Telah terbit purnama di atas kita. Rembulan yang lain pun sembunyi karenanya. Tak pernah kujumpa walau sekali. Laksana indahmu, wahai kebahagiaan.(Maulid Al-Barzanji)
Semesta bersenandung gembira, menyambut kedatangan kelahiran nabi tercinta, pada Senin, bulan Rabiul Awwal. Tanggal 12 menjelang fajar, 1436 tahun lalu,
Cahaya Ilahi menerangi setiap jengkal semesta raya, laksana bintang gemintang yang berkerlip indah di kepekatan malam. Laksana purnama menenggelamkan gelap dalam ranum cahaya. Laksana mentari yang mengusir malam ke peraduannya.
Menyambut kelahiran bayi agung, yang akan membawa peradaban baru yang kilau-kemilau. Muhammad adalah manusia pertama yang diciptakan secara maknawi, tapi menjadi nabi terakhir yang diutus ke alam duniawi.
Ucapannya adalah wahyu, langkahnya menjadi tarekat, perilakunya cermin keteladanan. Muhammad, sang Kekasih Allah, belaian tangannya menenteramkan gundah anak-anak yatim, kemurahan hatinya menyalakan obor kehidupan janda-janda miskin, dan mengajarkan kemuliaan dalam kebersahajaan.
Keagungan jiwa sang Nabi saw diakui kawan maupun lawan. Keberaniannya menggetarkan singa padang pasir, kelembutannya laksana belaian kasih seorang ibu. Beliau begitu dicintai penghuni langit dan bumi, hingga potongan rambut dan air ludahnya yang harum pun tak pernah sampai menyentuh bumi, karena diperebutkan sahabat-sahabatnya.
Begitulah Abu Sufyan menggambarkan perihal Muhammad menjelang Futh Makkah, (pembebasan kota Makkah). Tubuhnya termasyhur memancarkan keharuman alami. Jika tangannya menyentuh kepala seorang anak, orang akan segera tahu bahwa ia baru saja disentuh Rasulullah.
Semesta raya memanjatkan doa, mengucap salam dan memohonkan kasih Allah baginya. Bahkan Sang Pencipta sendiri ikut mengucapkan salam kepadanya. Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi (Muhammad). Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu sekalian untuk Nabi, dan berikan salam penghormatan untuknya. (QS Al-Ahzab 56).
Kehadiran Muhammad di bumi adalah anugerah yang membuat butiran-butiran pasir dan debu gurun menjadi laksana mutiara. Jejak langkahnya menyejukkan padang tandus, menjadi laksana taman surga yang membangkitkan rindu untuk selalu mengunjungi.
Pengetahuan yang diajarkannya terus-menerus mengalirkan hikmah dan kearifan, laksana zamzam, yang tak pernah kering sepanjang zaman. Pemimpin manakah yang dalam keadaan sakit menjelang wafat berkata, Wahai manusia! Barang siapa punggungnya pernah kucambuk, ini punggungku, balaslah!
Barang siapa kehormatannya pernah kucela, inilah kehormatanku, balaslah! Dan barang siapa hartanya pernah kuambil, inilah hartaku, ambillah! Jangan takut akan permusuhan (akibat penuntutan balas ini), karena hal itu bukan watakku.
Hari itu, 63 tahun setelah kelahirannya, semua sahabat tertunduk haru mendengar pemimpin besar yang mereka cintai membuka diri untuk menerima tuntutan balas dari pengikutnya. Sebuah sikap yang menunjukkan pencapaian spiritual tertinggi seorang manusia.
Kini, setelah setelah 14 abad beliau lahir, beliau tetap dikenang sebagai nabi yang agung, pemimpin yang adil, panglima yang gagah berani, penguasa yang penuh kasih, pedagang yang jujur, suami yang santun, dan ayah yang bijak.
Beliau memang manusia, tapi bukan seperti manusia yang lain. Beliau laksana mutiara di antara bebatuan semesta. Rabiul Awwal, yang artinya musim bunga yang pertama, dikenal sebagai bulan Nabi. Karena pada bulan inilah beliau lahir, tepatnya hari Senin. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW saat ditanya oleh seorang sahabat mengenai kebiasaan beliau berpuasa di hari Seni, Hari itu adalah hari kelahiranku, hari aku diangkat sebagai rasul atau pertama kali aku menerima wahyu." (HR Muslim)
0 komentar:
Posting Komentar