Raja merasa tidak puas mendengar jawaban wazir. Ia kemudian berkata lagi:
"Tidak dapat tidak, kita harus mendatangkan ulama dari kedua golongan itu agar kita dapat mengetahui kebenaran dan memisahkannya dari kebatilan".
Untuk keperluan tersebut, wazir meminta penangguhan waktu sampai sebulan untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Namun, raja tidak memperkenankannya. Ia meminta waktu lima belas hari.
Selama lima belas hari itu, wazir berhasil mengundang sepuluh orang ulama besar dari Ahlus Sunnah yang akan menjadi rujukan dalam masalah sejarah, fiqih, hadits, usul dan jadal (perdebatan). Iapun mendatangkan sepuluh orang ulama besar Syi'ah dengan kriteria yang sama.
Peristiwa ini terjadi pada bulan Sya'ban di Madrasah al-Nidzamiyah Bagdad. Agar kongres berjalan lancar, wazir menetapkan syarat-syarat sebagai berikut :
Pertama, agar kongres berlangsung dari pagi sampai sore kecuali waktu shalat, makan dan istirahat.
Kedua, agar dialog merujuk kepada sumber-sumber yang kuat dan kitab-kitab yang mu'tabar (terpercaya), bukan dari berita-berita yang didengar.
Ketiga, agar semua pembicaraan-pembicaraan yang terjadi dalam kongres tersebut dicatat.
Pada hari yang telah ditentukan, duduklah raja, wazirnya dan para komandan pasukannya. Para ulama Sunnah duduk disebelah kanan raja, sedangkan para ulama Syi'ah berada disebelah kiri sang raja.
Wazir kemudian membuka Kongres.
"Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang, Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga dan para sahabatnya yang taat. Perdebatan suci dalam rangka mencari kebenaran haruslah menjadi motivasi anda semua, dan hendaklah tidak seorangpun diantara kita menyebut sahabat Rasulullah Saw dengan kecaman dan keburukan".
Seorang ulama besar Sunnah yang bergelar Syaikh al-Abbasi berkata "Kami tidak sanggup berdebat dengan suatu mazhab yang mengkafirkan semua sahabat".
"Siapakah mereka yang mengkafirkan semua sahabat?" tanya ulama Syi'ah yang bergelar al-Alawi, sedangkan nama aslinya adalah al-Husain bin Ali.
"Kalian kaum Syi'ah telah mengkafirkan semua sahabat" jawab al-Abbasi.
"Ucapan anda bertentangan dengan kenyataan. Bukankah Ali, Abbas, Salman, Ibnu Abbas, Miqdad, Abu Dzar dan lain-lainnya termasuk sahabat?, dan Apakah kami kaum Syi'ah mengkafirkan mereka?" tanya al-Alawi.
"Yang kami maksudkan dengan semua sahabat adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan para pengikut mereka" jawab al-Abbasi.
"Anda telah membinasakan diri anda sendiri. Bukankah ahli logika menetapkan bahwa sebagian adalah lawan dari semua?. Pertama kali anda mengatakan bahwa kaum Syi'ah mengkafirkan semua sahabat, lalu kedua kalinya anda mengatakan bahwa kaum Syi'ah mengkafirkan sebagian sahabat" kata al-Alawi. Dalam kesempatan itu, wazir akan berbicara tapi al-Alawi tidak memberinya kesempatan.
"Hai wazir, tidak seorangpun berhak berbicara dalam dialog ini kecuali jika kami sudah tidak mampu lagi menjawab. Jika anda berbuat demikian, niscaya pembahasan ini akan kacau dan pembicaraanpun akan keluar dari alurnya tanpa menghasilkan kesimpulan" kata al-Alawi.
Kemudian al-Alawi berkata lagi, "Hai Abbasi, hendaknya anda menjelaskan ucapan anda yang mengatakan bahwa kaum Syi'ah mengkafirkan semua sahabat. Ketahuilah, bahwa itu suatu kebohongan yang nyata"
Al-Abbasi tidak mampu menjawab. Wajahnya tampak memerah karena malu. Kemudian ia berkata, "Tinggalkanlah kami dalam masalah ini. Namun, apakah kalian kaum Syi'ah mengecam Abu Bakar, Umar dan Utsman?"
"Sesungguhnya diantara kaum Syi'ah ada yang mengecam mereka dan ada pula yang tidak" jawab al-Alawi.
”Anda termasuk kelompok yang mana diantara mereka?" tanya al-Abbasi.
"Kami termasuk orang-orang yang tidak mengecam. Namun, menurut pendapat kami bahwa orang-orang yang mengecam itu mempunyai alasan yang rasional, dan kecamannya terhadap mereka bertiga itu tidak menyebabkan sesuatu apapun, tidak menjadikan kafir, tidak fasik dan tidak termasuk dosa kecil" jawab al-Alawi.
"Hai raja, bukankah anda mendengar apa yang dikatakan oleh laki-laki ini?” Tanya al-Abbasi.
"Hai Abbasi, pertanyaan yang anda tujukan kepada raja tidak dapat dibenarkan. Ia menghadirkan kita untuk berdialog sekitar hujjah dan dalil, bukan untuk bertahkim kepada senjata dan kekuatan" kata al-Alawi.
"Benar, apa yang dikatakan al-Alawi. Apa jawaban anda hai Abbasi?" tanya raja menimpali.
"Jelas, bahwa siapa yang mengecam sahabat adalah kafir," ujar al-Abbasi.
"Jelas bagi anda, tetapi tidak bagi kami. Apa dalil yang menyatakan kekafiran terhadap orang yang mengecam sahabat? Tidakkah anda mengakui bahwa siapa saja yang dikecam oleh Rasulullah Saw, berarti ia layak untuk dikecam?" tanya al-Alawi.
"Kami mengakuinya" jawab al-Abbasi singkat.
"Padahal Rasulullah Saw telah mengecam Abu Bakar dan Umar" ujar al-Alawi.
"Kapan Rasulullah Saw mengecam mereka? Itu adalah suatu kebohongan atas diri Rasulullah Saw!" kata al-Abbasi.
Para ahli sejarah dari kalangan Ahlus Sunnah menyebutkan bahwa ketika Rasulullah Saw menyiapkan pasukan dengan komandan Usamah, dan dalam pasukan itu terdapat Abu Bakar dan Umar. Pada saat itu, beliau bersabda "Allah mengutuk siapa saja yang membelot dari pasukan Usamah". Dan ternyata Abu Bakar dan Umar membelot darinya. Karena itulah, kecaman Rasulullah Saw meliputi mereka. "Dan siapa saja yang dikecam oleh Rasulullah Saw, maka layaklah atas seorang Muslim untuk mengecamnya pula" jawab al-Alawi.
Al-Abbasi menundukkan kepalanya, dan tidak berkata sepatah katapun. Raja menghadapkan wajahnya kepada wazir seraya bertanya:
"Benarkah apa yang dikatakan al-Alawi?"
“Para ahli sejarah memang mengisahkan demikian" jawab wazir. 1)
"Apabila hukum mengecam sahabat itu haram dan kafir, mengapa kalian tidak mengkafirkan Mu'awiyah bin Abu Sufyan, dan tidak pula menghukum kefasikan dan kejahatannya padahal ia telah mengecam Ali bin Abi Thalib di mimbar-mimbar Jum'at selama tujuh puluh tahun" tanya al-Alawi.
"Hentikanlah pembicaraan masalah ini, dan berbicaralah sekitar masalah yang lain" kata raja.
"Bahkan sebagian dari bid'ah-bid'ah kalian kaum Sunnah adalah bahwa kalian tidak mengakui kemurnian al-Qur'an. Bukti atas hal ini adalah ucapan kalian yang mengatakan bahwa al-Qur'an dihimpun oleh Utsman. Apakah Rasulullah Saw tidak bisa melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Utsman sehingga beliau tidak menghimpunnya? Bagaimana al-Qur'an belum terhimpun pada Zaman Nabi Saw, sedangkan beliau memerintahkan kaum kerabat dan sahabatnya untuk menghatamkan al-Qur'an. Sebagaimana sabdanya "Barangsiapa yang menghatamkan al-Qur'an maka baginya pahala yang besar". Mungkinkah beliau memerintahkan penghataman al-Qur'an, padahal al-Qur'an belum terhimpun? Dan Apakah kaum Muslim saat itu dalam kesesatan sehingga Utsman menyelamatkan mereka?" tanya al-Alawi.
______________
1) Dalam kitab Thabaqat 2/41, susunan Ibnu Sa'ad; tarikh Ibnu Asakir 2/491; Kanzul Umal 5/312 dan al- Kamil 2/129 karangan Ibnu Atsir.
( B E R S A M B U N G )