tentang nasib perempuan tersebut. Orang-orang mengatakan bahwa dia tergeletak di jalan. Aku berkata, ‘Semoga Allah melaknat orang yang menzalimimu, duhai Fatimah.’ Imam berhenti makan dan menangis. Air matanya membasahi sapu tangannya. Lalu beliau bangkit dan pergi ke mesjid untuk mendoakan perempuan itu. Perempuan miskin itu tidak lama tinggal mendekam di penjara. Imam as mengirimkan kepadanya sebuah kantong kecil yang berisi tujuh keping Dinar. Universitas Islam Dinasti Umayah, yang diikuti oleh Dinasti Abbasiyah, senantiasa berusaha menumpas Ahlulbait as dan mengusir para pengikut mereka di segala penjuru. Dalam keadaan buruk demikian itu, masyarakat menuntut ilmu dan riwayat dari Ahlulbait dengan sembunyi-sembunyi dan rasa takut. Ketika keadaan itu berlanjut sampai pada masa Imam Muhammad Al-Baqir as dan putranya, Imam Ja‘far Ash-Shadiq as, mereka berdua memusatkan perhatian pada pengembangan ilmu pengetahuan dan memperkuat asas keimanan di hati masyarakat. Pada zaman Imam Ja‘far as, begitu banyak pemikiran dan kepercayaan sesat yang menggoncang keimanan masyarakat, lalu Imam bekerja keras memeranginya. Dalam rangka itu, beliau mendirikan sebuah universitas Islam besar pertama, dan berhasil melahirkan lebih dari empat ribu sarjana di berbagai bidang ilmu agama, Matematika, Kimia, hingga Kedokteran. Tengoklah Jabir bin Hayyan, seorang Ahlul Kimia yang termasyhur itu. Ia mengawali pandangan-pandangan ilmiahnya dengan ungkapan, “Tuanku Ja‘far bin Muhammad Ash-Shadiq as telah mengatakan kepadaku ….” Imam Ja‘far as sangat memuliakan para ilmuwan yang bertakwa, memberikan semangat, dan menjelaskan metodologi penelitian dan dialog yang benar kepada mereka dalam menegakkan agama dan memperkokoh dasar-dasar keimanan. Beliau merasa sangat sedih tatkala menyaksikan para pemikir yang berusaha mengacaukan keyakinan masyarakat dengan menyebarkan berbagai pemikiran sesat. Pernah suatu hari, empat pemikir sesat berkumpul di Makkah. Mulailah mereka memperolok para jemaah haji yang sedang bertawaf di seputar Ka’bah. Selain itu, mereka berempat sepakat untuk menyanggah Al-Qur'an dengan cara mengarang kitab yang serupa. Mereka pun membagi tugas yang masing-masing pemikir mempelajari seperempat dari Al-Qur'an untuk disanggah, dan berjanji untuk bertemu lagi pada musim haji tahun depan. Genap satu tahun kemudian, empat pemikir itu kembali berkumpul di Makkah. Pemikir pertama mengatakan, “Saya telah menghabiskan waktuku selama setahun hanya untuk memikirkan ayat yang berbunyi, ‘Maka tatkala mereka putus asa [terhadap hukuman Nabi Yusuf], mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik ….’ (QS. Yusuf:80) Sungguh kefasihan ayat ini melumpuhkan pikiranku.” Pemikir kedua menyahut, “Ya, aku juga memikirkan ayat yang berbunyi, ‘Hai manusia, telah diberikan sebuah perumpamaan, maka simaklah dengan seksama, bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang kamu sebut selain Allah sama sekali tidak mampu menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya.’ (QS. Al-Hajj:73). Sungguh Aku tidak sanggup menciptakan seindah ayat ini.” Tanpa membuang waktu, pemikir ketiga pun menyambungnya, “Aku sudah memikirkan ayat ini,‘Sekiranya di langit dan di bumi ada tuhan selain Allah, tentulah keduanya hancur….’ (QS. Al-Anbiya’:22) Sungguh aku begitu lemah untuk membuat padanannya.” Akhirnya tibalah giliran pemikir keempat menyatakan pengakuannya, “Sesungguhnya Al-Qur'an ini bukanlah buatan manusia. Aku telah menghabiskan setahun penuh hanya untuk merenungkan ayat ini, ‘Dikatakan, 'Hai bumi, telanlah airmu, dan hai langit [hujan] berhentilah, dan air pun disurutkan, perintahpun terlaksana, dan bahtera itu pun berlabuh di bukit Judi [dekat Armenia daerah Mesopatomia], dan dikatakan binasalah orang-orang Zalim.’” (QS. Hud:44) Ketika itu, Imam Ja‘far as. lewat di hadapan mereka. Sejenak memandang mereka, beliau membacakan firman Allah, “Seandainya segenap manusia dan jin bersatu untuk membuat padanan Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan mampu, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.” (QS. Al-Isra’:88). Mazhab Ja‘fariyah Mazhab Ahlulbait as berkembang pada masa Imam Ja‘far as, dan pengikutnya terus bertambah pesat, sehingga masyarakat lebih mengenal mazhab Syi‘ah dengan mazhab Ja‘fariyah, yaitu nama yang diambil dari Imam Ja‘far Ash-Shadiq as. Tentu saja tidak bisa dipungkiri, bahwa mazhab Ja‘fariyah adalah Mazhab Imam Ali bin Abi Thalib as yang telah dikhianati dan dibunuh oleh kaum Khawarij, mazhab yang menyebabkan Imam Hasan as tewas diracun oleh Muawiyah, mazhab yang menyebabkan Imam Husain as mencapai syahadahnya pada Hari Asyura (di padang karbala pada 10 Muharram). Rasulullah saw telah mewasiatkan kepada kaum muslimin untuk berpegang teguh pada kitab Allah dan keluarga beliau (Ahlulbait as). Sayang sekali, kaum muslimin telah melupakan wasiat tersebut. Ada sebagian yang telah menyimpang jauh sampai merampas hak kepemimpinan mereka dan menyebarkan kerusakan dan kezaliman. Ada pula penguasa-penguasa yang mengasingkan mereka dan para pengikutnya, bahkan tak segan-segan membunuh dan merencanakan kekejian terhadap mereka, seperti yang terjadi di Karbala. Kaum muslimin mulai menyadari bahwa sikap menyia-nyiakan wasiat Rasulullah saw itu merupakan kerugian besar. Pada saat yang sama, mereka takut terhadap ancaman penguasa, bahkan ada di antara mereka yang menyembunyikan kepercayaan dan kesetiaannya kepada Ahlulbait as demi keselamatan hidupnya. Imam Ja‘far dan Manshur Dawaniqi Kaum muslimin jenuh dan geram terhadap pemerintahan Bani Umaiyah yang zalim. Dalam keadaan demikian itu, terdapat sekelompok orang yang memanfaatkan kegeraman muslimin itu serta dan keberpihakan mereka kepada Ahlulbait Rasul as demi kepentingan pribadi. Lantaran hasutan orang-orang itu, kaum muslimin mulai melakukan pembangkangan terhadap Bani Umaiyah dengan membawa-bawa nama Ahlulbait. Sementara itu Bani Abbasiyah segera giat menyalahgunakan kondisi tadi dengan mengajak kaum muslimin agar meneriakkan slogan “Kesetiaan pada Ahlulbait Muhammad.” Slogan yang digemakan itu sangat membantu menyebarkan siasat Bani Abbasiyah. Pemberontakan mulai meletus di Khurasan yang dengan cepat mendapat gelombang dukungan dari masyarakat luas, hingga mereka bisa menggulingkan pemerintahan Bani Umaiyah. Maka, terjadilah pergantian kekhalifahan. Bani Abbasiyah mulai melakukan pembagian kekuasaan dengan mitra politiknya dan mulai mengusir—bahkan—keturunan-keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as, di manapun mereka ditemukan. Mereka melakukan kejahatan itu semua dengan sangat hati-hati. Khalifah pertama Bani Abbasiyah ialah Manshur Dawaniqi. Dia menjalankan pemerintahan tangan besi dan merencanakan pembunuhan atas setiap penentangnya. Dia membunuh Muhammad dan saudaranya, Ibrahim, yang keduanya adalah dari keturunan Imam Hasan as. Manshur juga menyebarkan mata-matanya di setiap kota. Secara khusus dia memerintahkan gubernur Madinah untuk mewaspadai setiap gerak gerik Imam Ja‘far as. Pernah suatu kali Manshur mengundang Imam Ja‘far as dan berkata, “Mengapa engkau tidak mengunjungi kami sebagaimana orang-orang mendatangi kami?” “Tidak ada urusan dunia yang membuat kami kuatir terhadapmu, dan tidak ada pula urusan akhiratmu yang bisa kami harapkan darinya. Begitu pula, tidak ada kenikmatanmu yang bisa kami syukuri, dan tidak pula kesusahanmu yang bisa kami sesalkan”, jawab Imam as. Dengan liciknya, Manshur menawarkan, “Kalau begitu, jadilah temanku agar engkau bisa menasehatiku?” Imam as kembali menjawab, “Siapa saja yang menginginkan dunia, ia tidak akan menasehatimu, dan siapa saja yang menginginkan akhirat, ia pun tidak akan menjadi temanmu.” Manshur memerintahkan gubernurnya di Madinah untuk mengikis habis citra dan pengaruh besar Imam Ali bin Ali Thalib as di sana. Hingga pada suatu hari, guberbur Madinah naik mimbar dan mulai mencaci maki Imam Ali as serta keluarganya. Tiba-tiba Imam Ja‘far as bangkit dan berkata, “Adapun sanjungan yang telah kau sampaikan, maka kamilah pemiliknya, dan segala hujatan yang telah kau katakan, maka kau dan sahabatmulah (Manshur) yang lebih pantas menjadi sasarannya.” Lalu Imam as menoleh kepada khalayak sembari berkata, “Aku peringatkan kepada kalian akan orang yang paling ringan timbangan amalnya, yang paling jelas merugi di Hari Kiamat, dan yang paling celaka keadaannya. Yaitu, orang yang menjual akhirat dengan kesenangan duniawi orang lain. Orang itu adalah gubernur yang fasik ini.” Gubenur itu segera turun dari mimbar sambil menanggung segunung rasa malu dan hina. Dikisahkan, pada suatu saat di sebuah ruang pertemuan, ada seekor lalat bermain-main di hidung Manshur. Berulang kali dia mengusirnya. Lalat itu tetap saja kembali, sehingga dia merasa kesal dan berang. Ia berpaling kepada Imam Ja‘far as dan berkata, “Untuk apa Allah menciptakan lalat?” “Untuk menghinakan hidung orang sombong.” Jawab Imam as. Manshur begitu geram. Dia tak tahan lagi melihat keberadaan Imam as di bawah pemerintahannya. Untuk itu, dia merencanakan pembunuhan atas beliau. Akhirnya, dia pun berhasil meracuni beliau. Imam Ja‘far as meninggal syahid pada 25 Syawal. Tubuhnya yang suci dikebumikan di pemakaman Baqi‘,Madinah Al-Munawwarah. Mutiara Hadis Imam Ja‘far as • “Waspadalah terhadap tiga orang: pengkhianat, pelaku zalim, dan pengadu domba. Sebab, seorang yang berkhianat demi dirimu, ia akan berkhianat terhadapmu dan seorang yang berbuat zalim demi dirimu, ia akan berbuat zalim terhadapmu. Juga seorang yang mengadu domba demi dirimu, ia pun akan melakukan hal yang sama terhadapmu.” • “Tiga manusia adalah sumber kebaikan: manusia yang mengutamakan diam (tidak banyak bicara), manusia yang tidak melakukan ancaman, dan manusia yang banyak berzikir kepada Allah.” • “Sesungguhnya puncak keteguhan adalah tawadhu’.” Salah seorang bertanya kepada Imam, “Apakah tanda-tanda tawadhu’ itu?” Beliau menjawab, “Hendaknya kau senang pada majlis yang tidak memuliakanmu, memberi salam kepada orang yang kau jumpai, dan meninggalkan perdebatan sekalipun engkau di atas kebenaran.” • Seorang laki-laki seringkali mendatangi Imam Ja‘far as, kemudian dia tidak pernah lagi datang. Tatkala Imam as menanyakan keadaannya, seseorang menjawab dengan nada sinis, “Dia seorang penggali sumur.” Imam as membalasnya, “Hakekat seorang lelaki ada pada akal budinya, kehormatannya ada pada agamanya, kemuliannya ada pada ketakwaannya, dan semua manusia sama-sama sebagai Bani Adam.” • “Hati-hatilah terhadap orang yang teraniaya, karena doanya akan terangkat sampai ke langit.” • “Ulama adalah kepercayaan para rasul. Dan bila kau temukan mereka telah percaya pada penguasa, maka curigailah ketakwaan mereka.” • “Tiga perkara dapat mengeruhkan kehidupan: penguasa zalim, tetangga yang buruk, dan perempuan pencarut. Dan tiga perkara yang tidak akan damai dunia ini tanpanya, yaitu keamanan, keadilan, dan kemakmuran.” Riwayat Singkat Imam Ja‘far as Nama : Ja‘far. Gelar : Ash-Shadiq. Panggilan : Abu Abdillah. Ayah : Muhammad bin Ali Al-Baqir as. Ibu : Ummu Farwah. Kelahiran : Madinah, 17 Rabiul Awal 80 H. Kesyahidan : 25 Dzulhijjah 148 H. Makam : Pemakaman Baqi, Madinah.

[+/-] Selengkapnya...

26 November 2009

RIWAYAT SINGKAT IMAM MUHAMMAD AL-BAQIR as

RIWAYAT HIDUP SINGKAT PENYINGKAP KHAZANAH ILMU IMAM MUHAMMAD AL-BAQIR AS Hari Lahir Imam Muhammad Al-Baqir as dilahirkan pada awal bulan Rajab tahun 57 Hijriah di Madinah Al-Munawwarah. Beliau adalah Imam kelima Ahlulbait as. Ayahnya adalah Imam Ali Zainal Abidin as, dan ibunya adalah seorang wanita dari keturunan Imam Hasan as yang bernama Fatimah. Dengan demikian, Imam Muhammad Baqir as adalah imam pertama yang memiliki nasab keturunan Rasulullah saw dari pihak ayah dan ibu, sekaligus. Imam Al-Baqir as mengalami hidup bersama kakeknya, Imam Husain as pada saat tragedi Karbala, yang ketika itu beliau masih berusia empat tahun. Beliau hidup bersama ayahnya selama 18 tahun dan masa itu adalah masa keimamahan (kepemimpinan)-nya. Beliau mengkhidmatkan masa-masa hidupnya demi menyebarkan ilmu pengetahuan Islam. Orang-orang memberi beliau gelar Al-Baqir (Sang Jenius), karena beliau telah membongkar ilmu pengetahuan dari khazanah-khazanahnya. Imam as juga memiliki gelar-gelar lain yang menunjukkan sifat dan akhlak agung beliau, seperti Asy-Syakir (yang banyak bersyukur) dan Al-Hadi (pemberi petunjuk). Sewaktu masih berusia belia, Imam Muhammad Al-Baqir as bertemu dengan sebagian besar sahabat utama Nabi, seperti Jabir bin Abdillah Al-Anshari. Kepada beliau Jabir mengatakan, “Rasulullah mengirimkan salam untukmu.” Salam ini membuat orang-orang yang hadir saat itu menjadi heran. Jabir melanjutkan, “Suatu hari aku sedang duduk bersama Rasulullah, sedangkan Husain as berada di haribaannya. Beliau berkata padaku, ‘Hai Jabir, putraku ini kelak mempunyai seorang anak yang bernama Ali. Dan pada Hari Kiamat, seseorang akan memanggilnya ‘Sayyidul Abidin’. Kemudian melalui Ali, seorang anak yang bernama Muhammad Al-Baqir—yang memiliki keluasan ilmu—akan lahir. Bila engkau berjumpa dengannya, sampaikan salamku kepadanya.’” Imam Al-Baqir as memiliki dua kebun yang dikelola oleh beliau sendiri. Beliau melibatkan para petani untuk menuai hasil kebunnya, serta menginfakkan kepada para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Pada zaman itu, beliau dikenal sebagai orang yang paling dermawan. Dinukil dalam kitab-kitab sejarah, bahwa seorang sufi bernama Muhammad bin Al-Munkadir berkata, “Aku belum pernah melihat seseorang seperti Ali bin Husain as yang meninggalkan keturunan yang begitu utama, sampai aku melihat putranya Muhammad as. Aku hendak menasihatinya, ia malah lebih dulu menasihatiku. Pada suatu hari, saat matahari terik menyinari bumi, aku keluar menuju sebuah daerah di luar kota Madinah. Aku bertemu dengan Muhammad bin Ali as yang sedang bersandar pada dua orang budaknya. Aku berkata pada diriku sendiri, ‘Orang tua Quraisy di saat seperti ini masih sibuk mencari dunia? Demi Allah, aku akan menasihatinya.’ “Aku mendekatinya dan mengucapkan salam kepadanya. Ia pun menjawab salamku. Aku melihat dia penuh dengan peluh yang membasahi tubuhnya. Aku berkata padanya, ‘Semoga Allah memberikan hidayah-Nya padamu, wahai orang tua Quraisy. Di saat seperti ini kau masih sibuk mencari dunia? Bagaimana kalau sekiranya maut datang menjemputmu sedang kau dalam keadaan seperti ini?’ “Ia melepaskan kedua tangannya dari sandaran kedua budaknya dan berkata, ‘Demi Allah, jika sekiranya maut datang kepadaku dalam keadaan seperti ini, sungguh ia datang kepadaku sedang aku dalam ketaatan kepada Allah, yang dengannya jiwaku bisa terhindar darimu dan manusia lainnya. Sesungguhnya yang aku takutkan adalah bila kematian itu datang sedang aku dalam keadaan bermaksiat kepada Allah.’ “Mendengar jawabannya, aku membalas kagum, ‘Semoga Allah mengasihimu. Aku sebenarnya ingin menasihatimu, malah kaulah yang menasihatiku.’” Dalam kisah ini, Imam Muhammad Al-Baqir as menunjukkan sikap tegas beliau sehingga orang dapat memahami, bahwa mencari rezeki itu adalah ibadah dan ketaatan kepada Allah SWT, bukan malah meninggalkan pekerjaan dan menghabiskan waktunya untuk salat sementara hidupnya menjadi tanggungan orang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kaum sufi, seperti Ibn Al-Munkadir dan yang lainnya. Keilmuan Imam Seorang warga Syam, yang sebelumnya enggan hadir di majlis Imam Muhammad Al-Baqir as, berkata kepada beliau, “Tidak ada seorangpun di muka bumi ini yang lebih aku benci dari padamu. Kebencian padamu sungguh ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Meski begitu, aku melihatmu begitu sopan, beradab serta bertutur-kata yang santun. Maka ketahuilah, kehadiranku di majlismu ini karena kebaikan budi dan bahasamu.” Dalam setiap kesempatan, Imam Al-Baqir as selalu mengatakan yang baik. Kepada orang Syam itu Imam as mengatakan, “Tiada sesuatu pun yang tersembunyi di sisi Allah SWT.” Selang beberapa hari, orang tersebut tidak pernah kelihatan lagi. Imam as merasa kehilangan. Beliau bertanya kepada orang-orang yang mengenalnya. Kata mereka, orang itu sedang sakit. Imam as bergegas menjenguknya. Beliau duduk di sisinya sambil bercakap-cakap dan bertanya tentang penyebab sakitnya. Lalu, Imam menganjurkan agar memakan makanan yang dingin dan segar. Setelah itu, Imam as pun meninggalkan orang tersebut. Beberapa hari kemudian, orang itu pulih dari sakitnya. Pertama kali yang dia lakukan ialah pergi ke majelis Imam as. Di sana, dia memohon maaf kepada Imam, dan akhirnya menjadi salah satu sahabat beliau. Dikisahkan, seseorang bertanya kepada Abdullah bin Umar tentang sebuah masalah. Abdullah kebingungan menjawabnya. Ia berkata kepada si penanya, “Pergilah kepada anak itu, dan tanyalah padanya, kemudian beritahukan jawabannya kepadaku.” Anak yang dimaksudkannya itu ialah Imam Muhammad Al-Baqir as. Maka orang tersebut datang kepada Imam as. dan bertanya padanya. Selekas itu, ia kembali kepada Abdullah dengan membawa jawaban yang didapatkannya dari beliau. Abdullah berkata, “Sesungguhnya mereka adalah Ahlul Bait Nabi yang telah diberikan pemahaman tentang segala sesuatu.” Dialog dengan Pendeta Imam Ja’far Ash-Shadiq as menceritakan, bahwa suatu ketika beliau berada di Syam bersama ayahnya (Imam Muhammad Al-Baqir as). Keberadaan mereka di Syam karena Khalifah Hisyam bin Abdul Malik meminta mereka untuk datang ke sana. Pada suatu hari, Imam Al-Baqir as melihat kerumunan orang-orang di sebuah tempat. Semua sedang menantikan seseorang. Beliau menanyakan perihal mereka itu. Dijawab, “Mereka itu sedang menunggu salah seorang pendeta, karena ia hanya muncul setahun sekali. Mereka bertanya dan meminta fatwa darinya.” Imam as ikut menunggu bersama mereka sampai pendeta tersebut datang. Tatkala pendeta itu melihat Imam, ia menyapa beliau, “Apakah Anda dari golongan kami atau dari umat yang perlu dikasihani ini?” Imam as menjawab, “Aku dari umat ini.” Pendeta bertanya lagi, “Dari orang awam umat ini atau dari ulamanya?” Imam menjawab, “Aku bukan dari orang awamnya.” Pendeta berkata lebih serius, “Aku punya beberapa pertanyaan untuk Anda; dari mana Anda percaya bahwa penghuni surga makan dan minum tapi mereka tidak buang air?” Imam as menjawab, “Bukti kami adalah janin yang ada dalam rahim ibunya. Ia makan tapi tidak buang kotoran.” Pendeta itu bertanya lagi, “Beritahukan kepadaku tentang setenggat waktu yang tidak terhitung malam juga tidak terhitung siang.” Imam as menjawab, “Waktu di antara terbitnya fajar dan terbitnya matahari.” Mendengar jawaban-jawaban Imam as, sang pendeta terkejut. Ia ingin sekali membungkam Imam dengan pertanyaan lain. Ia berkata, “Kabarkan kepadaku tentang dua bayi yang keduanya dilahirkan pada hari yang sama dan meninggal pada hari yang sama juga. Umur bayi yang pertama 50 tahun dan yang kedua 150 tahun.” Imam as menjawab, “Uzair dan saudaranya, saat itu usia Uzair 25 tahun. Tatkala melewati suatu desa di Antakia yang ditinggal mati oleh penduduknya, ia merenung, ‘Bagaimana Allah akan menghidupkan penduduk ini setelah kematian mereka?’ “Kemudian Allah SWT mematikan Uzair selama 100 tahun, lalu membangkitkannya lagi dan ia kembali ke rumahnya dalam keadaan muda, sementara saudaranya sudah tua-renta. Uzair hidup bersama saudaranya selama 25 tahun, dan kedua bersaudara itu pun meninggal pada hari yang sama.” Melihat keluasan dan ketinggian ilmu Imam Al-Baqir as ini, pendeta itu lagi-lagi takjub. Tak ayal lagi, ia pun menyatakan keislamannya di depan khalayak, dan diikuti oleh sahabat-sahabatnya. Di Majelis Hisyam Khalifah Hisyam bin Abdul Malik mengundang Imam Muhammad Al-Baqir as dan putranya, Imam Ja’far Ash-Shadiq. Karena itu, keduanya meninggalkan Madinah, bergerak menuju Syam. Tujuan undangan Hisyam sebenarnya hendak menunjukkan kebesaran kerajaannya. Setibanya di Syam, Imam Al-Baqir as memasuki istana, yang ketika itu Hisyam duduk di atas singgasana dengan dikelilingi oleh pengawal bersenjata dan di depannya ada golongan elite yang siap berlomba memanah. Hisyam berkata, “Ya Muhammad! Coba kau bertanding melawan orang-orang ini dan bidikkan panah ke sasaran!” Imam as berkata, “Sesungguhnya aku sudah lama meninggalkan permainan memanah. Maafkan aku.” Hisyam menolak alasan Imam, dan memaksanya untuk melakukannya. Ia pun menyuruh seorang tokoh dari Bani Umayyah untuk mengambilkan panah dan busurnya. Akhirnya, Imam as menerimanya dan meletakkan anak panah itu pada busurnya, kemudian ia lesatkan ke sasaran dan tepat mengenai titik pusatnya. Untuk kedua kalinya, beliau membidikkan anak panah, hingga yang kesembilan kali. Semua anak panah itu menancap tepat pada sasaran. Hisyam pun tercengang melihat kepandaian Imam as dan memujinya sambil berkata, “Alangkah pandainya kau wahai Abu Ja’far. Kau adalah orang yang paling pandai memanah dari kalangan Arab dan Ajam. Beginikah kau katakan, ‘Aku sudah lama meninggalkan permainan memanah?” Kemudian, Hisyam menuntun Imam Al-Baqir as dan mendudukkannya di sampingnya. Ia berkata, “Wahai Muhammad! Bangsa Arab dan Ajam akan senantiasa mengikuti orang-orang Quraisy selagi di tengah-tengah mereka ada orang sepertimu. Demi Allah, siapa yang mengajarimu memanah? Dan pada usia berapakah kau mempelajarinya?” Imam as menjawab, “Aku belajar di masa aku masih kecil, kemudian aku tinggalkan.” Hisyam berkata, “Aku tidak pernah menyangka bahwa di atas bumi ini masih ada orang yang memanah seperti ini. Apakah Ja’far (putra Imam as) juga dapat memanah seperti ini? Apakah dia juga dapat memanah sebagaimana engkau memanah?” Imam as menjawab, “Kami Ahlulbait Nabi mewarisi kesempurnaan dan kelengkapan yang keduanya telah Allah SWT turunkan kepada Nabinya saw dalam firmannya, ‘Pada hari ini telah aku sempurnakan bagimu agamamu dan telah aku lengkapkan nikmatku untukmu serta aku rela Islam sebagai agamamu.’” Mendengar jawaban itu, muka Hisyam memerah lantaran marah dan berkata, “Dari mana kau mewarisi ilmu ini, padahal tidak ada nabi setelah Muhammad dan kau sendiri juga bukanlah seorang nabi?” Imam as menjawab, “Kami mewarisinya dari datuk kami Ali bin Abi Thalib as. Beliau pernah berkata, ‘Rasulullah saw telah mengajariku seribu pintu ilmu ... Dari setiap pintunya terbuka seribu ilmu lagi ....” Hisyam pun diam tertunduk sambil berpikir. Lalu ia memerintahkan pengawalnya untuk mengembalikan Imam Muhammad Al-Baqir as dan putranya, Imam Ja’far Ash-Shadiq as ke Madinah secepat mungkin, karena ia takut kehadiran dua Imam ini di Syam akan mengundang simpati warga kota kepada mereka. Mata Uang Islam Perebutan batas-batas wilayah yang sangat keras sekali telah terjadi antara negara Islam dan Romawi. Imperium Romawi mengancam Abdul Malik bin Marwan akan memutus mata uang negara Islam bila tidak menyerahkan wilayah-wilayah yang dipersengketakan. Abdul Malik merasa ketakutan dan ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia kumpulkan pemuka-pemuka dan tokoh-tokoh umat Islam untuk dimintai pendapatnya, tapi mereka tidak bisa memberikan keputusan apa-apa. Akhirnya, sebagian mereka mengusulkan agar merujuk kepada Imam Muhammad Al-Baqir as. Lalu, Abdul Malik mengutus utusan untuk memanggil Imam as ke Syam. Beliau pun memenuhi panggilan tersebut. Setelah mengetahui duduk persoalan, beliau mengatakan kepada Abdul Malik, “Tidak ada yang perlu ditakutkan. Cepat kirim utusan ke Kaisar Romawi dan mintalah jangka waktu darinya. Di sela-sela itu, kirimlah surat ke gubernur-gubernur daerah, dan perintahkan mereka untuk mengumpulkan emas dan perak, sehingga bila telah sampai jumlah yang cukup, segeralah engkau mencetak mata uang Islam!” Kemudian, Imam as menentukan timbangan dan bentuknya. Beliau memerintahkan Abdul Malik untuk menuliskan di atas salah satu sisi uang tersebut kalimat “Muhammad Rasulullah.” Bila pekerjaan ini telah selesai, tidak akan terjadi transaksi dengan mata uang Romawi. Ketika itulah Imperium Romawi tidak akan punya kekuatan lagi di hadapan pemerintahan Islam. Setelah pekerjaan itu selesai dan mata uang Islam sudah tersebar, Abdul Malik mengeluarkan keputusannya yang terakhir mengenai persengketaan batas-batas wilayah. Dan ternyata, Imperium Romawi tidak mendapatkan cara apapun untuk melancarkan tekanan terhadap ekonomi negara Islam. Maka, dipilihlah jalan militer. Akan tetapi, mereka pun gagal, setelah laskar-laskar muslimin menyerang pasukan mereka. Demikianlah Imam kita, Imam Muhammad Al-Baqir as. Dengan pikiran dan arahannya yang cemerlang, beliau telah menyelamatkan pemerintahan Islam dari ancaman musuh-musuh, sehingga kaum muslimin memiliki mata uang sendiri yang menjadi lambang kebesaran Islam. Sahabat-Sahabat Imam Tatkala orang-orang Bani Umayyah sibuk meredam kekacauan dan kerusuhan massa di sana-sini, Imam Muhammad Al-Baqir as mendapatkan kesempatan yang baik untuk menyebarkan ilmu pengetahuan, membina kader-kader, dan mengokohkan ajaran-ajaran Ahlulbait as. Pada zaman Imam as, telah muncul sebagian murid-murid utama beliau yang memiliki peranan besar dalam penyebaran ajaran-ajaran tersebut. Di antara mereka yang paling menonjol ialah: 1. Aban bin Taghlib Ia pernah hidup sezaman dengan tiga imam Ahlulbait. Ia juga pernah menghadiri majelis Imam Ali Zainal Abidin as, Imam Muhammad Al-Baqir as, dan Imam Ja’far Ash-Shadiq as. Namun begitu, ia lebih banyak belajar pada Imam Al-Baqir as. Aban menonjol di bidang ilmu Fiqh, Hadis, Sastra Arab, Tafsir, dan Nahwu. Imam Al-Baqir as pernah berkata kepadanya, “Duduklah di masjid Madinah dan ajarilah masyarakat, karena sesungguhnya aku lebih suka melihat orang sepertimu di antara pengikutku.” 2. Zurarah bin A’yun Tentang Zurarah, Imam Ja’far as mengatakan, “Sekiranya tidak ada Zurarah, niscaya hadis-hadis ayahku akan hilang.” Dalam kesempatan yang lain, Imam as menyatakan, “Semoga Allah mengasihi dan merahmati Zurarah bin A’yun. Seandainya tidak ada Zurarah dan orang-orang sepertinya, tidak akan ada yang tersisa lagi hadis-hadis ayahku.” 3. Muhammad bin Muslim Ats-Tsaqafi Imam Ja’far Ash-Shadiq as sangat menghormati dan mencintai Muhammad. Dia adalah salah seorang sahabat utama dari empat orang sahabat Imam Ja’far as. Beliau berkata, “Empat orang manusia yang sangat aku cintai, baik mereka masih hidup maupun sesudah meninggal dunia.” Imam Ja’far as memerintahkan sebagian sahabat-sahabatnya untuk merujuk kepada Muhammad dengan perkataannya, “Ia telah mendengarkan hadis-hadis ayahku, dan dia orang terpandang di sisi ayahku.” Muhammad bin Muslim sendiri pernah menyatakan, “Aku bertanya kepada Imam Muhammad Al-Baqir as tentang tiga puluh ribu hadis.” Imam Ja’far as seringkali memuji sahabat-sahabat ayahnya. Beliau mengatakan, “Sekiranya sahabat-sahabatku mendengarkan dan taat kepadaku, niscaya akan aku titipkan kepada mereka apa yang ayahku titipkan pada sahabat-sahabatnya. Sesungguhnya semua sahabat ayahku menjadi penghias bagi kami, di masa hidupnya maupun matinya.” Di antara sahabat Imam Muhammad Al-Baqir as yang lain adalah Al-Kumait Al-Asady, seorang pujangga ternama. Setiap kali berjumpa dengannya, Imam Al-Baqir as memanjatkan doa, “Ya Allah! Curahkanlah ampunan-Mu kepada Al-Kumait!” Hari Kesyahidan Meskipun usaha Imam Muhammad Al-Baqir as hanya tercurahkan di bidang-bidang ilmu pengetahuan dan penyebaran agama, akan tetapi para penguasa Bani Umayyah tidak bisa tenang melihat keberadaannya, khususnya setelah orang-orang mengetahui keutamaan, keluhuran, dan keluasan ilmu beliau. Kepribadian, akhlak, dan rasa kemanusiannnya menyinari mereka. Sebagaimana dari silsilah nasab beliau yang bersambung langsung ke Rasulullah saw, semua itu mengangkat kedudukannya di hati umat Islam menjadi begitu tinggi nan agung. Begitu pula bagi Hisyam bin Abdul Malik. Dia senantiasa berpikir untuk membunuh Imam Al-Baqir as. Akhirnya, dia gunakan racun untuk membunuh beliau. Di tangannyalah Imam as syahid pada 7 Dzulhijjah 114 H. Imam Muhammad Al-Baqir as telah menjalani masa hidupnya selama 57 tahun untuk mengabdi sepenuhnya kepada Islam dan kaum muslimin serta menyebarkan ilmu pengetahuan dan ajaran Ahlulbait as. Mutiara Hadis Imam Al-Baqir as • “Kesombongan tidak akan masuk ke dalam hati seseorang kecuali akalnya kurang.” • “Seorang alim yang mengamalkan ilmunya adalah lebih utama dari seribu orang ‘abid (yang tekun ibadah). Demi Allah, kematian seorang alim lebih disukai oleh iblis daripada kematian tujuh puluh orang ‘abid.” • Kepada salah seorang anaknya, beliau mengatakan, “Wahai anakku, jauhilah kemalasan dan kebosanan, karena keduanya adalah kunci segala keburukan. Sesungguhnya bila kamu malas, niscaya engkau tidak akan pernah menunaikan tanggung jawabmu, dan bila kamu bosan niscaya engkau tidak akan bersabar dalam melaksanakan tugasmu.” • “Cukuplah besarnya aib seseorang tatkala ia memandang aib orang lain sementara aibnya sendiri tidak pernah ia lihat. Dan cukuplah besarnya aib seseorang tatkala ia memerintahkan orang lain akan suatu yang ia sendiri tidak mampu mengembannya.” • Dalam nasihat untuk salah seorang sahabatnya, Imam as mengatakan, “Aku wasiatkan kepadamu lima perkara: bila engkau dianiaya, maka janganlah kau membalasnya, bila engkau dikhianati, maka janganlah kau balas dengan khianat pula, bila kau didustai, maka janganlah kau balas dengan dusta pula, bila engkau dipuji, maka janganlah kau merasa puas, dan bila kau dicela, maka janganlah kau bersedih.” Riwayat Singkat Imam Al-Baqir as Nama : Muhammad. Gelar : Al-Baqir. Panggilan : Abu Ja’far. Ayah : Ali Zainal Abidin. Ibu : Fatimah. Kelahiran : Madinah, 1 Rajab 57 H. Kesyahidan : 7 Dzulhijjah 114 H. Makam : Pemakaman Baqi‘, Madinah.

[+/-] Selengkapnya...

 
Mari Mencintai Rasul - © 2007 Template feito por Templates para Você