Apakah Nabi saw hanya manusia biasa tidak ubahnya seperti kita-kita?
Demikian, mungkin keyakinan sebagian pihak. Biasanya mereka mengajukan ayat: “Katakanlah, sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kamu. Hanya saja kepadaku disampaikan wahyu.” (QS. 18:110). Berdasarkan ayat ini dan ditunjang ayat-ayat senada, semisal “Katakan: ‘Mahasuci Tuhanku. Bukankah aku hanya seorang manusia yang diutus?”
Kelompok ini percaya bahwa Nabi Muhammad saw adalah manusia biasa seperti manusia lainnya, dapat membuat kesalahan, kekeliruan, bahkan mungkin, na’udzubillah, pelanggaran. Oleh karena itu kelompok ini menuding para pencinta Nabi saw telah berlaku berlebih-lebihan dan mengkultus individukan yang tidak perlu.
Benarkah demikian? Untuk itu kita harus melihatnya dari berbagai sisi.
Pertama, sejauh mana al-Quran mendudukkan posisi Nabi Muhammad saw, apakah hanya sebagai manusia biasa seperti manusia-manusia lainnya, atau sebagai manusia yang istimewa, yang tidak dapat disamakan dengan manusia umum, bahkan dengan malaikat sekalipun? Jika kita telusuri dengan seksama ayat-ayat yang mengabarkan tentang Nabi saw atau malah riwayat-riwayat yang berkenaan dengan Nabi saw, maka dengan yakin kita akan menganut pandangan kedua dan menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad saw memang bukan manusia biasa. Ia adalah manusia utama, yang telah melewati tingkat umum manusia dan mencapai derajat keutamaan yang tiada taranya. Katakanlah insân kamîl. Tapi mengapa masih ada yang memandang Nabi saw sebagai manusia biasa? Kita akan melihatnya. Kedua, apa yang dimaksud bahwa Nabi Muhammad saw adalah manusia, basyar, seperti manusia lainnya? Apakah maksudnya bahwa kedudukannya di hadapan Allah swt sama dengan manusia lainnya? Saya kira kelompok penolak kecintaan kepada Nabi tidak membenarkan anggapan seperti ini. Mereka juga yakin bahwa Nabi Muhammad adalah seorang rasul dan memiliki kedudukan yang sangat khusus di sisi Allah. Tapi mengapa mereka menganggap bahwa Nabi tidak ubahnya seperti manusia lain yang dapat lupa, salah, atau keliru? Kita coba mengkajinya. Ketiga, bagaimana kita harus menyikapi Nabi Muhammad saw? Di satu sisi, ia adalah Nabi dengan kemuliaan yang tiada tara, tapi di sisi lain al-Quran menegaskan bahwa ia juga adalah manusia seperti kita. Kita akan sampai ke pembahasan ini setelah kita melewati pembahasan pertama dan kedua. eperti yang telah kita singgung di atas, kedudukan Nabi Muhammad saw dalam al-Quran sungguh luar biasa. Terdapat puluhan ayat di dalam al-Quran yang memuliakan Nabi Muhammad saw, apakah dalam bentuk pujian langsung, seperti ayat yang menyatakan bahwa Nabi memiliki akhlak yang sangat luhur. Atau dalam bentuk penyebutan sifat-sifat terpuji yang dimiliki Nabi. Berikut beberapa contoh keagungan Rasulullah sebagaimana dalam al-Quran. Pertama, keimanan semua rasul kepada Nabi. Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw berkata: “Setiap kali Allah mengutus seorang nabi, mulai dari Nabi Adam sampai seterusnya, maka kepada nabi-nabi itu Allah menuntut janji setia mereka bahwa jika nanti Nabi Muhammad saw diutus, mereka akan beriman padanya, membelanya dan mengambil janji setia dari kaumnya untuk melakukan hal yang sama.” Untuk hal ini, Allah Swt. berfirman dalam QS. 3:81: Dan ketika Allah mengambil janji dari para nabi: “Aku telah berikan kepada kalian al-kitab dan al-hikmah, maka ketika Rasul itu (Muhammad saw) datang kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada pada kalian, kalian benar-benar harus beriman kepadanya dan membelanya.” Dia (Allah) berkata: “Apakah kalian menerima dan berjanji akan memenuhi perintah-Ku ini?” Mereka berkata: “Ya, kami berjanji untuk melakukan itu.” Dia berkata: “Kalau begitu persaksikanlah dan Aku menjadi saksi bersama kalian.” Kedua, kabar gembira tentang kedatangan Muhammad saw. Al-Quran menjelaskan bahwa para penganut Ahlul Kitab tahu betul tentang kedatangan Nabi Muhammad saw, sebagaimana mereka tahu betul siapa anak mereka. Bahkan mereka saling memberi kabar gembira tentang kedatangannya itu (QS. 2:89, 146). Dan itu pula yang dipintakan Nabi Ibrahim as dalam doanya: “Tuhan kami, utuslah pada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri (Muhammad) yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, mengajarkan mereka al-kitab dan al-hikmah, dan menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. 2:129). Ketiga, penciptaan Nabi Muhammad saw sebelum Nabi Adam as. Tetapi penciptaan itu masih dalam wujud “nûr” atau cahaya. Ketika Allah menciptakan Adam, Ia menitipkan nur itu pada sulbi Adam yang kemudian berpindah-pindah dari satu sulbi ke sulbi yang lain hingga sulbi ‘Abdullah, ayah Nabi saw. Ibnu Abbas meriwayatkan: Rasulullah saw bersabda: Allah telah menciptakanku dalam wujud nur yang bersemayam di bawah ‘arasy dua belas ribu tahun sebelum menciptakan Adam as. Maka ketika Allah menciptakan Adam, Ia meletakkan nur itu pada sulbi Adam. Nur itu berpindah dari sulbi ke sulbi; dan kami baru berpisah setelah ‘Abdul Muthalib. Aku ke sulbi ‘Abdullah dan ‘Ali ke sulbi Abu Thalib.” Al-Quran menyebutkan bahwa sulbi-sulbi tempat bersemayamnya nur itu adalah sulbi-sulbi orang-orang suci. Ini berarti bahwa orang tua dan nenek moyang Rasulullah sampai ke Nabi Adam as. Istilah al-Quran, al-Sajidîn, orang-orang patuh. Allah berfirman: “Dan bertawakallah kepada Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. Yang melihatmu saat engkau bangun dan perpindahanmu dari sulbi ke sulbi orang-orang patuh” (QS. 26 : 217-219). Keempat, Nabi Muhammad saw adalah manusia suci. Tidak pernah berbuat kesalahan, apalagi dosa. Namun demikian, ia tetap manusia biasa seperti manusia lainnya, dalam arti bahwa secara biologis tidak ada perbedaan antara Nabi saw dengan manusia yang lain. Riwayat-riwayat mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ahlul Bait pada ayat di atas adalah ‘Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan Nabi Muhammad saw sendiri serta para Imam dari keturunan Husain berjumlah dua belas. Kelima, Nabi Muhammad selalu dibimbing Allah Swt. Ucapannya, perbuatannya, tutur katanya dan sebagainya semuanya di bawah pengarahan dan bimbingan Allah Swt. Keenam, Nabi Muhammad saw adalah panutan yang sempurna, uswatun hasanah. Allah berfirman: “Sesungguhnya dalam diri Rasulullah terdapat teladan yang baik buat kamu.” (QS.33:21). Karena itu, maka “Apa pun yang dibawanya harus kamu terima dan apa pun yang dilarangnya harus kamu jauhi.” (QS. 59:7). Ketujuh, dibukanya rahasia kegaiban kepada Nabi Muhammad saw. Allah berfirman: ”Tuhan Maha Mengetahui yang gaib. Maka Dia tidak akan membukakan kegaibannya itu kepada seorangpun, kecuali kepada rasul yang dikehendaki” (QS. 72: 26-27). Tentu saja Rasulullah saw berada di urutan paling atas di antara para rasul yang menerima anugrah utama ini. Kedelapan, Allah memuji Nabi Muhammad saw dengan berbagai pujian karena keluhuran akhlaknya (QS. 68:4); kepeduliannya dan kasih sayangnya kepada umat manusia (QS. 9:128) dan pengorbanan diri, tidak mementingkan diri demi kebahagiaan orang lain (QS. 20:2-3). Selain itu Allah Swt memberi perhatian yang khusus kepada Nabi Muhammad saw jika ada sedikit saja “masalah” yang dihadapinya (QS. 93:1-3; 94:1-4). Kesembilan, siapa saja yang taat kepada Nabi Muhammad saw maka sesungguhnya ia telah taat kepada Allah Swt. Sebaliknya, siapa saja yang membangkang, berarti ia telah membangkang terhadap Allah swt. Pada kesempatan lain, Allah bahkan mengancam kedua istri Rasulullah sendiri, ‘Aisyah dan Hafsah, karena mengkhianatinya dalam soal rahasia yang disampaikannya kepada mereka. Jika mereka tidak tobat dan masih melawan Rasulullah, maka Allah sendiri yang akan menghadapi mereka (QS. 66:4). Kesepuluh, Allah bershalawat kepada Nabi. Demikian juga seluruh malaikatnya. Karena itu orang-orang yang beriman diperintahkan bershalawat kepadanya (QS. 33:56). Arti shalawat Allah kepada Nabi adalah penganugrahan rahmat dan kasih sayang-Nya; shalawat malaikat adalah permohonan limpahan rahmat-Nya. Demikian pula shalawat orang-orang beriman. Kesebelas, orang-orang beriman diperintahkan untuk tidak memperlakukan Rasulullah sebagaimana perlakuan mereka terhadap sesama mereka. Jika berbicara kepada Rasul harus dengan suara yang lembut, tidak boleh teriak-teriak, karena hal itu akan menghapus pahala amal mereka (QS. 49:2-3). Kedua belas, Allah swt akan melakukan apa saja demi menyenangkan hati Nabi. “Dan tuhanmu akan memberimu sehingga membuatmu senang” (QS. 93:5). Ayat ini menunjukkan betapa Allah amat mencintai Nabi-Nya. Ia akan memberikan apa saja yang diinginkan Nabi dan akan melakukan apa saja demi menyenangkan hati Nabi saw. Dan salah satu anugrah Allah yang paling besar kepada Nabi ialah wewenang memberi syafaat kepada umatnya yang berdosa. Bukan saja di akhirat, tapi juga di dunia, yaitu dalam bentuk pengabulan doa yang disampaikan oleh Nabi untuk umat-nya, baik ketika Nabi masih hidup maupun sesudah wafatnya (bertawasul). Ketiga belas, Nabi saw ditetapkan sebagai perantara (wasilah) antara diri-Nya dengan umat manusia. Bahkan merupakan salah satu syarat terkabulnya doa. Bahkan tawassul kepada Nabi Muhammad saw ini sudah dilakukan para nabi dan orang-orang shaleh jauh sebelum kelahirannya. Kita dapat membaca riwayat yang mengatakan bahwa Adam dan Hawa telah bertawassul kepada Nabi Muhammad saw saat mereka berdua dikeluarkan dari surga. Dikisahkan bahwa tatkala Nabi Adam as dikeluarkan dari surga, ia memohon ampun kepada Allah atas perbuatanya. Dalam permohonannya itu, ia bertawassul melalui Nabi Muhammad saw: “Ya Allah, melalui kebesaran Muhammad, aku mohon ampun pada-Mu kiranya Engkau mau mengampuni dosaku.”
Allah Swt bertanya kepada Adam, “Dari mana kamu tahu Muhammad padahal Aku belum menciptakannya?” Adam berkata, “Ya Tuhanku, ketika Engkau ciptakan aku dan Engkau tiupkan ruh-Mu dalam diriku, aku mengangkat kepalaku dan kulihat di pilar-pilar Arsy tertulis Lâ ilâha illallâh Muhammad Ra-sûlullâh. Aku tahu Engkau tidak akan menyertakan nama hamba-Mu kepada nama-Mu kecuali yang paling Engkau cintai.” Allah Swt berfirman, “Engkau benar Adam, Muhammad adalah hamba yang paling Aku cintai. Dan karena engkau memohon ampun melaluinya, maka Aku kabulkan permohonanmu. Hai Adam, kalau bukan karena Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu.” Dari sekian ayat yang kita lihat di atas tidak dapat disangkal bahwa Nabi Muhammad saw bukan manusia biasa, dalam arti bahwa kedudukannya sangat-sangat mulia di sisi Allah. Ia telah diciptakan Allah sebelum menciptakan yang lainnya. Nabi telah dipersiapkan membawa amanat-Nya jauh sebelum utusan-utusan lainnya. Bahkan utusan-utusan itu diperintahkan untuk mengimaninya dan mengabarkan kepada umat manusia akan kedatangannya. Nabi ditetapkan sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan, dan sebagainya. Akan tetapi semua ini tidak harus membuat kita memposisikannya sebagai bukan dari golongan manusia, seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi ‘Isa as. Nabi Muhammad saw tetap manusia sebagaimana manusia lainnya, sebagaimana isyarat al-Quran dalam beberapa ayatnya di atas. Pada diri Nabi Muhammad saw terdapat segala sesuatu yang ada pada manusia, yakni dimensi biologis manusia. Karena itu Nabi makan, minum, sakit, tidur, berdagang, berkeluarga, senang, sedih, dan sebagainya, seperti umumnya manusia. Al-Quran sengaja menegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah manusia, basyar, seperti manusia lainnya secara jasmani untuk membantah alasan penolakan kaum musyrikin terhadap Nabi saw bahwa ia bukan dari golongan malaikat atau paling tidak bekerjasama dengan malaikat (QS. 25:7) dan juga mengingatkan kaum Muslimin supaya tidak mengulangi kesalahan seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi ‘Isa yang menganggapnya sebagai Tuhan. Akan tetapi ketika kita mengatakan bahwa Nabi adalah manusia biasa seperti manusia lainnya tidak berarti bahwa kita harus menganggapnya bahwa Nabi suka berbuat salah, keliru, melanggar, atau berakhirlah segalanya sesudah ia wafat. Sama sekali tidak demikian. Kesucian, keterpeliharaan dari dosa, maksum, hidup abadi disisi Allah sesudah kematian atau kemampuan berhubungan dengan-Nya sesudah kematian adalah perkara ruhani yang dapat saja dicapai oleh manusia manapun jika ia telah mencapai kedudukan ruhani yang tinggi atau katakanlah maqam Insan Kamil. Allah Swt memang menciptakan manusia dari unsur tanah, yang menghasilkan dimensi biologisnya, akan tetapi pada manusia, Allah ciptakan juga unsur lainnya, yakni ruh Allah, yang justru dapat membuat manusia lebih tinggi dari makhluk manapun, termasuk malaikat. Yaitu jika melalui ruh itu ia mampu mengatasi unsur biologisnya. Itulah mengapa malaikat dan jin atau Iblis diperintahkan untuk sujud kepada Adam atau manusia. Itulah pula mengapa Nabi Muhammad dapat menembus Sidratul-Muntaha, sementara Jibril akan hangus terbakar jika berani mengantarkan ke tempat yang lebih tinggi lagi. Padahal Jibril adalah penghulu para malaikat. Karena Nabi Muhammad telah mencapai derajat kesempurnaan mutlak insani. Kesalahan terbesar pihak yang menolak mengakui kebesaran Nabi Muhammad di atas, bahkan menganggap pelakunya sebagai telah bertindak berlebih-lebihan dan kultus individu yang diharamkan, yaitu karena mereka melihat Nabi Muhammad saw dengan kacamata materi. Mereka hanya melihat secara jasmani Nabi saw sebagai makhluk biologis. Mereka lupa bahwa manusia memiliki dimensi yang jauh lebih tinggi dari sekadar dimensi biologis atau fisik. Bahkan dimensi ruhani merupakan jati diri manusia yang sesungguhnya. Melihat seseorang hanya dari dimensi biologisnya saja adalah logika orang-orang kafir. Bukan logika orang-orang beriman. Dengan alasan bahwa para utusan itu hanya manusia seperti mereka, orang-orang kafir menolak mengakuinya sebagai nabi atau rasul. “Dan tidaklah menghalangi orang-orang (kafir) untuk beriman ketika datang kepada mereka petunjuk kecuali mereka mengatakan: Apakah Allah mengutus rasul dari golongan manusia?” (QS. 17:94). Berdasarkan beberapa ayat tentang keagungan Nabi Muhammad saw di atas dan beberapa riwayat Nabi, kita dapat melihat betapa Allah menuntut kita untuk menghormati dan mengagungkan rasul-Nya. Coba perhatikan ayat shalawat. Adakah perintah yang sama (shalawat kepada Nabi} yaitu yang didahului dengan pernyataan bahwa Allah dan malaikat-Nya telah melakukannya terlebih dahulu dan oleh karena itu kita pun diperintahkan untuk melakukannya? Tidak ada. Perintah itu berarti kita harus selalu melihat Nabi dengan penuh takzim dan agar kita selalu membalas jasa-jasanya. Oleh karena itu pula, Nabi saw selalu mengingatkan bahwa orang yang tidak mau bershalawat kepadanya adalah bakhil atau kikir. Bahkan orang yang datang ke tanah suci tapi tidak mampir ke Madinah untuk berziarah ke makamnyanya telah memutus hubungan silaturrahmi dengannya. Pada ayat tawassul, kita bahkan diperingatkan Allah jika ingin dosa-dosa kita diampuni oleh-Nya harus bertawassul kepadanya. Jika tidak, Allah tidak akan mengabulkan permohonan ampun kita. Allah juga mengingatkan agar kita tidak memperlakukannya sama dengan kita, sebab hal itu dapat menghapus pahala amal ibadah kita (QS. 49:2-3). Selain itu, kita juga diperingatkan untuk tidak menganggap apa yang dilakukan atau diucapkan oleh Nabi lahir karena emosi atau hawa nafsunya. Tapi semuanya atas bimbingan Allah yang tidak pernah salah. “Ia tidak bertutur kata atas dasar hawa nafsunya, melainkan berdasarkan wahyu yang diterimanya” (QS. 53:3-4). Dengan demikian, yang menganjurkan dan memerintahkan kita untuk mengagungkan Nabi Muhammad saw adalah Allah Swt sendiri. Bukan kemauan hawa nafsu kita. Kita hanya mengikuti perintah dan ajaran-Nya saja. Lalu mengapa kita harus menentang Allah dan Rasul-Nya hanya karena takut jatuh dalam hantu “kultus” yang kita ciptakan sendiri? Sebenarnya tidak ada kultus; karena kultus ialah melebih-lebihkan sesuatu yang tidak pada tempatnya (tidak pada proporsinya). Pengagungan Nabi Muhammad saw justeru mendudukkan posisi Nabi Muhammad saw sebagaimana mestinya, seperti diperintahkan al-Quran. Justru jika kita tidak melakukan itu, dikhawatirkan telah menzalimi beliau. “Sesungguhnya orang-orang yang menggangu Allah dan rasul-Nya dikutuk oleh Allah di dunia maupun di akhirat dan Allah siapkan baginya siksa yang menghinakannya” (QS. 33:57). Sebagai penutup, renungkan peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi saw di bawah ini. ‘Abdullah bin Amr berkata:
Kedudukan Nabi dalam al-Quran
“
Allah berfirman dalam QS. 33:33: “Sesungguhnya yang dikehendaki Allah ialah menjauhkan kamu wahai Ahlul Bait dari segala kotoran dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.”
“Sesungguhnya dia (Muhammad) tidak bertutur kata atas dasar hawa nafsu, melainkan semuanya semata-mata adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya” (QS. 53:3-4).
“Kami tidak utus seorang rasul kecuali untuk ditaati, dengan seizin Allah. Dan seandainya mereka mendatangimu ketika mereka berbuat dosa, lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun buat mereka, pastilah mereka dapati Allah Maha Pengam-pun dan Maha Pengasih.” (QS. 4:64).
Nabi Sebagai Manusia Biasa
Tapi orang-orang beriman berkata: “Kami mengimaninya. Semuanya dari sisi Tuhan kami”. (QS. 3:7).
Sikap kepada Nabi
Aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah saw. Aku bermaksud menghapalnya. Tapi orang-orang Quraisy melarangku dan mereka berkata: “Engkau menulis segala sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah saw? Padahal beliau hanyalah seorang manusia yang berbicara saat marah dan senang.” Aku berhenti menulis. Tetapi kemudian aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah. Ia kemudian menunjuk kepada mulutnya dan berkata: “Tulis saja. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya tidak ada yang keluar dari sini kecuali kebenaran.”
Camkan!!!
0 komentar:
Posting Komentar